Bisakan

1685 Kata
** : unianhar "Ini semua punya siapa?" Arum menatap berbagai macam barang di walk in closetnya, baju-baju tertata rapi, sepatu, dan berbagai macam aksesoris membuatnya takjub. Sungguh beruntung pemiliknya itu "Ini semua milik Anda, nona" jawab Widya membantu Arum membersihkan diri dan menunjukkan barang-barang yang ada disana Arum mengulurkan tangannya kearah Widya sembari tersenyum. "Kita belum kenalan jadi tante pasti nggak tau namaku. Aku Arum bukan nona." Widya tersenyum, betapa polosnya anak angkat tuannya ini? Widya sudah tau namanya Arum tapi sebagai maid tidak mungkin Widya memanggilnya hanya dengan namanya. "Panggil saja Bibi Widya, nona." Ucap Widya meraih tangan kecil Arum "Arum, bibi!" Perjelas Arum, dia sudah memberitahu namanya tapi kenapa masih memanggilnya nona? Apa bibi Widya lupa? Masa sih? Pikir Arum "Maaf, nona. Saya tau namanya adalah Arum tapi saya tidak bisa memanggil Anda demikian. Anda adalah majikan saya jadi sudah seharusnya saya memanggilnya Anda nona." Perjelas Widya berharap Arum mengerti. Dulu tuan mudanya juga meminta dirinya untuk memanggil nama saja dan sekarang nona barunya? Widya tau dimana posisinya, dia tidak mungkin selancang itu. "Oh gitu" ujar Arum mengerti "Tapi, bi? Apa dulu mama Kanaya punya anak perempuan?" Arum tidak tau apapun tentang keluarga ini kecuali nama sepasang suami istri yang meminta dirinya untuk memanggil mereka papa dan mama serta anak mereka yang juga meminta dirinya untuk dipanggil kakak. "Tidak, nona. Kenapa nona bertanya seperti itu?" "Lalu ini semua punya siapa?" Tunjuknya pada barang-barang mewah yang ada diruangan itu "Punya Anda nona" "Punya aku? Kok bisa?" Arum kemari tidak membawa apa-apa selain sepasang baju yang ia kenakan semalam jadi mana mungkin semuanya miliknya. "Nyonya Kanaya yang mempersiapkan untuk Anda nona, semua barang-barang yang ada disini khusus dibeli oleh beliau. Sebagai putri dari keluarga Abraham, nyonya ingin memberikan yang terbaik untuk nona." Tanpa menghilangkan senyumnya, Widya tetap sabar menjelaskan apapun mengenai pertanyaan Arum. Setelah mamakai baju, Arum berjalan dibelakang Widya sembari melihat-lihat rumah yang ia tempati sekarang.  Ini sungguh menakjubkan, Arum tak pernah melihat rumah seindah ini bahkan ditv sekalipun. Ini lebih layak disebut istana daripada rumah. Sepanjang lorong, Arum selalu mendapati orang-orang yang berpakain sama selalu menunduk memberinya salam. Seperti yang dikatakan Widya, jika mereka adalah maid yang bertugas didalam rumah jadi Arum tidak perlu merasa tidak enak jika mereka memberinya salam karena itu memang tugas mereka. Mendengar suara seseorang mengaduh, Arum dan Widya berhenti untuk berbalik kebelakang. Seorang yang baru saja menyapa mereka duduk selonjoran dilantai memegang pinggangnya "Sini aku bantu?" Arum mengulurkan tangannya sembari tersenyum, tanpa menunggu lama maid itu meraih tangannya dan berdiri dari sana "Terima kasih, nona." Ucapnya sembari menunduk, tidak sopan jika seorang maid lama menatap majikannya "Sama-sama" balas Arum sumringah. Saat akan berbalik, Arum langsung memundurkan langkahnya melihat seseorang berdiri tak jauh darinya. Mata tajam seperti itu memaksa Arum kembali mengingat kekejadian itu, Arum meremas kedua tangannya menunduk dalam, Arum nggak salah! Batinnya "Arum," orang itu melangkah mendekati Arum yang terlihat gelisah "Aku nggak jahat," cicit Arum menggigit bibir bawahnya, apa dia akan menyakitinya sama sepertinya? "Ar," "Maaf" potong Arum memundurkan langkahnya "Apa?" Apa ia tidak salah dengar? Arum minta maaf? Orang itu menahan napas, kenapa mendengar permintaan maaf Arum rasanya ia ingin marah? "Aku janji nggak akan jahat, Aku mohon jangan hukum aku!" Pinta Arum menggeleng menghilangkan bayangan-bayangan memilukan dirinya "JAN," "Hei Arum!" Arum tersentak merasakan tangan seseorang berada diatas bahunya. Arum mendongak dengan napas