BAB 5

1621 Kata
Seperti biasa, Mayra bergegas membereskan apartemen Rafael dan ia begitu lega juga sedikit tenang jika Rafael tak di apartemen karena ia bisa bekerja leluasa di bandingkan harus gugup hanya berdua dengan pria Jerman itu, pria yang bisa saja membuatnya terpikat, karena Rafael memang memiliki karisma yang mematikan bagi setiap kaum hawa. Pekerjaan yang selalu melelahkan baginya. Namun, ia membutuhkannya. Suara beep pintu terdengar, membuat Mayra berbalik melihat Rafael masuk. “Kamu masih di sini?” tanya Rafael, menaruh kresek minuman. “Kamu minum lagi?” tanya Mayra, sebenarnya Mayra selalu ingin memanggil Rafael dengan sebutan Pak El seperti rekan kerjanya yang lain. Namun, ia tak bisa melakukannya karena Rafael meminta Mayra untuk bersikap informal saja padanya. “Ini lah pekerjaan saya, selain mengoperasikan pesawat, saya juga minum.” Mayra mendengkus tak percaya. “Minuman itu tidak menyehatkan, kamu meminta saya untuk memasak makanan yang sehat. Namun, kamu sendiri yang tidak menyehatkan diri.” kata Mayra. “Saya baik-baik saja, meminum minuman keras seperti tidak membuat saya mati dan sakit.” kata Rafael, membuat Mayra menggeleng, buat apa dirinya khawatir dan perhatian? Meski hanya sebagai rekan kerja. Namun, Mayra sedikit khawatir jika Rafael terbawa suasana dan membahayakan penumpang. “Apa kamu tahu, apa saja janji seorang pilot?” tanya Mayra, mencoba mengingatkan Rafael tentang sumpah dan janjinya. “Saya tahu dan saya mengingatnya begitu jelas, kami para pilot adalah insan yang beriman dan bertaqwa, kami para pilot memiliki semangat juang dan berjiwa patriot, rela berkorban dan memegang teguh kehormatan penerbang, kami para pilot patuh dan taat pada peraturan serta mampu mengendalikan emosi dan berambisi untuk mencapai hasil yang terbaik, kami para pilot bersikap optimis, cermat dan mampu beradaptasi serta mengetahui batas kemampuan diri dan alutsista, kami para pilot senantiasa meningkatkan kesiapan mental, fisik, intelektual, dan daya juang serta memilki kesiagaan dan profesionalisme yang tinggi, kami para pilot berani menanggung resiko dan bertanggung jawab atas hasil tugas yang di bebankan serta mempunyai rasa memiliki terhadap alutsista kami para pilot menjadi panutan dan memiliki wawasan yang luas berani mengambil keputusan serta senantiasa menjunjung tinggi setiap tugas, kami para pilot patuh, taat dan setia kepada tugas dan kami para pilot bersikap luwes, mampu bekerjasama dan menghargai profesi lain.” jawab Rafael, membuat Mayra melongo karena tak percaya jika Rafael sampai menghafal deretan janji seorang pilot. “Tapi, pilot adalah sebuah profesi yang tidak main-main. Ada yang mengatakan bahwa sebuah pekerjaan dapat disebut sebagai profesi apabila memenuhi tiga unsur syarat, yaitu, ada lembaga pendidikannya, ada organisasi profesinya dan ada kode etiknya, pekerjaan sebagai pilot tentunya telah memenuhi ketiga unsur tersebut. Pilot dihasilkan oleh lembaga pendidikan pilot/penerbang yang tentunya tidak sembarang memberi tanda lulus/sertifikat atau lisensi penerbang.” sambung Mayra, sambil menggenggam spatula di tangannya. “Kamu pun lebih tahu banyak tentang pekerjaan dan tanggung jawab seorang pilot, meski kamu hanya lah seorang staf biasa, yang hampir tidak di kenali.” kata Rafael, membuat Mayra berbalik, tentu saja perkataan Rafael membuatnya merasa tersindir. “Meski saya hanya staf biasa yang hampir tak di kenali dan tak di anggap. Namun, sebelum bekerja di perusahaan maskapai penerbangan, saya belajar dengan baik, bukan hanya tugas seorang staf biasa. Namun, tugas seorang pilot dan pramugari/pramugara.” jawab Mayra, membuat Rafael tersenyum, wanita yang tidak bisa di anggap biasa. Menurut Rafael. Wanita yang mampu membuatnya terdiam seketika. “Apa kamu bisa memberiku contoh tugas seorang pilot? Seperti etika?” tantang Rafael, membuat Mayra menaruh spatulanya dan duduk di kursi makan, setelah mematikan kompornya. “Salah satunya, seorang pilot harus memiliki ketegasan dan kewibawaan dalam setiap proses penerbangan, hal ini di karena kan pada proses penerbangan pilot terkadang di tuntut untuk tetap pada pendiriannya meskipun keadaan mendesak pilot untuk mengubah pendiriannya, contoh, seorang pilot di tengah penerbangan di minta untuk transit ke suatu wilayah, padahal dalam penerbangan tersebut tidak di jadwalkan ada transit, pada hal ini pilot tersebut di haruskan tetap pada pendiriannya untuk tidak transit. Seorang pilot di tuntut untuk memiliki inisiatif yang tinggi dalam setiap penerbangan yang dilakukannya, misalnya dalam penerbangan terjadi cuaca buruk di arah jam 12 dalam jarak sekitar 10 menit, pilot tersebut harus mampu mencari solusi terbaik tanpa mengakibatkan terjadinya situasi berbahaya, seorang pilot tidak boleh menunjukkan kepanikan meskipun situasi sedang dalam keadaan darurat karena kepanikan justru dapat mengakibatkan kesalahan fatal terjadi dan bukannya di hindari.” kata Mayra panjang lebar menjelaskan, meski sebenarnya, Rafael sangat tahu dan menghafalnya di luar kepala. “Seorang pilot harus memiliki konsentrasi dan fokus yang tinggi, untuk hal ini akan sangat diperlukan oleh pilot pesawat tempur, misalnya seorang pilot diharuskan melalui medan yang berbahaya dan celah untuk terbang yang sempit, sehingga pilot yang bersangkutan di haruskan fokus agar tidak terjadi hal yang diinginkan dan mengancam keselamatan. Seorang pilot di haruskan memiliki sifat pemberani, berani di sini di maksudkan dalam pengertian berani dalam melakukan manuver yang berbahaya. Namun, jika terpaksa harus di lakukan mau tidak mau dan pilot yang bersangkutan harus berani melakukannya dan seorang pilot juga harus memiliki jiwa yang siap berkorban, hal ini di maksudkan jika terjadi kecelakan pada pesawat seorang pilot layaknya tetap memperhitungkan posisi jatuh pesawat dan jika memungkinkan dengan posisi dimana persentase keselamatan penumpang tetap tinggi. Itulah etika profesi yang wajib dimiliki oleh seorang pilot.” sambung Mayra, membuat Rafael menganggukkan kepala menandakan bahwa ia paham dengan maksud Mayra. Mayra begitu degdegan dan kembali menggaruk masakannya, setelah itu ia menuangkannya di atas piring, ia kali ini memasak sop iga. Rafael mungkin tak pernah mengenali setiap masakan yang di masak Mayra. Namun, Rafael selalu memakannya tanpa bertanya. Satu kesyukuran Mayra dalam mengurus rumah dan mengurus Rafael. “Kamu memang hebat.” puji Rafael, membuat Mayra merona. “Trims.” gumam Mayra, membuat Rafael tersenyum lalu menaruh kaleng bir miliknya. Rafael berjalan menghampiri meja dapur dan duduk menatap makanan yang di masak Mayra. Mayra pun menyiapkannya dengan tulus dan ikhlas. “Kamu juga pintar masak.” puji Rafael, mencicipi sop iga ala Mayra. “Saya sudah terbiasa hidup jauh dari orang tua dan keluarga, jadi saya suka memasak untuk saya dan teman saya.” jawab Mayra, membuat Rafael paham. “Saya pun sudah terbiasa hidup jauh dari keluarga. Namun, untuk menyiapkan makanan sendiri, saya belum terbiasa, mungkin karena sejak kecil saya memiliki pengasuh.” “Pengasuh? Terus, sekarang pengasuhmu di mana?” “Sekarang pengasuh saya ada di Jerman, dia bekerja di mansion sebagai kepala maid.” “Saya juga mau bertanya, kenapa tidak pernah menanyakan makanan apa saja yang saya masak? Sepertinya kamu sudah tahu.” “Saya tidak tahu makanan apa saja ini. Namun, saya suka masakan kamu. Enak dan menyehatkan, seperti katamu.” “Saya hanya masak sesuai apa yang saya tahu, saya tidak bisa memasak makanan restoran seperti yang mungkin kamu sukai.” “Saya lebih suka masakan kamu daripada masakan restoran.” puji Rafael, berhasil membuat Mayra merona, sungguh aneh tapi nyata, Mayra tak susah menjadi pembantu di apartemen Rafael, karena Rafael bisa di ajak berkomunikasi dengan berbahasa Indonesia, menunjukkan bahwa sebelum Rafael memilih Indonesia, ia banyak belajar tentang bahasanya, sampai tidak memiliki kesulitan sama sekali. Rafael menikmati makan malam yang sudah di sediakan Mayra di atas meja makan, Mayra bergegas mengambil tasnya hendak pulang karena tugasnya sudah selesai. “Jangan pulang dulu.” perintah Rafael, membuat langkah kaki Mayra terhenti. “Ada apa? Tugas saya sudah selesai.” “Temani saya makan.” pintah Rafael. “Saya harus pulang, ada yang harus saya kerjakan.” “Apa kau akan pulang dalam keadaan lapar? Saya tahu, sejak tadi itu perutmu sudah mengganggumu.” kata Rafael, membuat Mayra merona karena malu, jadi Rafael menyadari bunyi halus yang keluar dari perut Mayra. “Saya bisa makan di rumah.” jawab Mayra. “Saya memerintahkan kamu untuk duduk dan temani saya makan.” kata Rafael, penuh penekanan, membuat Mayra terpaksa kembali menaruh tasnya di atas nakas dan duduk di hadapan Rafael, bukannya menolak. Namun, Mayra merasa sangat gugup ketika ia harus berhadapan dan saling bertukar pandangan dengan pria asing yang tampan ini, Mayra berusaha menghindari kontak mata langsung yang membuat hatinya bergejolak. Namun, tatapan Rafael berhasil membuatnya luluh dan merasa terkurung. “Makan saja.” kata Rafael, membuat Mayra mengangguk dan menyendokkan nasi. “Kenapa kamu menerima pekerjaan yang saya tawarkan?” tanya Rafael, membuat Mayra mendongak. “Hem? Karena saya membutuhkan uang.” jawab Mayra, menurut Rafael, Mayra adalah wanita yang jujur dan akan selalu berterus terang dengan apa yang di alaminya, Rafael mengagumi sosok wanita yang akan menjawab semua pertanyaannya secara spontan, tanpa berpikir. Salah satu wanita itu adalah Mayra. “Apa hidupmu sedang sulit?” tanya Rafael. “Tidak sulit juga. Namun, saya seorang anak tunggal.” “Saya juga seorang anak tunggal. Namun, bekerja keras demi uang saya tidak pernah melakukannya.” “Karena mungkin, kamu sudah terlahir kaya sejak lahir.” “Jadi, maksud kamu, kamu terlahir miskin?” “Begitu lah.” jawab Mayra. “Kaya dan miskin sama saja menurut saya, kita semua sama, sama-sama manusia, meski di lahirkan kaya dan miskin itu sudah garis tangan yang harus kita terima, ‘kan? Saya tidak pernah meminta untuk di lahirkan kaya dan di lahirkan miskin, memiliki kebebasan dan pilihan sendiri itu yang saya butuhkan.” kata Rafael, membuat Mayra menatapnya dengan tatapan penuh pertanyaan, menurut Mayra, Rafael tidak mensyukuri apa yang di berikan Tuhan untuknya. Mayra dan Rafael mengobrol banyak tentang kehidupan masing-masing. Mayra pun saat ini lebih mengetahui bagaimana sosok Rafael di mata keluarganya, entah keberanian apa yang di miliki Mayra, sampai berhasil menguak kehidupan pribadi Rafael yang menurutnya berharga dan tidak bisa di sia-siakan. Setelah makan malam, Rafael dan Mayra duduk di kursi tamu dan Rafael menikmati sekaleng bir yang sudah di belinya di swalayan, sedangkan Mayra menikmati minuman non alkohol di dalamnya. Mereka bercerita panjang lebar tanpa menemukan ujungnya, sampai membuat Mayra lupa jika malam sudah menunjukkan pukul 10.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN