"Serius lo?" Sambil membekap mulutnya, Ghea menatap tidak percaya ke arah Inez. Matanya berulang kali mengerjap. Ghea menyapukan pandangannya ke seisi ruangan kelas yang sepi karena sekolah memang sudah dibubarkan. Ghea mendekatkan kursinya agar lebih dekat dengan Inez. "Gimana bisa lo nggak nyadar itu?" bisiknya pelan.
Inez menyandarkan punggungnya di kursi, bersamaan dengan itu napasnya terhela panjang. Cewek itu melirik Ghea sekilas.
"Kurang kerjaan apa gue sampai bohong sama lo?" sahut Inez. "Gue juga masih bingung, pusing juga nih."
"Kalo lo kenapa-napa gimana Nez? Kalo lo hamil?" tanya Ghea polos.
"Mulut lo woy difilter!" Inez tidak bisa menahan dirinya untuk tidak mendorong kening Ghea ke belakang dengan gerakan cepat dan kasar. Inez menghela napas, lalu menggerutu kecil. "Gue nggak mungkin hamil!"
"Iya iya maaf, tapi siapa yang tau Nez?"
"Lo kok malah ngomong gitu sih? Jangan nakutin gue dong, ngeselin lo Ghe." Inez melempar tatapan tajam kepada Ghea, giginya bergemeretak menahan kesal. Bisa-bisanya sahabatnya ini berkata seperti itu.
"Enggak Nez, lo nggak mungkin hamil. Tenang aja."
"Iya gue tahu."
"Dari cerita lo tadi, katanya lo sendiri kan yang minta diituin?" tanya Ghea dengan alis memicing satu ke atas. Ghea menggerakkan jari tengah dan telunjuknya saat mengucapkan kata 'diituin'.
"Gue nggak ingat gue ngomong gitu kali." Inez memutar bola matanya kesal. "Lagian gue juga masih waras buat nyerahin diri gue sama cowok," lanjutnya seraya mengibaskan tangannya.
"Cakra juga nggak mungkin ngelakuin itu sama lo Nez."
"Lo tau apa?"
Ghea membuang napasnya dengan kasar. "Nggak mungkin dia ngadu ke lo kalo dia udah nyicip tubuh lo. Kalau emang begitu, berarti Cakre begoo."
Inez tidak langsung menjawab, ia menunduk, menatap mejanya sambil berpikir. Setelah mencerna, apa yang diucapkan oleh Ghea ada betulnya juga. Inez mendongak lagi, kemudian kembali menatap Ghea.
"Bener juga apa kata lo, tapi gue punya alasan lain."
"Apa tuh?" tanya Ghea penasaran. Ia fokus memperhatikan Inez sambil menyanggah dagunya di meja.
"Kalo tuh cowok nggak ngelakuin hal itu sama gue, terus kenapa dia minta kemeja sama sepatunya dibalikin?" Inez menjeda sebentar penjelasannya, ia mengisi paru-parunya yang mulai kehabisan oksigen. "Gue bingungnya di situ, gue nggak pernah pulang bawa barang-barang cowok."
"Lo tanya dong sama dia," saran Ghea.
"Iya, niatnya entar gue mau nanya," sahut Inez sembari membereskan mejanya yang masih penuh dengan alat tulis miliknya. Ia segera memasukkan barang-barang tersebut ke dalam tas.
Ghea pun melakukan hal yang serupa. Setelah selesai, cewek berkacamata itu berdiri dari duduknya. "Pulang yuk, udah sepi nih."
"Lo duluan aja deh Ghe, gue mau nyari Cakra bentar."
"Emangnya tuh cowok belum pulang?"
Inez mengendikkan bahunya, "nggak tau juga sih, tapi apa salahnya coba nyari? Siapa tau dia belum pulang, kan? Gue mau minta penjelasan soal tadi."
Ghea mengangguk mengerti. "Ya udah deh, good luck Nez, kalo udah dapat jawabannya jangan lupa kontak gue ya! Gue juga kepo nih."
Inez lagi-lagi hanya bisa mengangguk, cewek itu kemudian mengangkat bokoongnya dari kursi. "Oke, entar gue kabarin lo," ucapnya pelan.
"Sip deh!" Ghea tersenyum puas sambil menunjukkan jempol tangannya.
Sementara Ghea yang berjalan sedikit berlari menuju parkiran sekolah untuk menghampiri motor maticnya, Inez melangkah berlawanan arah dengan sahabatnya itu.
Sekolah sudah terlihat sepi, koridor yang sekarang Inez pijak sama sekali tidak ada siswa lain yang lewat. Inez sendirian, cewek itu kemudian berhenti berjalan beberapa saat, lalu mengambil earphone untuk menyetel musik. Setelah selesai, ia melanjutkan perjalanan untuk pergi ke kelas Cakra.
Barangkali Inez beruntung bisa bertemu cowok itu.
Sesampainya di kelas Cakra, yang Inez dapati bukanlah sesosok cowok yang ia cari saat ini, melainkan beberapa siswa yang sedang membersihkan ruang kelas.
Inez membuang napasnya kasar, dari ambang pintu kelas ia pun bertanya dengan aksen suara naik beberapa oktaf.
"Ada yang lihat Cakra nggak?" tanya Inez.
Ketiga cewek yang sedang menyapu lantai, seketika secara kompak langsung mengalihkan sorot matanya kepada Inez. Mereka sempat terdiam seperkian detik dan saling pandang satu sama lain, hingga akhirnya salah satu dari mereka menjawab pertanyaan Inez.
"Udah pulang kayaknya."
Inez kecewa, tentu saja. Ia sudah lelah berjalan ke sini, tapi tau-tau orang yang ia cari tidak ketemu. Mendesah kasar, Inez berusaha menenangkan dirinya.
Inez tersenyum. "Oke, thanks infonya ya!"
Tanpa menunggu jawaban yang terlontar dari bibir lawan bicaranya, Inez segera berbalik badan, berjalan dengan langkah cepat menuju tempat mobilnya terparkir. Terpaksa Inez harus berlari karena ia mempunyai feeling bahwa Cakra belum keluar dari area sekolah.
Inez harus cepat sebelum kehilangan cowok itu. Ia membutuhkan informasi itu, jika tidak mendapatkannya sekarang juga, Inez sudah dipastikan akan kepikiran terus hingga tidak bisa tidur. Inez tidak mau hal itu sampai terjadi.
Dengan napas memburu, Inez berhenti berlari karena energinya sudah terkuras habis. Ia berusaha menetralkan napasnya. Untung saja nasib baik masih berpihak kepadanya, jadi Inez tidak merasa rugi-rugi amat sudah berlari kencang seperti tadi.
Ia melihat Cakra yang akan menaiki sepedanya. Belum sepenuhnya istirahat dari rasa lelahnya, Inez sudah berlari lagi. Cakra sudah mengayuh sepedanya, Inez semakin melotot dan menambah laju kakinya.
Cakra tidak boleh lolos, Inez sangat membutuhkan penjelasan agar dirinya tenang. Inez berlari sekuat tenaga, hingga kejadiannya berlangsung lumayan cepat. Inez berhenti tepat menghalangi jalan Cakra.
Cakra terbelalak kaget karena jalannya terblokir Inez. Cowok itu shock bukan main. Tidak ada waktu untuk mengerem secara mendadak, Cakra langsung banting stang ke samping kanan. Dan kejadian nahas pun terjadi. Cowok itu menubruk sebuah pohon mangga.
Cakra terjatuh ke tanah. Cowok itu meringis kesakitan sambil memegangi pinggangnya yang tiba-tiba teras nyeri.
Cakra masih telentang di tanah, berulang kali ia mengumpat dan menyumpah serapah kepada Inez. Sayup-sayup Cakra melihat Inez yang berjalan menghampirinya sambil tertawa keras.
Bukannya langsung membantu Cakra untuk bangkit bangun, Inez malahan jongkok di dekat wajah Cakra.
"Sakit?" tanya Inez, diselingi dengan tawa kecilnya.
Cakra mendesis kesal, cowok itu kemudian mencoba untuk duduk. Ia meringis lagi, punggungnya juga terasa berdenyut. Tatapan tajamnya sudah ia lempar kepada Inez.
"Apa yang kamu lakuin?" tanya Cakra sambil menatap Inez tidak suka, tangannya bergerak untuk menepuk-nepuk seragamnya yang kotor.
"Sori, gue nggak nyangka bakal berakhir kayak gini," jawab Inez seraya tersenyum manis. Ia memperhatikan cowok dihadapannya. "Ada yang mau gue tanyain sama lo."
"Kalo mau nanya harus banget gitu bikin aku celaka kayak gini?" ujar Cakra sinis, ia mendengkus kasar.
"Kan gue udah bilang maaf barusan, gimana sih lo?"
"Kamu ngomongnya main-main, nggak serius."
Inez memalingkan wajahnya sembari menarik napas banyak-banyak. Kemudian tangannya terulur kepada Cakra. "Maafin gue, ya?" ujarnya tulus sambil mengusung senyuman terbaiknya.
Cakra memperhatikan sejenak tangan yang terulur dihadapannya itu. Wajahnya kemudian terpaling ke samping.
"Udah aku maafin," ucap Cakra.
"Serius?"
"Hmm."
"Dan sekarang gue boleh nanya?"
Cakra langsung membelokkan pandangannya, dahinya berkerut, ia memperhatikan wajah Inez lagi sambil berpikir sesaat tentang pertanyaan macam apa yang akan Inez ajukan. Tapi Cakra tidak bisa menemukan jawaban prediksinya.
Cakra mendengkus pelan. "Mau nanya apa?"
"Kata lo gue minta diperkosa, kan? Nah Setelah itu lo nurutin nggak apa yang gue mau? Kalo jawaban lo nggak, kenapa sepatu sama kemeja lo ada di gue?"
Cakra menahan tarikan napasnya untuk beberapa detik, ia sedikit terkejut akan pertanyaan Inez itu. Benar-benar memalukan membahas hal ini lagi.