Bab 19
Sobekan kain
“Aku boleh pulang duluan, gak?” Farah meminta izin kepada Dave dan Deva. “Mama aku pulang malam hari ini, jadi akum au masakin makan malam buat Sarah.”
“Boleh, boleh, Farah. Atau perlu aku anterin?” tawar Deva.
Farah dengan cepat menolak. “Gak usah. Aku bisa pulang sendiri, kok. Kamu jagain Dave aja.”
Deva mengangguk.
Farah berpamitan sekali lagi sebelum keluar dari rumah Dave. Keluar pagar, ia langsung menemui angkot, menghentikannya. Tiga laki-laki bertubuh besar dan kekar ada di dalam sana. Lama-kelamaan Farah merasa ada yang janggal. Mereka bertiga memandangi Farah dengan tatapan yang tidak biasa.
Hingga akhirnya, salah satu pria botak mendatanginya, mengambil tempat tepat di sebelah Farah. “Neng gelis mau ke mana atuh?” tanyanya sambil berusaha memegang tangan Farah. Dengan cepat Farah menyembunyikan tangannya dari laki-laki itu.
“Sombong amat, Neng.” Laki-laki itu tertawa. “Jangan jual mahal gitu dong.”
“Aaa…,” jerit Farah kuat sekali saat tangan laki-laki itu memegang bahunya.
Sopir angkot mengerem, menoleh ke belakang. Tapi dengan sigap laki-laki yang bertubuh paling kecil langsung menodongkan pisau kepada sopir itu, menyuruhnya untuk diam dan lanjut mengemudi.
Pria berambut acak-acakan ikut menghampiri Farah. Sekarang Farah berada di tengah-tengah.
“Neng gak boleh galak-galak. Abg gak suka main kasar kok, jadi tenang aja.” Laki-laki berambut acak-acakan menyentuh kepala Farah. Farah menggeleng-gelengkan kepalanya berusaha menjatuhkan tangan laki-laki itu dari atas kepalanya.
Ini tidak bisa terjadi. Farah tidak boleh diam saja. Farah melirik ke pintu angkot, jaraknya lebih jauh daripada posisi laki-laki yang sedang menodongkan pisau ke sopir angkot. Kalau ia langsung melarikan diri sekarang, yang ada nyawanya dalam bahaya. Farah harus melakukan sesuatu.
Farah menarik napas dalam selama tiga detik sebelum melancarkan aksinya. Ia menghitung dalam hati. Hingga hitungan ketika, Farah menjedutkan kepalanya ke laki-laki botak, kemudian menendang sekuat tenaga bagian paling vital bagi laki-laki. Setelah itu Farah bangkit, dengan sigap mengambil pisau di tangan laki-laki yang terakhir, menodongkan kembali kepada laki-laki itu dengan percaya diri. Farah meminta sopir angkot untuk berhenti. Mereka keluar berbarengan, menjerit meminta tolong.
Para warga yang mendengar langsung berdatangan. Tanpa susah payah, para warga meringkus tiga manusia yang berusaha merusak Farah. Sopir angkot berterima kasih kepada Farah sekaligus meminta maaf, karena seharusnya sopir itulah yang menyelamatkannya.
Sopir angkot itu menawarkan untuk mengantarkan Farah hingga ke rumahnya tanpa menarik sewa lagi. Farah mengiyakan.
Sampai di rumah, Sarah sudah berada di ruang tengah, duduk di sofa, dengan komik favoritnya sudah dipegangnya menggunakan kedua tangan.
“Kakak pulang,” ujar Farah menyadarkan adiknya yang tenggelam dengan komik.
“Kak, Sarah laper,” ujarnya memelas.
“Sebentar ya,” Farah mencubit pipi gembul adiknya. “Kakak ganti baju dulu, habis itu baru masak.”
Usai mengganti pakaian, Farah langsung beranjak ke dapur. Ia mengambil beberapa potong ayam dari kulkas. Siang ini ia ingin memasak semur ayam. Selain ikan nila asam manis, semur ayam juga menjadi teman makan favoritnya.
__00__
“Ini bukannya sobekan kain yang biasa dipakai dokter-dokter?” tanya Raka. Melihat sobekan kain putih yang Alva tunjukkan, langsung mengingatkan Raka pada hal yang disebutkannya. “Coba deh lo perhatiin, Nai. Iya, kan?”
Naira mencoba lebih teliti melihat sobekan kain itu. Raka benar. Bahan kainnya juga sama persis dengan kain jas yang biasa dikenakan dokter.
“Gue berniat memberikan itu ke bokap lo, Ka.” Ujar Alva.
“Gue setuju. Bokap lo mau bantu kan, Ka?” tanya Naira memastikan.
“Mau. Lo semua tenang aja. Seperti rencana kita, kasus ini harus kita pecahkan dalam seminggu. Senin depan kita akan ujian kenaikan kelas. Jangan sampai kasus ini mengacaukan ujian kita.”
“Ngomong-ngomong lo berdua dari mana?”
“Dari rumah sakit,” jawab Naira. “Mayat bayi yang lo temukan itu bukan bayi kembar korban kecelakaan tempo hari lalu.”
“Jadi?..., hipotesis lo itu salah?”
Naira menghela napas, mengangguk. “Bayi korban kecelakaan itu meninggal dua jam setelah dilarikan ke rumah sakit. Menurut hasil autopsi, kematian bayi itu disebabkan benturan kuat di kepala. Sedangkan bayi yang lo temukan itu, kematian mereka disebabkan karena sengaja dibenamkan di dalam air, setelah mati, baru dimutilasi.”
Terdengar cukup mengerikan di telinga Alva. Bayi malang yang tidak berdosa itu harus mengalami nasib malang seperti itu.
“Gue gak habis pikir, kenapa ada manusia sekeji itu di muka bumi ini,” Naira duduk di samping Alva. “Gue ngeliat bayi nangis aja gak tega, apalagi buat ngebunuh.”
Raka ikut duduk. Mereka sekarang sedang berada di garasi, tempat bermain golf Raka dan papanya. Di garasi ini juga ada sofa lama.
“Lo ada nemuin petunjuk lain, Al?”
Alva menggigit bibir bawahnya, menggeleng. “CCTV yang seharusnya bisa menjadi bukti kuat, ternyata sudah dimanipulasi. Gue tadi udah cek, ternyata rekaman kamar mandi sudah dihapus.”
“Dihapus? Lagi?”
“Gue berharap keyakinan gue itu salah.”
“Maksud lo?” Kalimat Alva barusan terasa janggal di telinga Naira.
“Gue khawatir kalau kasus ini ada hubungannya dengan orang dalam.”
“Bu Ratna,” ujar Raka tiba-tiba. “Gue yakin Bu Ratna, pasti dia.”
“Jangan ngaco kamu, Ka,” Naira tidak setuju.
“Lo gak inget apa? Untuk apa Bu Ratna mencoba mengotori TKP waktu itu?”
Naira ingat. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan Raka.
“Kita harus lebih waspada terhadap Bu Ratna. Dia juga bukan orang sembarangan.”
Naira teringat sesuatu. “Ada yang belum gue sampein ke kalian.” Naira membenarkan posisi duduknya. “Tadi pagi, gue liat Bu Ratna keluar dari laboratorium. Dan lo tau, gerak-gerik Bu Ratna mencurigakan banget.”
“Apa yang aneh dari keluar laboratorium?” tanya Alva tidak mengerti.
“Gini-gini, tapi pagi itu gue dateng ke sekolah sebelum semua murid pada datang. Bahkan sebelum gerbang dibuka. Begitu gue masuk, Bu Ratna udah duluan ada di gedung sekolah. Artinya Bu Ratna sedang melakukan sesuatu secara diam-diam.” Naira mengambil kesimpulan.
Raka dan Alva sedang mencerna apa yang barusan dikatakan Naira. Tidak menutup kemungkinan Bu Ratna sedang merencanakan sesuatu.
Raka menjentikkan jarinya. “Gue punya ide.”
__00__
Bu Ratna keluar dari taxi yang ditumpanginya. Setelah memberikan uang pecahan lima puluh ribu, sopir taxi melajukan mobilnya. Pak Burhan memberikan salam kepada Bu Ratna lalu membukakan gerbang untuknya.
Begitu gerbang sekolah terbuka, Bu Ratna memberikan pecahan seratus ribu sebanyak lima lembar kepada Pak Burhan, kemudian melangkah masuk ke dalam area sekolah.
Ruangan yang pertama kali dituju Bu Ratna adalah ruangan CCTV. Seluruh bagian sekolah kosong melompong. Tidak ada siapa pun di sana. Sampai di sana, Bu Ratna langsung menuju monitor yang berada di sudut ruangan.
Lima menit berkutat di sana, senyuman sungging Bu Ratna muncul disertai suara lengusan. Bocah bodoh yang sempat mengamuk ingin masuk ke ruangan ini, dan membuka computer yang sama dengan yang dibuka Bu Ratna, tapi bocah itu tidak menemukan apapun.
Bu Ratna mengambil diska lepas dari tasnya, memindahkan file ke dalamnya. Setelah selesai, Bu Ratna keluar dari ruangan itu, menuju ruangannya. Sambil berjalan menuju tempat berikutnya, Bu Ratna memperhatikan seluruh bagian Gedung yang ia lihat.
Sekolah ini cukup bergengsi. Menjadi sekolah keempat terbaik di Jakarta tetap tidak bisa menjamin tindak criminal tidak akan terjadi di sini. Melengus angkuh, Bu Ratna tertawa pelan. Siapa mereka yang bisa mencegah hal itu terjadi?
Sampai di ruangannya, Bu Ratna duduk di sofa, menyelonjorkan kakinya, membunyikan ruas leher dan buku-buku jarinya. Hari ini ia bekerja cukup ekstra untuk membereskan semua yang terjadi. Andai saja tidak terjadi kesalahan, pasti ia tidak harus membuang-buang percuma tenaganya demi hal ini.
Apa pun yang terjadi, Bu Ratna harus merahasiakan ini sampai kapan pun kalau ia tidak mau hidupnya berakhir. Ia tidak bisa membayangkan, bagaimana nasibnya jika apa yang ia lakukan ini terbongkar. Untuk mencegah hal itu, maka Bu Ratna harus rela berkorban demi itu.
Pintu ruangannya diketuk.
Bu Ratna mempersilakan yang mengetuk pintu ruangannya untuk masuk. Sosok laki-laki berambut hitam keputih-putihan mengambil tempat di depan Bu Ratna. Bu Ratna berdiri, memberi hormat kepada laki-laki itu.
“Bagaimana? Sudah kamu kerjakan apa yang saya perintahkan?”
“Sudah, Pak.”
“Bagus!” pujinya. “Mana benda itu?”
Bu Ratna membuka tasnya, mengeluarkan diska lepas, memberikannya kepada laki-laki itu.
Menerima pemberian dari Bu Ratna, laki-laki itu tertawa puas.
“Saya sudah tf sisanya. Sekarang kamu jangan pernah melakukan hal-hal yang tidak diperlakukan lagi. Jangan pernah bertindak sebelum saya memberikan perintah.”
Bu Ratna mengangguk paham. “Baik, Pak.”
“Kamu boleh pergi.”
Bu Ratna bergegas menutup tasnya, berpamitan, kemudian cepat-cepat keluar dari ruangannya. Sampai di depan pintu, Bu Ratna menghela napas. Ia merasa lega karen hari ini ia menjalankan tugas dengan baik. Tidak ada amukan hari inii yang ia terima. Syukurlah. Bu Ratna bisa tidur dengan nyenyak malam nanti.
__00__
“Alhamdulillah…,” ucap Sarah memegang perutnya kenyang. “Mama ke mana, Kak?”
“Mama pulang malam hari ini, jadi kamu nanti tidur jangan malem-malem, ya.” Farah menumpuk piring bekas makannya dan makan Sarah, hendak membawanya ke dapur. “Tolong Kakak bawain lauk itu.”
“Baik, Kak.”
Farah langsung mencuci bekas makan dan masaknya tadi. Ia harus ke rumah Raka, ikut memcahkan kasus yang saat ini masih menjadi misteri. Kali ini Farah harus lebih berhati-hati. Ia harus naik angkot yang ramai penumpangnya, agar kejadian seperti tadi tidak lagi terulang.
Selesai mencuci piring, Farah menyapu, mencuci baju. Kegiatan berberesnya selesai pukul 3 sore. Farah mandi, mengganti pakaiannya dengan gamis ungu, jilbab hitam.
“Kakak mau ke mana?” tanya Sarah melihat kakaknya keluar kamar.
“Kakak mau pergi keluar, ke rumah temen Kakak.” Farah menutup pintu kamarnya. “Kamu gak kenapa-napa kan Kakak tinggal sendirian?”
Sarah mengacungkan jempolnya. “Nggak, Kak. Sebentar lagi temen Sarah juga ada yang mau dateng.”
“Ya udah kalau begitu. Nanti kalau temen kamu udah pulang, jangan lupa tutup pintu, ya.”
“Iya, Kak.”
“Kakak berangkat. Assalamualaikum.”
Begitu keluar rumah, Farah terkejut. Alva sudah berdiri bersender di mobilnya, memakai hoodie hitam dipadukan dengan jeans biru muda.
“Alva?”
Alva yang saat itu tengah melihat tanah, menaikkan kepalanya ketika mendengar namanya disebut. Tidak menjawab. Alva membuka pintu, masuk ke dalam mobil.
Farah paham. Ia masuk ke dalam mobil, tapi bukan di samping Alva.
Alva melihat Farah melalui rear-vision mirror alias spion depan yang ada di dalam mobil. Ia tidak suka melihat Farah bukannya duduk di sampingnya, malah duduk di belakang.
“Maaf kalau kamu keganggu, tapi kita bukan mahram,” Kalau bukan karena kejadian tadi, Farah tidak ingin sebenarnya satu mobil dengan Alva. Ia masih merasa takut.
Alva diam. Ia menyalakan mesin, dan mulai mengemudi.
Kecanggungan terjadi. Farah tidak mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya. Sepanjang jalan, ia hanya menatap ke luar jendela, memandangi kendaraan dan pepohonan yang dilewwati.
Begitu juga dengan Alva. Ia fokus menatap jalan. Sesekali Alva melirik Farah dari spion.
Tiba di rumah Raka, Farah segera turun. Naira melambaikan tangan menyambutnya.
“Lo udah makan belum?”
Farah tersenyum, mengangguk. “Udah.”
Raka melihat pesanan makanan yang dipesannya tadi sampai. Ia segera menghampiri sopir gojek, dan membayarnya. Raka membawa makanan ke garasi, markas perkumpulan mereka.
Farah takjub denga napa yang ia lihat sekarang. Farah mengira kalau garasi rumah Raka tidak seluas dan sekeren ini. Ada biliar, tenis meja, moge, mobil, sofa. Bahkan rumahnya jika dibandingkan dengan garasi Raka, lebih luas lagi garasi Raka.
“Ayo Farah, duduk.” Naira mempersilakan Farah. Ini kali pertamanya ke markas mereka. Naira harus menyambut anggota baru bukan?
Raka selesai membuka kotak pizza. “Ayo Farah, makan.”
“Terima kasih. Tapi aku udah makan tadi di rumah.”
“Ayolah Farah,” bujuk Naira. “Satu potong aja.”
Farah mengiyakan. Ia mengambil satu potong pizza.
“Gimana, enak?”
Farah mengangguk sambil menguyah.
“Kita mulai setelah makan?” tanya Alva, mengambil potongan baru.
“Dave dan Deva mau kemari. Kita tunggu mereka.”
“Dave?” Raka menelan isi mulutnya. “Dia udah sehat?”
Naira mengedikkan bahu. “Gak tau. Tapi kata Deva tadi, Dave mau ikut.”
Hitungan menit selanjutnya, satu kotak pizza lenyap. Alva berdiri, membuang kotak ke tong sampah.
“Gue masih laper,” ujar Naira membuat Farah geleng kepala.
Sepanjang aksi makan tadi, Naira yang paling lahap ketimbang yang lainnya. Lalu sekarang dia bilang kalau masih lapar? Ini lambung atau apa?
“Jangan heran. Cantik-cantik gini, tapi kalau makan porsi kuli,” ujar Raka bercanda.
Farah tertawa melihat ekspresi Naira yang berubah ketika diledek Raka.
Dave dan Deva sampai. Mereka membawa sotong dan tahu bulat.
Bak melihat uang, mata Naira berubah menjadi hijau saat melihat makanan. Ia langsung bangkit dari sofa, mengejar Dave, mengambil bungkusan plastik darinya, membawa ke tempat duduknya semula. “Lo mau, Farah?”
Farah menggelengkan kepala. Perutnya sudah cukup kenyang. Tapi porsi makan gadis itu benar-benar seperti kuli. Mungkin kuli pun kalah dibuatnya.
Raka memberi komando untuk merapikan posisi. Tidak butuh waktu lama, semua sudah duduk rapi di sofa. Raka berdiri, Naira dab Farah duduk berdampingan, Dave dan Deva duduk bersebelahan.
Raka berdehem sebelum memulai pembicaraan. “Tadi siang Alva menemukan sobekan kain yang mirip dengan kain yang biasa dibuat jas dokter. Di sekolah kita tidak ada satupun guru yang mengenakan jas semacam itu.” Raka mengambil sampel kainnya, namun sebelum itu dia sudah menggunakan sarung tangan agar barang bukti tidak rusak. “Ini. Jika memang benar ini ada kaitannya dengan kematian buatan Pak Diko, maka ini bisa mengarahkan kita kepada dalang utama di balik tipuan itu.”
Semuanya menatap Raka dengan serius, mendengarkan dengan seksama.
“Rekaman CCTV sekolah tidak bisa kita harapkan lagi. Gue yakin, pihak sekolah ikut campur.” Raka mengode Alva untuk melanjutkan kalimatnya.
“Saat semua berkumpul di kamar mandi, ruangan CCTV menjadi tujuan pertama gue.” Semua pandangan beralih ke Alva sekarang. “Begitu tiba di sana, lo pasti tau kan, ruangan CCTV gak pernah dijaga kecuali malam. Tapi untuk pertama kalinya gue liat, ruangan CCTV dijaga oleh seorang satpam yang gue belum pernah lihat sekalipun.”
“Lo inget wajah satpam itu?” tanya Dave.
Alva mengangguk. “Gue inget.”
Dave meminta selembar kertas HVS putih dan sebuah pensil kepada Raka. Setelah diberikan, Dave meminta Alva untuk mejelaskan bagaimana ciri-ciri satpam itu. Mereka pergi ke meja billiar agar Dave bisa lebih mudah menggambarkan ciri-ciri yang Alva sebutkan.
“Jika memang benar Pak Diko masih hidup, gue yakin pasti dia sedang bersembunyi menuruti perintah otak dari misteri ini,” ujar Raka, mengutarakan pikirannya.
“Tapi untuk apa Pak Diko mengirmkan foto dan video yang menunjukkan kalau dia masih hidup? Bukankah itu justru memancing kekacauan?” Sejak Farah memberitahukan mengenai foto dan video itu, Naira berusaha keras mencari tahu apa tujuan di balik itu. Namun sampai sekarang, ia belum mendapatkan jawaban.
“Seseorang,” ucap Farah tiba-tiba saat semua orang sedang memikirkan jawaban untuk pertanyaan Naira.
“Seseorang?” tanya Deva tidak mengerti.
“Mereka sedang memancing seseorang.” Farah berdiri, mengambil alih posisi Raka. “Pasti ada masalah internal yang membuat mereka terpaksa melakukan itu.”
“Gue paham,” sahut Naira tiba-tiba setengah menjerit. “Mereka sedang merasa ditipu. Jika mereka melakukan hal itu, dan orang yang berada di balik semua itu mengetahui bahwa mereka mengirimkan bukti bahwa kematian Pak Diko hanya rekayasa belaka, maka mereka akan mendapatkan apa yang mereka mau.”
Farah menjentikkan jarinya, puas dengan penarikan kesimpulan yang Naira berikan. Raka dan Deva mengangguk paham.
Tiga puluh menit berikutnya, Alva dan Dave kembali bergabung. Dave meletakkan selembar kertas yang kini sudah ada gambar seseorang berwajah bengis yang menjadi satpam dadakan penjaga ruangan CCTV sekolah tadi.
Farah merasa seperti pernah melihat wajah itu, tapi ia lupa di mana. Farah mengambil kertas itu, melihatnya lebih teliti. Tiga detik kemudian, ingatannya kembali. “Aku pernah lihat wajah ini.”
Sontak semua mengangkat wajah mereka, menatap Farah dengan tatapan tidak sabar menunggu kelanjutan dari kalimat Farah.