menderuh, bukan dia. Bukan dia orangnya, Arum tidak perlu takut. Dia tidak akan menyakiti dirinya seperti yang dia lakukan. Pria itu menatapnya khawatir saking khawatirnya ia meremas bahu Arum sampai sang empunya meringis. "Ka, kau menyakitiku" air mata Arum kini lolos merasakan sakit dibahunya. Sadar dengan apa yang ia lakukan, orang itu membawa Arum kedalam pelukannya. "Maaf, maafkan kakak." Ucapnya mengelus kepala Arum "kakak nyakitin kamu, maaf!" Lanjutnya mencium kepala Arum. Elang tidak sadar melakukannya, Elang khawatir karena Arum cuma bergumam seakan tidak sadar, sungguh Elang tidak bermaksud menyakitinya. Elang melepaskan pelukannya lalu menatap wajah sembab Arum, pagi ini Arum menangis histeris karena ulah Marcel dan Ben dan sekarang Arum menangis karenanya. Elang sudah berjanji akan membuat Arum terus tertawa bukan membuatnya menangis seperti sekarang, rasanya Elang gagal menjadi seorang kakak yang baik. "Jangan nangis, sayang!" Elang menghapus air mata Arum sembari menatap manik matanya. Rasanya hati Elang serasa diremuk, mata indah itu tampak kelam bagaikan danau dimalam hari. Kesedihan, takut, khawatir dan luka tampak jelas disana ditambah dengan air mata yang tak bisa tertampung lagi kini keluar begitu saja. Air mata itu karenanya dan selebihnya karena masa lalu Arum yang menyakitkan. "Ja, jangan sakiti aku! Aku takut!" Elang kembali memeluk Arum. Elang sungguh menyesal dengan dirinya "Nggak akan, kakak nggak akan nyakitin Arum. Kakak yang akan lindungi Arum." Elang mempererat pelukannya merasakan kedua tangan Arum melingkar dipinggang. Rasa khawatir Elang seketika hilang berganti dengan senyuman, setidaknya Arum sudah lebih baik * * * "Putri papa sudah datang rupanya" Arum tersenyum tidak enak, pasti mereka menunggunya sarapan. "Duduklah!" Seru Elang menarik kursi disebelah kursinya. Arum duduk setelah berterima kasih. Arum meminta maaf karena telah membuat mereka menunggu, Arum tidak bermaksud, Arum sungguh menyesal karena mereka pasti kelaparan. Edwin tidak membenarkan ucapan Arum. Setiap minggu mereka selalu sarapan telat karena mereka harus olahraga dulu jadi Arum tidak perlu merasa bersalah karen Edwin tidak suka putrinya merasa demikian. Setelah mencium kening Arum, Kanaya memberinya sepiring nasi goreng. "Makasih, ma" ujar Arum menatap nasi goreng didepannya "Sepertinya enak" lanjutnya meraih sendoknya Kanaya, Edwin dan Elang tersenyum melihatnya. Jika biasanya mereka sarapan cuma bertiga maka pagi ini berbeda, mereka ditemani dengan seorang gadis cantik yang telah menjadi bagian keluarga mereka. Setelah mengurus berkas-berkas untuk mengadopsi Arum, Kanaya langsung membawa Arum ke rumahnya untuk mengangkatnya sebagai anak sesungguhnya. "Makan yang banyak!" Ucap Elang mengelus kepala Arum begitu lembut. Elang bersyukur orangtuanya memberi Elang adik seperti Arum. Pertama kali melihatnya, Elang langsung menyukainya padahal Elang bukan orang yang mudah menerima orang baru masuk kedalam hidupnya. Apa mungkin karena dia yang ngebet punya adik? Pikir Elang "Hari ini mama sama papa mau keluar, Arum mau ikut?" "Arum sama aku aja!" Ucap Elang cepat, Kanaya tersenyum lalu menggeleng "Loh kenapa kamu yang nentuin? Mama tadi nanya Arum bukan Elang" Elang melirik papanya, papanya selalu ingin main-main dengannya "Arum mau ikut?" Lanjut Edwin "Nggak usah ikut sayang! Hari ini kakak mau nunjukin seluruh isi rumah ini, maukan?" Bujuk Elang berharap Arum mau. Elang ingin bersama Arum seharian agar mereka bisa bicara banyak, semalam Elang tidak puas mengobrol dengan Arum saat adiknya itu tertidur disofa. Yang Elang tau semalam jika usia Arum baru 13 tahun, itu saja. "Semuanya?" Ulang Arum dengan senyum mengembang, Arum memang pensaran dengan rumah ini, Arum ingin tau semuanya mengenai rumah ini "Iya semuanya, maukan?" Ujar Elang sedikit was-was "Nggak repotin kakak, kan?" "Tentu nggak dong!" Ya tentu tidak, karena Elang juga sangat menginginkannya. Begitu banyak tempat di rumahnya yang ingin ia tunjukkan pada Arum, adiknya. "Iya, aku mau disini aja." Elang tersenyum lebar melirik papanya, rasain! Batin Elang. Mungkin terdengar sebagai anak kurang aja tapi itu semua belum seberapa dengan apa yang dilakukan papanya padanya. Papanya bahkan sengaja berciuman dengan mamanya didepan Elang padahal Elang saat itu baru kelas 1 SMA. Setelah sarapan, Elang langsung membawa Arum berkeliling rumah untuk menunjukkan apa-apa saja fasilitas yang ada. Kolam renang indoor dan outdoor, ruang gym, ruang game, minibar, lapangan basket, dan semua yang ada disana tanpa terkecuali. Lagi-lagi Arum berdecak kagum, ini sesuai dengan apa ia pikirkan, semuanya lengkap, betapa enaknya menjadi keluarga Abraham. "Ini seperti istana" guman Arum masih mengagumi keindahan taman belakang dari balkom lantai dua. Elang tersenyum mengusap kepalanya dengan lembut "Kamu suka?" "Suka!" Jawab Arum antusias "Tapi, aku nggak boleh suka dengan milik orang. Ini semua milik kakak, aku nggak boleh suka!" Lanjutnya dengan wajah redup. Bagaikan matahari bersinar terang dipagi hari yang tiba-tiba cahaya redup karena awan gelap datang menutupinya, begitulah perumpamaan Arum sekarang ini "Semua yang ada disini milik Arum." Arum mendongak pada Elang "Milik kakak milik Arum juga karena kenapa? Arum adiknya Elang Trinarenra Abraham." Arum menatap Elang tanpa ekpresi, Arum tak pernah melihat senyuman seperti itu. Senyuman itu menggambarkan ketulusan dimana selama ini Arum tidak pernah melihatnya dari orang-orang sekitarnya. Kadang mereka tersenyum namun Arum tau yang mana palsu yang mana benar-benar tulus. "Kenapa?" Tanya Elang merasa aneh, apa mungkin ada sesuatu diwajahnya? "Aku bukan adiknya kak Elang" Elang diam membatu menatap Arum tanpa ekpresi, apa cuma dia yang menganggap Arum adik sedangkan Arum tidak menganggapnya kakak? Semalam ia sudah menjelaskannya pada Arum. Rasanya kecewa sekali, batinnya "Aku cuma orang luar yang datang kemari. Arum cuma numpang jadi bagaimana mungkin semuanya milik Arum" Arum sadar akan posisinya. Datang kerumah ini dengan status baru sebagai anak dari pasangan Abraham dan adik dari seorang Elang. Arum cuma datang untuk menumpang hidup jadi tidak mungkin rumah ini juga miliknya seperti yang dikatakan Elang "Arum nggak suka kakak jadi kakaknya Arum?" "Suka!" Ujar Arum spontan, Elang orang baik, siapa yang tidak mau punya kakak sepertinya "Arum nggak suka punya papa Edwin dan mama Kanaya?" "Aku suka!" Mereka berdua telah berjasa dalam hidup Arum, mereka yang telah menolongnya dari orang itu. Arum sangat bahagia dan bersyukur adanya mereka dalam kehidupannya "Lantas kenapa Arum ngomong kayak gitu?" "Arum cuma anak angkat jadi," "Siapa bilang Arum anak angkat?" Elang dan Arum menoleh pada sepasang suami-istri yang berdiri tak jauh dari mereka, keduanya mendekati Arum dan Elang tanpa menghilangkan senyumnya. "Arum, dengerin papa!" Edwin menangkup wajah kecil Arum dengan kedua tangan besarnya "Masuk ke rumah ini berarti Arum udah siap jadi putri Abraham. Bukan sebagai anak angkat tapi sebagai anak sesungguhnya. Benar apa yang kakak Elangmu bilang, semuanya milik Arum." Edwin membawa Arum ke rumahnya bukan sebagai anak angkat tapi sebagai anak kandung untuk putra kandungnya. Seperti istrinya, Edwin juga menyukai Arum sejak pertama kali melihatnya 4 tahun yang lalu, saat Arum kecil berlari kearahnya sembari tersenyum memberi mereka salam. "Arum, papa minta sesuatu sama Arum dan papa harap Arum bisa kabulin itu untuk kamu!" Edwin merapikan anak rambut Arum, memiliki putri akan menyempurnakan keluarganya "Mulau hari ini Arum tidak perlu ingat lagi siapa Arum yang dulu! Ingat saja Arum yang sekarang!" "Arum yang sekarang?" "Ya, Arum yang sekarang adalah putri satu-satunya keluarga Abraham. Cuma itu, Arum bisakan?" Tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN