Bab 15
Mayat maya
Malam hari, Farah sampai di rumah. Ia membuka pintu. Di ruang tengah sudah ada mamanya dan Sarah yang duduk menonton tv.
“Kamu dari mana, Farah?” tanya Kaila.
“Dari rumah temen, Ma.”
“Siapa? Kaila?”
Farah mengangguk takut, takut dimarahi mamanya.
“Ya sudah kalau begitu. Kamu sudah sholat?”
Farah mengangguk lagi. “Sudah, Ma.” Di perjalan pulang tadi, ia meminta supir gojek untuk mampir sebentar ke masjid karena azan isya sudah berkumandang. Kabar baiknya, ternyata sang sopir juga ingin menyampaikan hal yang sama kepada Farah untuk singgah di masjid.
“Farah ke kamar, ya, Ma.” Farah menuju kamarnya.
“Jangan lupa makan, ya. Mama sudah sisakan punya kamu di dapur.”
“Iya, Ma.”
Sampai di kamar, Farah mengunci pintu. Ia memegang dadanya, memeriksa ritme jantungnya. Syukurlah. Ia sempat mengira bahwa mala mini dirinya akan kena marah karena pergi tanpa izin. Ternyata dugaannya salah. Mamanya tidak menunjukkan ekspresi marah sama sekali.
Farah berpindah ke tempat tidur. Ia membuka kembali file video yang dikirim dari nomor tidak dikenal.
“Halo, Farah! Selamat ya, kamu berhasil keluar dari kantor polisi. Banyak kejutan lain yang sedang menantimu. Tunggu saja!”
Farah mematikan layar ponselnya, meletakkan di sampingnya. Sebenarnya apa maksud satpam itu? Kejutan menantinya? Jujur Farah sedikit takut dengan itu. Ia yang baru pindah ke Jakarta seminggu lebih dua hari, kenapa sudah memiliki musuh?
Farah kaget. Ia mendengar suara ketukan yang berasal dari jendelanya. Farah tidak berani menoleh. Ia mematung di tempat.
Suara ketukan terdengar lagi dan kali ini lebih keras. Lima menit lamanya Farah menatap lurus ke depan, tidak berani menoleh. Rasa penasaran datang. Perlahan ia memutar sendi lehernya, menoleh ke arah jendela. Tidak ada siapa-siapa.
“Siapa?”
Hening.
Farah menelan ludahnya. Ia berdiri, berjalan perlahan mendekati jendela. Tidak ada siapa-siapa. Farah membuka jendela, melihat ke segala arah yang bisa dicapai matanya. Tetap tidak ada siapa-siapa. Lantas siapa yang mengetuk jendela barusan?
Farah menutup jendela, menguncinya kembali. Tak lupa pula menarik gorden. Ia memastikan jendela itu terkunci rapat. Setelahnya Farah memutuskan untuk mengganti pakaian.
Usai mengganti pakaian, ia keluar kamar untuk makan. Di dapur sudah disediakan sambal tempe dan ikan goreng.
“Sepertinya Mama besok harus pergi pagi lagi, Farah. Kamu antar Sarah ke sekolah, ya.” Kaila masuk ke dapur, membuka kulkas mengambil air dingin.
“Iya, Ma.” Farah menutup tudung saji, selesai mengambil nasi dan lauk.
Kaila membunyikan sendi-sendi tulangnya. Suara yang dihasilkan terdengar menunjukkan betapa capeknya beliau.
“Mama mau Farah pijetin?” tawarnya.
“Gak usah. Udah kamu makan aja sana, habis itu belajar.”
“Baik, Ma.”
Farah berjalan ke ruang tengah. Ia menyalakan tv untuk menemani aktivitas makannya.
“Mama tidur duluan ya, jangan lupa matiin tv nanti.”
“Iya, Ma.”
Pintu diketuk.
Farah meletakkan piringnya di atas meja, hendak membukakan pintu.
“Biar Mama aja.” Kaila berjalan menuju pintu.
“Permisi, Bu,” ucap laki-laki berpakaian seragam kurir J&T. “Inia da paket untuk ibu.”
“Paket? Untuk saya?” Kaila sedikit terkejut. Seingatnya ia tidak ada memesan sesuatu.
“Benar, Bu.” Laki-laki itu memberikan paketnya kepada Kaila agar diterima. “Boleh saya ambil foto ibu?”
“Siapa, Ma?” tanya Farah.
“Ini ada paket.”
“Bagaimana, Bu.”
“Maaf, Pak. Sepertinya ini salah kirim. Saya tidak bisa menerimanya. Maaf, Pak.”
“Atas nama Kaila Husna Pranadipa kan, Bu?”
Kaila mengurungkan niatnya menutup pintu.
“I-iya, Pak. Itu nama saya.”
“Mungkin paket ini dipesan orang lain, sengaja menghadiahkan kepada Ibu.” Kurir itu sekali lagi meminta Kaila untuk menerima paket tersebut.
Apa yang dikatakan kurir tadi masuk akal. Tapi siapa? Kaila memutuskan untuk menerima paket itu.
“Saya foto ya, Bu.” Kurir itu mengambil posisi. “Satu, dua, tiga. Sudah.”
“Terima kasih, Pak.” Kaila masuk, menutup pintu.
“Paket dari siapa, Ma?” tanya Kaila. Ia baru selesai makan.
“Mama juga gak tahu. Tapi atas nama Mama ini.” Kaila membolak-balik paket itu, memperhatikan setiap inchi dari bagiannya.
__00__
Sepulang mereka dari apartemen Naira, Deva ikut ke rumah Dave. Deva bilang suntuk di rumah sendirian. Hari mamanya tidak pulang. Kalau hari minggu adalah hari santai bagi kebanyakan orang, tidak dengan Reta. Justru di hari liburlah jadwalnya semakin padat.
“Lo ngapain sih nginep di rumah gue?” ucap Dave sebal. Ia tidak suka dikintilin seperti ini. Dan emang pada dasarnya Deva dan Dave sering adu mulut.
“I don’t hear what you’re saying.” Deva stel b***t, masuk ke dalam rumah Dave seolah-olah itu rumahnya.
Dave geram dengan ulah Deva. Ingin rasanya menjitak sepuasnya kepala Deva. Dave masuk, mengunci pintu. Ia berjalan ke kamarnya. Sampai di sana Deva sudah berbaring menguasai tempat tidur.
“Lo kalau mau ngajakin gue berantem bilang Deva.” Darah Dave menggebu-gebu siap untuk berkelahi mala mini.
Deva menutup telinganya, tidak memperdulikan apa yang Dave katakan.
“Anjir lo ya!”
Pintu kamar diketuk.
Dave menghentikan langkahnya yang semula siap untuk melompat ke tempat tidur memberikan pelajaran kepada Deva.
“Permisi, Den. Ada yang nungguin di depan.”
Dave menatap tidak suka ke arah Deva terlebih dahulu sebelum menjawab. “Iya, Bi. Saya turun sekarang.”
Dave sengaja membanting pintu agar Deva tahu bahwa dirinya sedang kesal sekarang. Jadi jangan maacam-macam, mencari gara-gara dengannya.
Laki-laki berpakaian rapi sudah menunggu di sofa. Jas hitam dan celana senada. Dave yakin laki-laki itu pasti pekerja kantoran.
Dave berjabat tangan dengan laki-laki itu. “Cari siapa ya, Pak?”
“Begini-“
“Silakan duduk dulu, Pak.”
“Ah, iya.” Laki-laki itu duduk. “Jadi begini. Sebelumnya perkenalkan, Saya Tirta, papanya Maya. Kamu kenal Maya, kan?”
“Maya? Kenal, Pak.”
“Sejak tadi pagi dia belum pulang ke rumah. Dia tidak biasanya pergi tanpa memberi izin. Ponselnya tertinggal. Ketika saya buka, foto kamu langsung terlihat. Jadi saya pikir dia sedang bersama kamu.”
Pertama, Dave sempat terkejut mengetahui bahwa Maya menjadikan fotonya sebagai wallpaper. Pasalnya Dave sudah pernah menembaknya, namun Maya menolak. Itu menjadikan Dave semakin tertantang untuk memacari Maya. Kedua, kejadian pagi hari tadi, tidak mungkin diberitahukan langsung kepada papanya.
“Nak?”
“Iya, Pak.”
“Kamu tahu gak di mana Maya?”
Lebih baik untuk merahasiakan terlebih dahulu.
“Tidak, Pak. Saya juga kaget mengetahui kalau Maya menjadikan foto saya sebagai wallpaper di hp-nya. Tapi Maya sendiri selalu menghindari saya, Pak. Saya pernah mengajaknya pacarana, namun Maya menolak.”
Tirta memijat pelipisnya. Ia terlihat sangat khawatir mengenai keberadaan putrinya sekarang.
“Baiklah. Terima kasih, Nak. Kalau ada kabar mengenai Maya,” Tirta merogoh sakunya mengeluarkan kartu nama. “Segera hubungi saya, ya.”
“Baik, Pak.”
“Kalau begitu saya permisi.”
Dave mengantarkan Tirta sampai ke depan pintu. Setelah Tirta membawa mobilnya keluar wilayah rumahnya, Dave masuk, menutup pintu hendak kembali ke kamarnya.
“Siapa, Den?” tanya Bi Tuti.
“Papa temen, Bi.” Dave menaiki tangga, kembali ke kamarnya.
“Siapa, Dave? Tanya Deva saat Dave sudah masuk ke kamar.
“Maya belum balik sampai sekarang.”
“Maya?”
“Lo inget kejadian tadi pagi? Yang diculik itu Maya.”
“Lo gila? Kenapa lo baru bilang sekarang?”
“Jadi sekarang harus gimana?”
“Kita harus kembali ke rumah itu. Kita cari sesuatu yang bisa menjadi petunjuk di sana.” Ujar Deva.
Dave setuju. Mereka berdua langsung keluar kamar. Dave ke garasi, dan Deva menunggu di depan.
__00__
Sampai di sana, Dave menendang pintu rumah kosong yang mereka datangi tadi pagi. Mengikuti Dave, Deva menyisir halaman belakang rumah. Ia memperhatikan setiap sudut dari halaman rumah itu. Dave memeriksa dua kamar dan dapur. Tanpa meninggalkan seinchi pun, semua tak luput dari pandangan mata Dave.
Deva menginjak sesuatu. Diambilnya. Sebuah gantungan kunci yang terbuat dari kayu, bertuliskan namanya. Deva masuk ke dalam rumah untuk menunjukkan barang yang ditemukannya.
“Dave.” Deva menyerahkan gantungan kunci itu.
“Lo dapat ini di mana?” tanya Dave. Ia tidak sabar menunggu jawaban Deva.
“Di belakang. Sepertinya ini terjatuh saat Maya mencoba melepaskan diri.”
Ponsel Dave bergetar. Nomor tidak dikenal menghubunginya.
“Dave, selamatkan aku!”
Dave dan Deva saling bertatapan. “Raka!” ucap mereka kompak.
Bersambung...