Bab 16. Minta bantuan

1610 Kata
Pukul 00.00 Farah terbangun dari tidurnya. Kali kedua ia mendengar suara ketukan dari jendelanya. Farah duduk, melihat ke arah jendela. Farah mengucek matanya. Ia baru tidur satu jam, namun terpaksa terbangun karena mendengar ketukan itu. Farah turun, berjalan mendekati jendela. Dibukanya. Ia melihat kanan-kiri memeriksa. Masih sama. Tidak ada siapa-siapa. Tapi siapa yang mengetuk jendela itu? Tiba-tiba batu kecil melayang, mengenai jidatnya. Farah meringkih. Ia memegang dahinya. Berdarah. Farah segera membuka laci meja belajarnya, mencari kotak P3K. Setelah mengolesi alkohol dan memberi obat merah. Ia menutup lukanya dengan plester. Farah menutup jendela. Dari mana batu itu muncul? __00__ Alva menarik napas dalam. Sudah larut, dan ia tidak tahu kenapa bisa pergi ke rumah Prof. Nulin. Berdiri di depan pintu, ia menarik napas. Semoga saja Prof. Nulin tidak marah diganggu tidurnya. Alva memencet bel rumah. Hening. Kali kedua Alva memencet bel, belum ada jawaban. Apakah Prof. Nulin sudah tidur? Baiklah. Sekali lagi. Kalau ini juga belum ada jawaban, maka Alva harus pulang dan datang lain kali. Kali ketiga, tidak ada jawaban. Alva memalingkan badan, hendak pergi. Alva kaget. Prof. Nulin memakai pakaiana serba hitam tiba-tiba muncul dari belakang. “Alva? Kamu ngapain ke rumah saya malam-malan begini?” tanya Prof. Nulin. Ia tidak kaget seperti Alva. Alva mengelus dadanya terlebih dahulu. “Prof. Saya butuh bantuan.” Prof. Nulin mempersilakan Alva masuk dan menunggu di sofa. Ia hendak mengganti bajunya terlebih dahulu. Tanpa sengaja, Alva melihat ada bercak merah di tangan kanan Prof. Nulin. “Kamu yang namanya Alva, ya?” Seorang wanita setengah baya datang membawakan segelas teh hangat. “Saya sering mendengar cerita kamu dari Pak Prof.” Alva diam. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Justru Alva malah bertanya-tanya siapa gerangan wanita ini. Seingat Alva Prof. Nulin tinggal sendiri di rumah sejak sepuluh tahun lalu setelah meninggalnya istrinya. Alva memperhatikan dari atas sampai ke bawah. Untuk disebut pembantu, pakaian wanita itu terlalu mewah. Bahkan wajahnya dipoles dengan make-up meskipun tipis. “Kok ngelamun? Kamu sudah makan?” tanyanya membuyarkan lamunan Alva. Alva menggeleng. “Mau makan?” Alva menggeleng. “Kamu memang irit ngomong, ya?” Nada bicaranya terdengar sangat Indonesia sekali. Logat jawa wanita itu terdengar kental sekali. “Bi…,” teriak Prof. Nulin dari kamarnya. “Saya permisi, ya. Bapak sudah memanggil.” Wanita itu bergegas pergi memenuhi panggilan Prof. Nulin. Jujur, Alva penasaran siapa wanita itu. Sudah sebulan ini Alva tidak datang ke rumah Prof. Nulin. Biasanya minimal seminggu sekali Alva pergi ke rumah Prof. Nulin untuk berkonsultasi masalah tugas dan segala macam lainnya. Dan terakhir kali Alva main ke rumah guru kesukaannya itu, wanita tadi belum ada di rumah Prof. Nulin. “Maaf ya. Tadi saya harus mengurus sesuatu.” Prof. Nulin kembali memakai kaos putih dan celana putih. Sosok ilmuan yang terkenal seantero Indonesia ini adalah pecinta warna putih. Termasuk rambutnya yang berwarna senada. Namun bukan karena dibuat-buat, melainkan faktor usia. “Wanita tadi siapa, Prof?” Tanpa basa-basi, Alva langsung menayakan sesuatu yang mengganggunya dari sejak melihat wanita tadi. “Oh, itu? Bi Frida namanya. Beliau bekerja dengan saya sejak dua pekan yang lalu. Saya harus mempunyai asisten rumah tangga.” “Untuk apa, Prof?” “Kamu tahu sendiri, sejak saya berhasil mengkloningkan kucing emas beberapa hari yang lalu, banyak undangan seminar yang harus saya isi. Bukan hanya itu, banyak para ilmuan Indonesia yang meminta saya ikut bergabung dalam proyek mereka.” Prof. Nulin mengeluarkan ponselnya. “Kamu lihat ini. Jadwal seminar saya sampai tiga bulan ke depan sudah penuh. Saya juga bingung antara menerima atau menolak.” Benar adanya. Jadwal Prof. Nulin sampai tiga bulan ke depan sudah sangat padat. Ia harus terbang ke luar kota hampir setiap dua hari sekali. Bahkan Alva harus akui, prestasi yang diraih Prof. Nulin sudah semakin meningkat. Bahkan ada yang membuatnya Alva semakin takjub dengan gurunya itu. Tepat pada tanggal 15 Mei nanti, ia akan mengisi seminar di universitas incaran banyak orang—Standford University. “Jadi apa tujuan kamu datang malam-malam begini?” Alva membenarkan posisi duduknya. “Prof ingat kejadian dua minggu lalu? Pak Diko, satpam yang terbunuh itu, ternyata masih hidup.” Terlihat wajah kaget dari Prof. Nulin. “Maksud kamu?” Alva mengeluarkan ponselnya, memperlihatkan video yang berisi satpam itu. Setelah melihat video tersebut, Prof. Nulin terlihat kaget. “Dari mana kamu mendapatkan ini?” “Dua hari yang lalu ada yang mengirimkan foto ini kepada Farah.” Alva menunjukkan foto juga. “Lalu tadi siang, nomor yang tidak dikenal, yang sebelumnya mengiri Farah foto ini, mengirimkan video yang tadi Prof lihat.” Prof. Nulin fokus memperhatikan foto yang ditunjukkan Alva. “Saya ingin meminta bantuan Profesor untuk memecahkan misteri ini.” “Saya? Kenapa harus saya?” “Karena hanya Profesor yang saya percayai di sekolah ini. Kami tidak akan bisa menyelesaikan kasus ini.” Alva menatap wajah Profesor Nulin dengan tatapan penuh harap. “Prof mau membantu kami, kan?” __00__ Naira sudah siap untuk berangkat ke sekolah. Hari senin kembali datang. Sesuai hasil rapat mereka kemarin, mereka berenam sepakat untuk memecahkan kasus ini dalam seminggu. Entah akan tepat waktu atau tidak, tapi kasus ini memang harus terpecahkan dalam seminggu. Minggu depan ujian kenaikan kelas kelas akan dilaksanan. Jika mereka tidak ingin terganggu, maka dalam seminggu semua misteri terpecahkan. Naira memasuki lift. Sedikit lagi pintu tertutup, sosok pria tinggi berpakaian serba hitam, plus masker dengan warna senada ikut masuk ke dalam. Naira tidak menghiraukan laki-laki itu sama sekali. Ia mengeluarkan ponsel, memesan gojek untuk mengantarkannya ke sekolah seperti hari-hari biasa. Lift terbuka di lantai 4. Laki-laki yang tadi keluar. Pintu tertutup kembali. Sampai di bawah, Naira menunggu kurang lebih lima menit lamanya. Gojek yang ia pesan datang. “Atas nama Naira?” tanya sopir berjaket hijau itu. “Iya. Benar, Pak.” Naira menerima pemberian helm dari sopir. Usai memakainya, Naira naik ke atas motor. Sebelum motor itu berangkat, Naira melihat sosok yang bersamanya di dalam lift tadi. Tapi kali ini tidak lagi mengenakan masker. Kendati demikian, Naira tidak bisa melihat wajahnya. Laki-laki itu memindahkan kotak-kotak ke dalam mobilnya. “Kita berangkat, Neng.” Jalanan masih belum padat karena pagi ini Naira pergi ke sekolah dua puluh menit lebih awal dari biasanya. Sampai di sekolah, gerbang belum dibuka. Usai membayar dan menyerahkan helm, Naira berjalan mendekati pos satpam. Sudah ada satpam baru. “Pagi, Pak!” sapa Naira ramah. “Pagi, Neng.” Satpam itu tersenyum membalas sapaan Naira tak kalah ramah. “Pagi amat, Neng, datangnya.” “Iya, Pak. Saya juga gak tahu kenapa bisa datang cepat begini.” Sedetik setelah Naira mengakhiri kalimatnya, alarm dari dalam pos satpam itu berbunyi. Tanda sudah waktunya membuka gerbang. Naira mengucapkan terima kasih kepada satpam setelah membuka gerbang. Naira bersenandung sembari berjalan menuju kelasnya. Saat kakinya hendak menaiki tangga, ia melihat di koridor, Bu Ratna baru saja keluar dari ruang laboratorium. Naira berlari bersembunyi di balik tong sampah besar yang ada di sana. Mengapa Bu Ratna sudah sampai di sekolah jam segini? Dari mana Bu Ratna masuk? Setelah Bu Ratna pergi dan situasi dirasa aman, Naira keluar, bergegas menuju kelasnya. Naira duduk termenung di kursinya memikirkan apa yang ia lihat barusan. Gerbang sekolah belum terbuka, dan Bu Ratna sudah sampai di sekolah? Kenapa? Ada apa? Sepertinya Bu Ratna sedang merahasiakan sesuatu. Ia harus melaporkan ini kepada Raka dan juga Alva. Satu persatu murid mulai berdatangan. Melihat Frendi, Naira langsung menghampirinya. “Fren,” panggil Naira. Ia memberi kode menggunakan tangan, menyuruh Frendi untuk datang ke mejanya. “Ada apa, Nai?” “Lo tahu siapa yang pegang kunci sekolah?” Frendi mencoba mengingat sesuatu. “Gue sih kurang tahu ya. Tapi seingat gue Pak Burhan dan kepala sekolah yang punya akses keluar masuk ke sekolah.” “Pak Burhan? Guru matematika khusus kelas 12 maksud lo?” Frendi mengangguk. Pak Burhan tidak kalah kejamnya dengan Bu Ratna saat mengajar. Begitu informasi yang sampai ke telinga mereka kalangan murid kelas 11. Kakak kelas mereka juga bilang kalau bisa mereka memperkuat doa agar jangan sampai mendapatkan Pak Burhan sebagai wali kelas mereka. Cukup menjadi guru maple matematika saja. “Terima kasih, Fren.” “Sama-sama, Nai.” Frendi kembali ke mejanya. Bel sepuluh menit lagi berdering. Raka, Alva, Dave, Deva, dan Farah belum juga sampai. Naira merasakan ada sesuatu yang ingin keluar. Ia keluar kelas sedikit berlari menuju kamar mandi. Sepanjang perjalan murid-murid sudah hampir memenuhi koridor. Tentu saja. Karena hari ini upacara mingguan akan diadakan. Tidak disengaja, Naira menyenggol bahu Meira saat berlari ke kamar mandi. “Sorry.” Ucap Naira berlalu. Ia sudah tidak tahan lagi. Keluar bilik kamar mandi. Naira sudah ditunggu Meira dan dua anak buahnya. Wajah mereka terlihat tidak senang menatap wajah Naira. Baru selangkah Meira maju, bel berbunyi. Ia berdecih. “Urusan kita belum selesai.” Naira membalas tatapan tidak suka mereka dengan tatapan sinis. Sudut bibirnya terangkat. Mereka pikir ia akan gentar dengan kalimat “urusan kita belum selesai”? Tidak. Itu jelas bukan Naira. Naira tidak mengacuhkan ancaman yang baru keluar dari mulut Meira barusan. Kedua anak buah Meira menghadang jalan Naira. Si rambut pirang kuncir kuda alias Letta mendorong bahu Naira menggunakan satu jarinya angkuh. “Lo pikir lo siapa?” ucapnya penuh nada kesombongan. Naira melirik jari Letta di bahunya. “Gue,” Ditariknya jari telunjuk Letta, sejurus kemudian Naira memelintir jari itu hingga Letta memekik kesakitan. Renata menjambak rambut Naira. Naira tidak tinggal diam, ditendangnya kaki Renata hingga ia terjatuh. “Sakit?” tanyanya pada Letta dengan sudut bibi terangkat. Tiga detik kemudian Naira melepaskan jari telunjuk Letta. Naira membalik badan menatap Meira. “Jangan coba-coba untuk cari gara-gara sama gue.” Naira pergi meninggalkan kamar mandi. Upacara akan segera dimulai. Ia harus segera sampai ke lapangan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN