"Lo mau ke mana, Al?"
Dave terlihat emosi. Ia ingin sekali menemui Bu Ratna sekarang juga. "Gue harus membereskan masalah ini."
Alva menahan bahunya. "Lo pikir dengan lo mendatangi Bu Ratna semuanya bakal kelar? Nggak, Dave. Bukti yang kita dapat belum cukup untuk memojokkan Bu Ratna."
Naira dan Farah diam, tidak bisa berbuat apa-apa. Dave sudah terbakar emosi duluan saat Alva memberitahukan bahwa Bu Ratna yang membayar laki-laki bringas itu menjadi satpam dadakan yang mengawasi pintu CCTV. Mereka berdua menunggu apakah Raka, Alva, dan Deva bisa menenangkannya.
"Terus kita harus diam di sini aja?" Dave menggelengkan kepalanya. "Gak bisa, Al. Gue harus nemuin Bu Ratna sekarang."
Dengan cepat Deva menahan bahu Dave saat ia hendak berbalik.
"Lo mau semua yang udah kita lakuin sia-sia, ha?!" Deva menaikkan oktaf suaranya. "Lo pikir lo aja yang kecewa sama Bu Ratna? Iya?"
Dave diam. Ini kali pertamanya melihat Deva marah seperti itu.
"Deva benar, Dave," seru Alva menenangkan. "Lebih baik kita kumpulkan lebih banyak bukti, lalu menjadikan itu sebagai senjata untuk memojokkan Bu Ratna."
"Gue setuju." Raka berdiri dari duduknya. Ia berjalan mendekati Dave, menepuk bahunya. "Gue tahu lo kehilangan Maya. Tapi lo juga gak bisa bertindak gegabah."
Dave menghela napasnya kasar. Kadar emosinya berkurang. Sekarang ia sudah bisa berpikir jernih. Yang tadinya apa pun yang dikatakan sahabatnya seakan masuk kanan keluar kuping kiri. Kini Dave bisa mencerna kalimat yang ditujukan padanya. Dave merasa telah bertindak bodoh. Jika ia mengikuti emosinya, maka hancurlah semua yang telah mereka lakukan belakangan hari ini.
Dave memandangi kelima wajah sahabatnya. Ia sekali lagi menghela napas kasar. Dua detik kemudian ia berjalan ke sofa, merebahkan badannya, menutup wajah dengan tangan. Setidaknya mereka sudah memecahkan satu teka-teki. Namun terpecahkannya teka-teki itu, membuat pertanyaan baru muncul. Kenapa Bu Ratna menyewa seseorang untuk menjaga ruangan CCTV? Apakah dia ada hubungannya dengan kematian Maya.
"Sekarang yang menjadi pertanyaan, untuk apa Bu Ratna menyewa orang untuk menjaga ruangan CCTV?" seru Farah di tengah-tengah keheningan.
Dave yang mendengar kalimat itu merubah posisinya menjadi duduk. Ia menunggu jawaban dari kelima sahabatnya.
"Lo bisa mengakses file yang sudah dihapus, Nai?" tanya Alva.
Naira mengangguk. "Bisa. Tapi gue harus menggunakan komputer tempat file itu dihapus."
Raka dan Alva bertukar pandang. Tak lama setelah itu, mereka berdua kompak mengangguk. Inilah kekuatan hebat dari persahabatan. Mereka bisa berbicara hanya dengan bertatap wajah, lalu menggunakan anggukkan sebagai pengesahan percakapan mereka.
"Lo ikut gue ke sekolah sekarang." Raka keluar dari markas diikuti Naira dari belakang.
Raka tidak langsung memasukkan mobilnya ke area sekolah. Mereka mengawasi gedung dari jalan raya terlebih dahulu. Dari sana mereka tidak menemukan ada yang mencurigakan. Hanya ada Pak Burhan yang duduk di pos menjaga sekolah.
"Siap?" Raka memastikan.
Naira mengangguk yakin.
Raka membalikkan stir, bersiap memasuki pelataran sekolah.
Raka memainkan taktiknya. Ia mengatakan kepada Pak Burhan bahwasannya ia disuruh Bu Ratna untuk mengambil beberapa berkas murid kelas 10 untuk pendataan ulang.
Tanpa berpikir lama, Pak Burhan mengizinkan. Ia segera membukakan gerbang, mempersilakan Raka untuk masuk.
Begitu masuk ke dalam mobil, Naira memuji cara bohong Raka. Ia tertawa. Pasalnya ini kali pertama Naira melihat Raka berbohong. Pria yang hidup dengan prinsip dan harus menaati aturan itu bisa juga berbohong.
Mereka tidak ingin bertele-tele. Ruangan CCTV menjadi tempat tujuan mereka. Satu persatu anak tangga mereka naiiki untuk menuju ke sana. Ruangan CCTV berada di lantai atas.
Pintu tidak dikunci.
Raka dan Naira langsung masuk ke dalam sana. Raka menutup pintu. Ia berjaga di balik pintu. Naira langsung mencari monitor utama. Sebelum melakukan tugasnya, ia membunyikan buku-buku jarinya terlebih dahulu. Beberapa saat kemudian, matanya fokus menatap monitor. Jarinya dengan lihai menari-nari di atas kibor tanpa hambatan sedikit pun.
Belum sempat mengerahkan keahliannya sedikit pun, Naira langsung menemukan file yang mereka cari. Filenya tersimpan dengan rapi, tanpa ada sedikit yang hilang. Naira menonton rekaman itu. Ia terkejut bukan kepalang. Dipanggilnya Raka agar ikut menonton. Mereka berdua hampir dibuat tidak bisa berkata-kata. Raka segera meminta Naira untuk menyalin file ke diska lepas yang ia bawa.
Mereka berdua bingung. Haruskah mereka senang setelah mendapat rekaman CCTV itu, ataukah mereka harus mengecam pelakunya. Ini sangat-sangat di luar dugaan. Mereka tidak sama sekali menduga hal semacam ini yang terjadi.
__00__
Tiba-tiba ponsel Dave berdering. Tirta menelponnya. Dave menerima sambungan teleponnya.
Semua menunggu Dave selesai menelpon dan ingin tahu apa yang sedang dibicarakan.
"Ada yang mengirimi video p*********n Maya dan Ratih ke ponsel Maya."
"What?"
"Kita harus ke rumah Maya sekarang."
Alva mengangguk. Ia keluar menuju mobilnya diikuti Deva dan Dave. Alva meminta Farah untuk tetap di sana sampai Raka dan Naira kembali.
Dengan kecepatan penuh Alva mengemudikan mobilnya sesuai arahan Dave. Dave pernah sekali mengantarkan Maya pulang ke rumah. Jadi ia tahu di mana rumah Tirta.
Sepanjang perjalanan, Dave mengepalkan kuat tangannya. Bagaimana bisa Maya yang sudah mati dengan mengenaskan itu diperkosa terlebih dahulu oleh manusia-manusia b******n yang tidak memiliki pikiran sama sekali. Dave berjanji dalam hatinya, ia akan membalaskan perbuatan mereka kepada Maya. Dave tidak terima jika gadis yang ia cintai harus mengalami nasib pahit seperti itu. Mereka harus membayar setimpal atas apa yang telah mereka lakukan.
Alva mengerem mendadak. Anak kecil kira-kira berusia lima tahun tiba-tiba menyebrangi jalan untuk mengambil bolanya. Sang Ibu bergegas mengejar anaknya, dan meminta maaf. Alva melanjutkan perjalanan. Ia memutar stir ke kiri sesuai perintah Dave. Mereka memasuki kompleks perumahan yang tak kalah mewah dari kompleks perumahan Alva. Yang berbeda, kompleks perumahan yang saat ini mereka datangi, tidak sepadat perumahan tempat Alva tinggal.
"Itu rumahnya." Dave menunjuk sebuah rumah berwarna putih, paling besar di antara rumah-rumah lainnya.
Alva berhenti di depan pagar. Ia memencet klakson. Seorang satpam mendatangi mereka.
"Cari siapa Den?"
"Pak Tirtanya ada, Pak?"
"Oh, ada. Den sudah punya janji?"
"Sudah, Pak." Dave menunjukkan daftar panggilannya dengan Tirta.
Satpam itu segera membukakan pagar untuk mereka.
Tirta menyambut mereka semua, mempersilakan masuk. Asisten rumah tangga membawakan mereka jus jeruk. Tirta menyuruh mereka untuk meminumnya terlebih dahulu sebelum memulai pembicaraan.
Selagi mereka menikmati minuman, Tirta naik ke atas mengambil ponsel Maya untuk ditunjukkan kepada Mereka. Setelah turun, Tirta memperlihatkan dua video yang dikirim nomor yang tidak dikenal kepada mereka.
Tidak ada yang berani untuk menontonnya. Apalagi Dave. Rasanya ingin sekali Dave melayangkan tangannya ke wajah-wajah mereka yang melakukan hal hina semacam itu kepada Maya.
Alva meminta untuk dikirimkan video tersebut ke ponselnya, berikut dengan nomor pengirim agar nantinya Naira bisa melacak keberadaan si pengirim.
Tirta juga menceritakan hal yang baru kepada mereka. Tirta baru ingat, beberapa hari sebelum Maya meninggal, ia mendapatkan sebuah paket. Semenjak mendapatkan paket itulah Maya mulai berubah menjadi penakut dan jarang sekali keluar kamar.
Maya biasanya sangat aktif dan ceria. Tapi setelah paket itu ia terima, tingkah lakunya menjadi berubah. Awalnya Tirta mengira itu mungkin faktor lain, namun sekarang ia baru menyadari bahwa semua berawal dari paket yang ia terima.
Alva menanyakan apakah Tirta tahu apa isi paket itu, namun Tirta menjawab dengan gelengan tidak tahu. Ia juga beberapakali bolak-balik kamar anaknya untuk mencari paket tersebut, namun ia tidak berhasil menemukannya. Tirta yakin paket itu pasti masih ada di rumah ini, tapi tidak tahu di mana.
"Boleh kami mencarinya, Pak?" Tiba-tiba Dave meminta izin untuk merealisasikan idenya.
Semua kaget dan pandangan mereka mengarah ke Dave.
"Silakan. Saya tidak keberatan, malah saya berterimakasih jika kalian ingin melakukannya."
Tirta berdiri, mengajak mereka ke kamar anaknya. Sampai di sana, semua berpencar menggeledah setiap senti dari kamar Maya tanpa terlewat.
Lima belas menit berlalu, dan mereka belum menemukan apa pun juga. Tirta menghela napas pasrah. Ataukah feeling-nya mengatakan bahwa paket itu masih ada di rumah ini itu salah? Atau jangan-jangan Maya memang sudah membuangnya agar tidak ditemukan oleh siapa pun?
Dave duduk di atas tempat tidur menilik setiap sudut ruangan baik atas dan bawah. Pandangannya jatuh pada sebuah bingkai foto keluarga. Dave berdiri, menarik kursi, naik ke atasnya. Begitu dilepaskan bingkai foto itu dari dinding, ada sebuah kartu memori SD jatuh. Dave langsung turun dan mengambilnya. Dilihatnya di balik bingkai, ada secarik kertas melekat di sana.
Dave memberikan card SD itu kepada Alva agar diperiksanya. Dave membuka surat itu, lalu membacanya.
"Selesaikan tugasmu, atau nyawamu akan jadi taruhannya."
Ingin rasanya Dave menggenggam kertas yang ada di tangannya sampai lusuh, namun ia teringat bahwa Tirta harus membaca surat itu. Diserahkan surat tadi kepada Tirta.
Bak tersayat pisau, Tirta merasakan hatinya sakit sekali. Ia merasa sangat bersalah kepada Maya karena tidak melindunginya selama ini. Anak semata wayangnya harus berakhir mengenaskan.
Setelah diperiksa, ternyata card SD itu berisi video Maya saat diperkosa, sama dengan yang dikirimkan dari nomor yang tidak dikenal. Ini dia penyebab kenapa Maya sangat ketakutan. Si pengirim mengancam akan membunuhnya jika ia tidak menyelesaikan tugas. Lalu video p*********n itu dijadikan senjata agar membuat Maya lebih takut lagi.
"Lalu tugas apa yang harus diselesaikan Maya?" tanya Deva membuat semua wajah tertuju padanya.
Pertanyaan Deva mewakili semuanya. Tugas apa sebenarnya yang dimaksud dari surat itu. Alva meminta surat dari tangan Tirta. Setelah dibacanya tiga kali, tidak ada yang bisa dijadikan petunjuk. Itu hanya surat biasa yang berisi ancaman.
Dave meminta Alva untuk memeriksa sekali lagi card SD yang didapatnya tadi. Setelah diperiksa, ternyata Alva menemukan sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk. Sebuah foto. Sepertinya itu sengaja dimuat dalam card SD tersebut sebagai alamat yang harus dituju Maya.
Bersambung...