Bab 22. Laki-laki di gambar

1059 Kata
Bab 22 Pria di gambar “Lo yakin ini tempatnya?” tanya Raka menatap sekeliling. Dave keluar dari mobil. Ia memutar badannya memperhatikan sekitaran tempat mereka saat ini. Perkampungan, tanpa ada lampu jalan. Hanya suara jangkrik saja yang terdengar. Tak jauh di depan mereka ada sebuah rumah yang tidak terlalu besar. Mobil mereka tidak bisa masuk ke sana, jadi terpaksa harus berjalan kaki. Alva diam, ikut melakukan hal yang sama dengan Raka dan Dave, memperhatikan sekitar. Ia mencoba mengingat, apakah ini tempat yang benar yang ia pernah datangi dulu atau bukan. “Al, lo yakin kan?” Raka bertanya lagi untuk memastikan. Alva mengangguk yakin. “Kalau begitu ayo kita masuk.” Dave hendak melangkahkan kaki menuju tempat ketika tangan Alva menahan bahunya. “Tunggu.” Raka dan Dave otomatis menatap bingung ke arah Alva. “Ingat. Kalian harus waspada, jangan lengah.” Mereka siap. Satu anggukan dari Alva pertanda ajakan untuk memulai misi. Mereka masuk ke dalam rumah yang terlihat sangat sederhana itu. Semakin didekati, terlihat cat rumahnya yang mulai mengelupas. Bagian bawah dinding yang dekat dengan tanah terlihat berjamur. Semak belukar menjadi tanaman hias untuk rumah tersebut. Hanya menyisakan jalan setapak saja untuk pengunjung. Alva mengetuk pintu. Sosok pria botak, mengenakan singlet, otot kekar menyambut mereka. “Masuk.” Suara besarnya membuat Dave hampir terguncang. Mereka bertiga mengikuti si botak dari belakang. Mereka menyusuri Lorong terlebih dahulu, kemudian menuruni anak tangga. Raka dan Dave dibuat terkejut denga napa yang mereka lihat sekarang. Tidak dengan Alva, karena ia sudah pernah kemari sebelumnya. Ternyata rumah yang terlihat tidak begitu luas dari belakang, di luar dugaan mereka. Ternyata itu hanya kedok belaka saja. Ada lebih dari ratusan orang di dalam sana sekarang. Mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing. Menari, bermesraan, minum, berpesta ria, dan masih banyak lagi. Lampu kelap kelip khas tempat sepeeti itu juga menambah kesan meriahnya tempat ini. Ditambah alunan music DJ yang semakin membuat mereka seperti cacing kepanasan. Si botak pergi meninggalkan mereka. Dave dan Raka membalik badan mereka melihat Alva menunggu apa yang akan mereka lakukan selanjutnya. “Kita berpencar. Kalian ingat wajahnya, kan?” Dave dan Raka mengangguk. Baru saja hendak melangkah, mereka bertiga didatangi gadis sexy yang memakai pakian ketat sambil memegang gelas berisi minuman berbeda warna. “Berondong girls,” ucap salah seorang wanita berbaju merah. Wanita berbaju biru mencolek dagu runcing Alva. “Mau tante ajarin main kuda-kudaan gak?” Alva menyingkirkan lembut tangan wanita itu dari wajahnya. “Maaf.” Alva pergi meninggalkan wanita itu diikuti Dave dan Raka. Sesuai perintah Alva, mereka berpencar. Mereka bertiga menyisir seluruh sudut ruangan tanpa tertinggal seinchi pun. Mereka memperhatikan satu persatu wajah yang ada di sana. Belum ada tanda-tanda pria yang mereka cari. Mereka harus bisa menghindari wanita-wanita yang haus nafsu yang mendekati mereka. Pencarian berlangsung setengah jam, namun pria yang mereka ingin temukan belum juga terlihat. Alva menghela napas, ia berhenti sejenak. Ditatapnya kembali seluruh ruangan, menilik satu persatu wajah di sekitar tempat ia berdiri sekarang. Tidak ada. Hingga tiba-tiba ia melihat satu orang pria yang mereka cari berjalan dikawal dua orang laki-laki yang memakai jas rapi. Alva menembus keramaian, mengikuti laki-laki itu. Sambil berlari, ia menghubungi Raka dan Dave mengabarkan bahwa ia sudah menemukan pria yang dicari dan menyuruh Raka dan Dave untuk menunggu di pintu keluar. Alva berhasil berhenti di depan laki-laki itu. “Maaf,” ucapnya dengan napas tersengal-sengal. “Boleh minta waktu anda sebentar. Dua Bodyguard-nya ingin menyingkirkan Alva dari jalan ketika laki-laki itu mengangkat tangannya. “Ikut saya.” Alva dibawa ke ruangan khusus. Sepertinya ini adalah ruangan untuk bos dari tempat ini. Alva berfirasat bahwa laki-laki yang sekarang berada di depannya adalah pemilik dari tempat ini. Rahang tegas, alis mata tebal, kepala tanpa rambut dan terakhir, wajah bengisnya. Alva mencoba mengingat wajah laki-laki itu. Laki-laki itu datang membawa dua buah gelas dan sebotol anggur. Ia menuangkan untuknya dan untuk Alva. “Ada apa kamu datang kemari? Rekaman CCTV?” Alva terperanjat. Ternyata laki-laki itu mengingat wajahnya, dan langsung mengerti tujuan Alva menemuinya. “Jangan sungkan,” Laki-laki itu mengangkat gelasnya, mengajak Alva untuk minum. “Terima kasih,” ucap Alva. Ia belum pernah sama sekali menyentuh minuman seperti itu. Laki-laki itu tersedak mendengar ucapan terima kasih Alva. Ada sesuatu yang menggelitik dalam dirinya. Alva tidak mau menyentuh minuman haram itu, padahal papanya tidak bisa hidup tanpa minuman tersebut. Laki-laki itu meletakkan gelasnya, kemudian bertepuk tangan. “Saya salut sama kamu. Ternyata kamu berbeda jauh dari Nugraha.” Ini kali kedua Alva dibuat terkejut. Laki-laki di depannya sekarang tahu siapa Nugraha. “Langsung saja, apa yang akan saya dapatkan jika saya memberikan informasi yang kamu inginkan?” tanyanya to the point. Alva membuka dompetnya, mengeluarkan secarik kertas. “Saya harap ini cukup.” Mata laki-laki itu sontak berubah hijau. Ia tersenyum sembari menggosok dagunya. Diangkatnya kertas cek yang Alva berikan. Nominal yang sangat besar untuk informasi yang akan diberikan olehnya. Laki-laki itu menatap Alva dengan tatapan tidak menyangka. Ternyata bocah ingusan yang sekarang sedang duduk di hadapannya mengerti apa itu bisnis sesungguhnya. “Baiklah.” Laki-laki itu menyimpan cek yang Alva berikan ke dalam tompetnya. “Akan saya berikan apa yang kamu mau setelah saya mencairkan uang ini.” Dengan cepat tangan Alva meraih tangan laki-laki itu sebelum ia menyakukan kembali dompernya. “Apa jaminannya?” ucap Alva dengan nada sedikit mengancam. Laki-laki itu tertawa kembali. Alva cukup menarik perhatiannya. Ternyata bocah ingusan itu berbeda dari ayahnya. Nugraha yang hanya bisa bertindak bodoh, bagaimana mungkin memiliki anak seperti Alva? Ungkapan buah jatuh tak jauh dari pohonnya, sepertinya masa kejayaan ungkapan itu telah habis. “Kamu bisa pegang kata-kata saya.” Laki-laki itu mencondongkan wajahnya ke depan. “Saya bukan tipe orang yang suka berbohong.” Alva menatap mata laki-laki itu beberapa detik sebelum akhirnya kembali duduk. “Baiklah. Saya akan pegang kata-kata anda.” Alva berdiri, berpamitan untuk pulang. Dua bodyguard-nya mengantarkan Alva. Dave dan Raka langsung menghampirinya dan menanyakan apa yang terjadi di dalam sana. Alva tidak mengatakan apa-apa selain meminta mereka untuk kembali ke mobil. Sampai di mobil, Alva tidak langsung berbicara. Ia memperhatikan sekeliling lagi. Jarak dari kota menuju ke tempat ini membutuhkan waktu sekitar satu jam. Mereka yang berada di dalam sana tidak mungkin berjalan kaki menuju ke tempat ini. Lalu di mana mereka semua memarkirkan kendaraan? “Al?” Raka menepuk bahu Alva, membuatnya terkejut. “Kita akan mendapatkan petunjuk sebentar lagi.” Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN