Bab 18. Mencari korban kecelakaan

1308 Kata
Bab 18 Mencari korban kecelakaan Dave membuka matanya perlahan. Deva dan Farah menghela napas lega, akhirnya sahabat mereka sadarkan diri. Dave ingin bangun, cepat-cepat Deva membantunya. Farah mengambilkan segelas air, memberikannya kepada Dave. “Minum dulu, Dave.” Dave menerima pemberian segelas air itu, meneguknya hingga habis. “Yang lain pada ke mana?” Suara Dave masih terdengar lemah. Wajahnya juga pucat. “Pergi,” jawab Farah singkat. Dave ingin beranjak dari tempat tidur. Deva mencegahnya. “Lo mau ke mana? Stay here, please. Kamu belum fit, Dave.” “Ada yang harus gue lakukan sekarang, Deva.” Dave mencoba beranjak lagi. Deva lagi-lagi mencegahnya. “Gak. Lo harus istirahat dulu.” Dave sudah tidak bisa berdalih. Ia menuruti perkataan Deva. Dave membaringkan tubuhnya lagi. Di dalam pikirannya hanya ada Maya sekarang. Kalau boleh jujur, Dave merasa kehilangan. Rasa bersalah yang ada di dalam pikiran dan juga hatinya menuntut Dave untuk mencari tahu siapa yang sudah membunuhnya. Kalau saja Dave segera mencari Maya hari itu. Pasti ini tidak akan terjadi. Dasar bodoh, batin Dave. Farah bisa melihat dari tingkah dan mata Dave. Entahlah. Tapi farah bisa merasakan kalau Dave sangat mencintai Maya. Dari mana firasat itu datang, Farah juga tidak tahu. Farah menaikkan selimut, menutupi tubuh Dave. “Aku ke kantin sebentar, ya. Cari makanan,” Farah berpamitan. Tadi Naira mengajaknya ke kantin, namun urung karena Raka mengajaknya pergi. Sampai di kantin ia membeli beberapa bungkus roti dan air mineral. Farah membawa barang beliannya kembali ke UKS. Farah membukakan sebungkus roti kepada Dave. Mula-mula Dave menolak untuk memakannya, namun karena paksaan Deva, Dave mengalah. Ia memakan roti pemberian Farah. Pintu UKS terbuka. Bu Ratna bersama Prof. Gunawan masuk, langsung mendatangi Dave. “Bagaimana kondisi kamu sekarang?” tanya Bu Ratna. Wajahnya yang seram dan suaranya yang tegas, membuat suasana UKS yang semula sunyi, kini kian menjadi menegangkan. Dave menjawab. “Baik, Bu.” “Maaf sebelumnya,” ujar Prof. Gunawan—kepsek berambut putih. “Saya tidak bermaksud untuk mengguncang kamu. Tapi saya hanya ingin menanyakan bagaimana kamu bisa menemukan jasad Maya.” Sesaat Dave terdiam. Wajah Maya yang berlumuran darah seketika muncul di benaknya. Dave memejamkan mata karena apa yang dilihatnya barusan cukup mengenaskan. “Dave?” Dave mengangkat tangannya tanda ia baik-baik saja. “Saat saya sedang berada di ruangan Bu Ratna,” Dave memulai penjelasan. “Saya kebelet buang air kecil. Setelah selesai, bilik yang di tengah belum terbuka sejak saya masuk hingga saya keluar. Awalnya saya mengira mungkin orang yang di dalam ketiduran. Tapi ketika saya mengintip dari sela bawah, ternyata yang saya lihat kaki mulus seorang perempuan. Ketika saya buka, ternyata yang di dalam adalah jasad Maya.” “Apakah kamu menemukan petunjuk yang bisa dijadikan bahan penyelidikan?” Dave menggeleng. Ia memang sama sekali tidak ada menemukan petunjuk yang bisa dijadikan bahan penyelidikan. Dave hanya berfirasat, bahwa mayat itu diletakkan di bilik tengah kamar mandi sejak tadi malam. Tidak ada darah yang berceceran. Hanya tubuh Maya yang berlumuran darah. “Kalian sebaiknya bawa Dave pulang. Seluruh ruangan sekolah ini akan diperiksa oleh polisi,” Bu Ratna memberikan arahan. “Baik, Bu,” ujar Dave mematuhi. “Baiklah. Kalau begitu kami pamit.” __00__ “Mama tidak yakin, Nai,” “Maksud Mama?” Amira memutar komputernya, memperlihatkan data pasien rumah sakit korban kecelakaan yang Raka dan Naira maksud. “Lihat ini,” Amira menunjuk monitor. “Pasien bayi kembar itu meninggal lima jam setelah dibawa kemari. Mama juga melihat kedua orang tua bayi itu menangis histeris saat dokter memberitahukan hal itu. Kepala bayi kembar itu terbentur kuat saat mobil terbalik. Kepala mereka yang belum sempurna terbentuk, tidak sanggup menahan benturan itu.” “Lalu, Tan?” Raka tidak sabar menunggu lanjutan dari penjelasan Amira. “Tapi perkiraan sementara dari dokter yang mengautopsi dua mayat bayi yang ditemukan di rumah Alva mengatakan, bahwa kematian bayi itu terjadi bukan karena benturan. Melainkan bayi sengaja dibenamkan ke dalam air, kemudian barulah tubuh mereka dipotong-potong.” “Jadi maksud Mama bayi kembar yang ditemukan di rumah Alva bukan bayi kembar korban kecelakaan?” tebak Naira. Amira mengangguk, mengembalikan posisi monitor ke semula. “Benar. Mereka adalah bayi yang berbeda.” Naira mengeluarkan foto bayi kembar yang ditemukan di rumah Alva. “Baju yang digunakan bayi ini, sama dengan bayi korban kecelakaan, Ma,” Naira masih yakin kalau mereka adalah Bayi yang sama. “Ini tidak bisa dijadikan bahan bukti yang kuat. Bisa saja memang mereka memiliki baju yang sama.” “Lantas di mana kedua orang tua bayi itu, Tan?” tanya Raka. “Mereka sedang berada di ruang perawatan sekarang. Si Ibu mengalami patah tulang di kaki. Dan Si Ayah mengalami patah tulang di tangan dan kaki sebelah kirinya, serta leher. Saran Tante, lebih baik kalian beri waktu sehari atau dua hari lagi jika ingin menemui mereka. Meskipun kematian anak mereka sudah berlangsung sejak tiga hari lalu, tapi mereka masih terguncang.” Amira benar. Jika sekarang mereka langsung menanyai kedua orang tua bayi itu. Bisa jadi semakin memperparah keadaan mereka. Raka memutuskan untuk kembali lagi besok untuk menemui kedua orang tua bayi itu. Lagi pula, untuk urusan ini, polisi juga tidak ada yang mengetahuinya. Hanya mereka saja yang tahu. Untuk urusan penyelidikan dan lain sebagainya, Raka bisa meminta bantuan papanya untuk melakukan penyelidikan tertutup. Naira memandangi foto yang dipegangnya sangat teliti dan juga penuh rasa prihatin. Malang sekali nasib bayi yang tidak berdosa itu harus mati mengenaskan padahal mereka belum sempat mengetahui bagaimana indahnya bumi dan isinya. “Baiklah, Tan. Kalau begitu kami permisi.” Amira berdiri, mengantarkan anaknya dan Raka sampai ke pintu ruangannya. “Kalian harus hati-hati. Dan kamu Naira, jaga Kesehatan ya.” Naira mengambil tangan mamanya, menyalami. “Baik, Ma.” “Kami pamit ya, Tan.” “Hati-hati.” __00__ Alva berlari ke UKS dari ruangan CCTV. Tiba di UKS, kosong, tidak ada siapa-siapa. Alva menghubungi nomor Deva. Deva memberitahukan bahwa mereka sedang dalam perjalan pulang. Alva menutup telepon, bergegas untuk pulang. Saat berlari menuju gerbang, Alva melihat sesuatu. Ada sobekan kain berwarna putih di dekat pohon besar tempat Pak Diko yang pura-pura terbunuh waktu itu. Alva mengambil kain itu menggunakan dua buah pulpen sebagai pencapit. Menjadikan kertas sebagai pelapis kain itu dengan harapan agar sidik jadi yang melekat di sana tidak rusak. Alva menghentikan angkot, bergegas naik. Tujuannya bukan pulang ke rumahnya, melainkan rumah Raka. Ia harus memberikan apa yang ia temukan barusan kepada papanya Raka. Kendati ingin cepat, namun keadaan tidak berpihak pada Alva. Jalanan macet total. Bahkan jalan seekor kucing lebih cepat dibandingkan dengan laju angkot yang ia tumpangi sekarang. Alva melihat jam tangan. Sudah dua puluh menit ia beradi di dalam angkot, namun seperempat jalan saja belum ia lalui. Lima menit kemudian, angkot mulai bisa berjalan meskipun perlahan. Namun itu lebih baik untuk sekarang. Alva ingin memesan gojek, tapi tidak bisa. Dompetnya tertinggal di kamar. Uang yang ada di sakunya sekarang hanya lima ribu saja. Tidak cukup untuk membayar gojek. Jadi Alva harus bersabar, hingga sampai di rumah Raka. Akhirnya Alva sampai. Namun perjalanan yang seharusnya hanya memakan waktu dua puluh menit, menjadi dua kali lipat karena macet. Alva memencet bel rumah. Marsita membukakan pintu menyuruh Alva untuk masuk. Marsita memberitahukan bahwa Raka belum pulang ke rumah. Begitu juga dengan Agung, suaminya itu masih berada di kantor polisi. Alva menayakan kira-kira kapan Agung pulang ke rumah. Marsita menjawab kemungkinan nanti malam, karena memang suaminya yang bertanggung jawab memecahkan kasus bayi yang ditemukan di rumah Alva. Alva tidak bisa memberikan apa yang ia temukan tadi kepada Marsita. Bukan tidak percaya, hanya saja akan lebih mudah jika Alva yang langsung memerikannya. Lagi pula ada juga yang ingin Alva beritahukan langsung kepada Agung. “Saya permisi, Tante.” “Hati-hati, ya.” Baru saja keluar dari rumah Raka, Raka sampai. Raka dan Naira keluar dari dalam mobil. “Al-“ “Gue menemukan sesuatu,” potong Alva cepat. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN