Bab 21. Hasil autopsi

1786 Kata
Bab 21 HASIL AUTOPSI “Terima kasih ya, sudah mau mengantarkan anak Tante.” Raka dan Naira memasang senyum. “Iya, Tanten,” jawab Naira santun. “Kalau begitu kami pamit ya, Tan,” pamir Raka. Raka dan Naira masuk kembali ke dalam mobil setelah salim. “Hati-hati, ya.” Raka membunyikan klakson tanda akhir pamitan sebelum keluar dari pekarangan rumah Kaila. Kaila dan Farah masuk ke dalam rumah. Sarah tergelak di lantai, dengan posisi telentang. Tangan kanannya masih memegang erat komik konan entah yang volume keberapa. Farah meletakkan tas sampingnya di sofa, membungkuk, mengangkat Sarah untuk dibawa ke kamarnya. Farah meletakkan Sarah perlahan. Harus Farah akui, Sarah sudah tidak seringan yang dulu. Ia keberatan saat mengangkatnya. Farah menarik selimut, menutupi tubuh Sarah. “Kamu sudah makan, Farah?” tanya Kaila di ambang pintu kamar Sarah. “Sudah, Ma.” Kaila masuk ke dalam kamar, duduk di kursi belajar Sarah. “Kamu dari mana saja tadi?” “Farah dari rumah Raka, Ma.” “Baguslah kalau begitu. Mama suka lihat teman-teman baru kamu. Kelihatannya mereka pintar-pintar ya?” Farah duduk di samping Sarah yang berbaring. “Banget, Ma. Selain pintar di kelas, mereka juga jago di luar akademis, Ma.” “Syukurlah kalau kamu bergabung sama mereka.” “Iya, Ma.” Farah berdiri. “Farah ke kamar dulu ya, Ma. Mau mandi.” “Iya.” Kaila ikut berdiri, ingin pergi ke dapur. “Kamu sudah sholat, kan?” “Sudah, Ma.” Farah keluar kamar Sarah diikuti Kaila di belakangnya yang hendak ke dapur. Sampai di kamar, Farah membuka lemari mencari sepasang baju untuk tidurnya malam ini. Setelah menemukannya, Farah membawanya keluar, untuk mandi. Usai membersihkan diri, Farah duduk di kuris belajarnya. Tiba-tiba saja ia memikirkan Alva. Ia bertanya dalam hati kemana laki-laki itu pergi? Apakah se-begitu pentingnya hingga tidak mengabari yang lain? Farah menampar pelan pipinya. Kenapa bisa bisa memikirkan itu. “Sadar, Farah, sadar.” __00__ Sampai di apartemen, Naila merasakan perutnya keroncongan lagi. Ia memutuskan untuk pergi ke kamarnya terlebih dahulu, untuk membersihkan diri dan ganti baju, baru setelahnya pergi ke dapur untuk memasak. Di dalam kamar mandi, Naila memikirkan ingin memasak apa nanti sambil bersenandung. Di bawah percikan shower, Naira mengadakan konser ala-ala yang membuatnya senang. Ia bahkan menjadikan sikat giginya sebagai mikrofon untuk membuat konser abal-abalnya semakin wah. Konser selesai. Naira mematikan shower, mengeringkan badan, memakai handuk, keluar kamar mandi. Pilihannya jatuh pada celana pendek sepaha berwarna putih, dan kaos oblong berwarna kuning. Usai berpakaian, Naira pergi ke dapur sesuai agendanya tadi. Naira membuka kulkas, ada banyak makanan di dalam sana. Topokki, ramen, sosis, sugget, sayur-sayuran, telur, ayam, dan berbagai macam minuman. Naira tersenyum senang. Sepertinya papanya tadi mampir dan membelikan bahan-bahan makanan karena dilihatnya kulkas anak tercintanya sedang kosong. Naira memang jarang sekali belanja. Papanya lah yang selalu mampir untuk sekedar mengisi kulkas anak semata wayangnya itu. Naira pergi ke kamar, menunda acara masaknya sebentar. Ia harus mengucapkan terima kasih terlebih dahulu. Naira membuka aplikasi w******p mengiri pesan kepada papanya. Baru setelahnya Naira kembali ke dapur untuk masak. Naira memutuskan untuk memasak topokki dicampur Samyang. Makanan pedas adalah another life bagi Naira. Melihat makanan pedas dengan warna merah merona menaikkan nafsu makan Naira. Naira memanaskan air, untuk memasak topokki. Acara masak-memasak tuntas dalam waktu lima belas menit. Setelah dipindahkan ke dalam mangkok, Naira membawanya duduk ke sofa. Naira menyantap dengan hikmat masakannya. Bel berbunyi. Naira menelan yang ada di mulutnya, meletakkan mangkok di atas meja. Ia berjalan ke pintu. Sebelum membuka, Naira mengintip terlebih dahulu siapa yang memencet bel. Ternyata itu Alva. Naira membuka pintu. “Lo dari mana, Al?” Naira langsung bertanya sembari menutup pintu. Alva tidak langsung menjawab. Ia berjalan ke sofa, merebahkan tubuhnya. Tangan kanannya digunakan untuk menutupi kedua matanya. Naira duduk di tempatnya semula. “Lo laper gak?” Alva menggeleng. “Beneran? Kalo lo laper gue masakan nih.” “Nggak.” Alva membenarkan posisinya. “Gue mau tidur.” “Ya sudah.” Naira mengambil mangkoknya tadi, melanjutkan aktivitas makannya. Tanpa sengaja, Naira melihat luka di bibir Alva. Segera dihabiskannya makanannya, kemudian ia meletakkan piring kotor, lalu mencari kotak P3K. Setelah menemukan, Naira menyuruh Albva untuk bangun. “Hm?” “Bangun sebentar. Biar gue obatin luka lo. Cepatan.” “Gak usah.” “Alva!” Alva menyingkirkan tangannya dari wajah. Naira menghela napas. Sahabatnya sejak kecil selalu saja datang membawa oleh-oleh untuknya. Bukannya oleh-oleh yang menyenangkan, ini malah menyedihkan. Naira mengambil kapas, membersihkan lukanya terlebih dahulu. Setelah itu barulah diolesi obat merah. Terdengar sedikit ringisan, Alva menahan perih di lukanya. “Lo dari mana sampai bisa begini?” Alva tidak menjawab. Ia masih fokus memejamkan mata. Karena kesal, Naira sengaja menekan luka Alva. “Aw!” Alva membuka matanya. “Sakit, Nai.” “Makanya kalau orang nanya itu dijawab.” Alva diam, memejamkan matanya kembali. “Bokap lo lagi?” Alva mengangguk. Naira selesai. Ditutupnya kotak P3K, lalu pergi mengembalikan kotak itu ke tempatnya. “Gue buatin makanan ya? Lo belum makan, kan?” teriak Naira dari dapur. “Terserah.” Naira berdecih. “Kayak cewek aja ngomong ‘terserah’” __00__ Raka membukakan pintu untuk papanya. Lewat tengah malam, Agung baru pulang. Marsita melepaskan jaket suaminya, menggantung di tempat gantungan jaket. “Kamu kenapa belum tidur?” tanya Agung pada anaknya. “Raka gak bisa tidur, Pa.” Raka menarikkan kursi untuk Agung. Makan malam telah usai beberapa jam yang lalu, kini mereka duduk di meja makan untuk menemani Agung makan. “Papa sudah dapat hasil autopis Maya?” Agung mengangguk. “Nanti akan Papa beritahu,” ucapnya sambil mengunyah. Usai makan, Agung memberitahukan kepada Raka dan didengarkan juga oleh Marsita. Hasil autopsy mengatakan bahwa kematian Maya diperkirakan sudah terjadi dua belas jam setelah jasad ditemukan. Banyak tulang yang patah. Menurut ahli, sepertinya Maya sengaja ditabrak beberapa kali untuk memastikan bahwa ia benar-benar mati. Selain itu, mereka juga menemukan bahwa Maya sepertinya diperkosa bergilir sebelum akhirnya dibunuh. Raka bergidik ngeri mendengarkan apa yang papanya sampaikan. “Kenapa ada manusia sekeji itu?” ucap Marsita. “Orang tua Maya sekarang memohon kepada polisi untuk mencari siapa yang tega membunuh putri mereka dengan cara sekeji itu.” Raka meneguk the yang sebelumnya telah dibuatkan Marsita untuknya. “Pihak kepolisian sedang melakukan yang terbaik untuk mengusut kasus ini.” “Lalu bagaimana dengan bayi kembar itu, Pa?” “Untuk bayi itu, sampai sekarang kami belum menemukan titik terang. Dugaan saat ini, kemungkinan besar dua kasus ini dilakukan oleh dua orang yang sama.” __00__ Setelah bel istirahat berbunyi, mereka berenam memutuskan untuk berkumpul di kantin guna memberitahukan hasil autopsy Maya. Raka memberitahukan apa yang ia dengar dari papanya. Mereka semua tampak kaget. Mereka kira Maya dibunuh begitu saja, ternyata dugaan mereka salah. Maya dibunuh dengan sadis. Dave yang paling terpukul mendengar apa yang Raka sampaikan. Rasa bersalah di dalam dirinya kian memuncak. Dave terus merutuki dirinya karena tidak langsung mencari Maya saat itu juga. Naira yang melihat perubahan ekspresi Dave, memukul pelan bahunya, mencoba menenangkan Dave. Naira mencoba untuk mengatakan bahwa itu bukan kesalahannya. Ini memang sudah takdir. Tapi bagi Dave, masih susah untuk merasionalkan hal tersebut. “Apa yang mendasari pernyataan bokap lo?” tanya Alva pada Raka. “Ini,” Raka menunjukkan sebuah foto. “Tanda ini. Tanda ini ditemukan di bahu para korban.” Mereka semua memfokuskan penglihatan ke tanda yang mirip busur panah, bertuliskan huruf N di tengah-tengahnya. “N?” Deva mengambil foto itu. “Ini huruf N, kan?” “Iya. Gue rasa itu ada maksudnya.” “Pasti,” ujar Naira mantap. “Tapi sangat sulit untuk mengungkapkan ini.” “Tapi bagaimana pun juga kita tetap harus memecahkan kasus ini,” sahut Dave. “Waktu kita tinggal tersisa enam hari lagi sebelum ujian, dan kita belum memecahkan apa pun.” “He was right.” Deva membenarkan. “Lalu bagaimana dengan laki-laki yang menyamar menjadi satpam itu? Kalian sudah dapatkan alamatnya?” “Sudah.” Naira mengeluarkan sebuah kertas berisi gambar laki-laki yang Digambar Dave kemarin. Naira membalik kertas itu. “Ini alamatnya.” Alva membaca alamat yang tertulis dengan tinta berwarna merah. “Bukannya ini?” “Iya, Al.” pungkas Raka mengerti maksud Alva. “Biar gue sama Alva yang ke sana.” “Lo berdua yakin?” Naira meragukan keputusan Raka barusan. “Gue ikut,” seru Dave tiba-tiba. “Jangan Dave,” larang Naira. “Kamu belum fit.” “Farah benar, Dave,” sahut Naira sependapat dengan Farah. “Lebih baik lo istirahat di rumah dulu.” “Gue gak bisa diam di tempat, Nai.” Raka mencegah Naira untuk berbicara lagi. Naira mengerti maksud Raka. Dave pasti akan baik-baik saja jika bersama mereka. Mereka tidak tahu dan tidak sadar, mereka telah melakukan kecerobohan. __00__ Pulang sekolah, mereka tidak langsung pulang ke rumah masing-masing. Mereka semua berkumpul di markas—rumah Raka. Farah sudah meminta izin sebelumnya kepada mamanya bahwa iya akan pulang malam lagi. Namun Farah tidak bilang kalau ia bersama kelima teman barunya sedang mencoba memecahkan sebuah teka-teki yang tengah terjadi. Setelah Raka, Alva, dan Dave pergi, mereka bertiga duduk menunggu sekaligus disertai rasa khawatir. Semoga saja rencana mereka ini berjalan lancar, dan ketiga pria itu pulang dengan selamat. Naira tiduran di sofa panjang sambil menggulir ponselnya melihat-lihat foto di galeri. Sampai tiba-tiba ia melihat sebuah hal yang sangat mengagetkan. Naira sontak berdiri. “Lihat ini,” ujarnya sedikit histeris membuat Farah dan Deva terfokus padanya. “Ada apa, Nai?” Farah mendekat. Naira meletakkan ponsel ke meja sofa agar semua bisa melihat. Lantas Naira membesarkan foto, memfokuskan pada pohon besar tempat di mana Pak Diko melakukan acting pembunuhan. “Ini bayangan laki-laki,” seru Naira antusias. “Itu artinya, jas dokter yang Alva temukan adalah milik laki-laki.” “Itu artinya…,” “Orang luar atau bisa jadi orang dalam sekolah ikut menjalankan drama pembunuhan itu,” pungkas Farah to the point. “Jika memang benar, kita harus memeriksa satu persatu guru pria di sekolah apakah mereka memiliki jas kedokteran,” Deva mengutarakan pikirannya. “Gue gak yakin dengan ide lo, Deva.” Naira tidak setuju. “Bisa saja barang buktinya sudah dilenyapkan oleh pelaku.” “Naira benar. Lagi pula itu terlalu membuang waktu menurutku,” seru Farah. Deva setuju. Guru laki-laki di sekolah mereka juga tidak sedikit. Untuk apa mereka buang-buang tenaga dan waktu melakukan hal yang tidak pasti seperti itu. “Atau begini saja. Lo masih inget wajah cewek yang narik paksa tangan lo waktu itu?” tanya Naira. “Ingat. Ah iya,” Farah teringat sesuatu. “Aku belum pernah melihat cewek itu lagi di sekolah semenjak kejadian waktu itu.” “Tapi lo inget kan wajahnya?” tanya Deva. Farah mengangguk. “Kita tunggu Dave.” Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN