Bab. 4. Perjodohan.

1235 Kata
Jam dinding bergerak ke angka delapan, semua sudah menempati kursi di meja makan. Hening, tak ada suara di sana. Kecuali, peralatan makan yang mereka gunakan. Safiya mencoba tenang, menoleh ke kirinya, dia baru melihat lagi wajah kakaknya, setelah tiga tahun berlalu. Lelaki yang bernama Iqbal itu punya wajah yang rupawan. Hidung mancung, mata sipit dengan rambut hitam tebal berbelah tengah. 'Jika Kakak tidak mau mengakui aku sebagai adik, akupun tak mau bilang, kalau lelaki di sebalahku ini, wajahnya mirip denganku,' monolog Safiya dalam hati. "Safiya, sebelum ke kampus, aku ingin bicara sebentar," ucap Hamzah menatap tajam ke arah putrinya. Safiya yang diajak bicara hanya diam tak menjawab. Gadis itu meneguk s**u yang sudah disediakan asisten. Merasa diabaikan, Hamzah kembali memanggil Safiya. "Safiya ...? Kau tidak berubah t*li, kan?" Sedangkan Iqbal merasa penasaran dengan ayahnya, yang merasa menyembunyikan sesuatu darinya. "Tumben Ayah ngajak ngobrol dia?" Iqbal merasa aneh dengan sikap papanya. "Ada hal penting, kamu juga harus ikut ke ruang kerja ayah!" titah Hamzah Setelah menyelesaikan sarapan, Safiya berdiri mendahului dua lelaki yang masih betah duduk. Tongkat itu mulai menuntun ke ruang kerja ayahnya. Hamzah pun mulai berjalan pelan bersama Iqbal mengikuti Safiya. Suasana kembali hening saat berada di ruang kerja itu. Sedangkan Safiya mengingat percakapan yang berujung pertengkaran dengan ayahnya kemarin. Ada perban di keningnya pun, Iqbal tak bertanya. Safiya merasa sedih karena kakaknya itu benar tak memperdulikannya. Hanya tatapan sendu dari Mbak Ria saja yang membuat Safiya merasa lega. Setidaknya, masih ada orang baik yang mau berada di dekatnya. "Kenapa Ayah malah diam? Bukankah tadi, Ayah ingin bicara denganku?" tanya Safiya yang berdiri tegak di depan lelaki paruh baya itu, dengan pandangan menunduk. Hamzah menatap lekat ke arah Safiya. Lelaki itu merasa ada yang janggal sejak kemarin. Gadis yang biasa ketakutan itu sudah mulai berani menjawab lugas, atau bahkan bertanya dengan suara tegas. "Ayah ...?" Safiya kali ini mengangkat pandangannya. "Kau tak mau duduk?" tanya Hamzah dengan suara lembut. Kali ini, dia tak mau bicara menggunakan otot. Dia harus lemah lembut karena akan merayu putrinya untuk menerima perjodohan ini. "Jangan mengulur waktu, Yah! Aku harus ke kampus. Kakak pun sama ada kuliah pagi," jawab Safiya. Terdengar helaan nafas panjang, dari bibir Hamzah. Lelaki itu menatap bergantian ke arah Iqbal dan Safiya. "Ayah ingin memberitahu satu hal, khusunya untukmu, Safiya." Safiya yang terlihat tenang, nyatanya jantungnya berdetak tak karuan. Dia sudah punya insting yang tidak baik untuk pembicaraan pagi ini. "Ayah akan menjodohkanmu dengan anak teman ayah." Perkataan dari Hamzah itu membuat Safiya kaget, keningnya mengkerut seolah berpikir, apakah ayahnya itu tidak melihat kondisinya? "Ayah, mau menjodohkanku?" Tawa Safiya mengisi ruangan itu. Membuat dua lelaki beda usia itu merasa aneh dengan sikap Safiya. "Kau akan dinikahkan, malah berubah menjadi orang gil@," celetuk Iqbal menatap ke arah adiknya. Tatapan Safiya langsung tertuju pada lelaki berwajah tampan itu. Tawanya langsung berhenti membuat Iqbal merasa aneh. Jika Iqbal tahu pemglihatan adiknya sudah kembali, mungkin akan merasa ketakutan atas tatapan itu. "Aku tidak gil@, Kak. Mungkin Ayah yang gil@, karena anak yang baru berumur sembilan belas tahun harus dipaksa nikah," jawab Safiya. "Tutup mulutmu itu, Safiya!" bentak Hamzah menatap nyalang ke arah Safiya. Safiya menoleh ke arah di mana lelaki itu berdiri. "Ayah apa lupa ingatan, kalau aku but@." "Ayah masih ingat, Safiya. Perjodohan ini terjadi saat kalian masih di dalam kandungan. Teman Papa itu berjanji akan membawa kamu ke luar negeri untuk operasi mata." "Owh, jadi, Ayah sudah miskin sekarang. Pengobatan anaknya harus di biayai orang lain dengan alasan perjodohan. Tak mau rugi rupanya." Safiya kembali tertawa, kali ini hanya lirih dengan wajah penuh kekecewaaan. "Jangan bicara sembarangan, Safiya," ucap Hamzah seolah mencari pembenaran. Tubuh Safiya memutar hingga berhadapan dengan posisi Iqbal berdiri. Gadis itu kemudian berkata. "Kakak lebih tua dariku. Kenapa ayah tak menjodohkannya saja? Aku belum ingin menikah." "Ini bukan tentang siapa yang lahir duluan, Safiya. Ini tentang janji dua orang tua saat dulu. Kebetulan ayah punya kamu, dan dia juga mempunyai anak lelaki," jelas Hamzah. "Terserah, Yah! Tapi satu hal yang harus ayah ingat, selama aku mengalami kebutaan, Ayah sudah semena-mena terhadapku. Bahkan, sejak lahir pun, aku menjadi alasan ibu tiada." "Kali ini, ayah memintaku untuk menerima perjodohan, apa ayah tak malu dengan segala perlakuan ayah padaku?" Hamzah tak bisa menjawab, lelaki itu baru kali ini bisa diam. Biasanya, dia selalu bicara dengan perintah yang tak bisa dibantah. Sedetik dua detik berlalu, tak ada satu kata yang keluar dari bibir Hamzah. Membuat, Safiya akhirnya meninggalkan ruang kerja sang Ayah, dengan suatu kalimat. "Bilang saja aku menolak perjodohan ini. Belum tentu si cowok juga mau punya istri but@ sepertiku!" Setelah mengatakan itu, gadis itu pergi dari ruang kerja ayahnya. Masih dengan menggunakan tongkat sebagai penuntun jalan. Meski matanya sudah sembuh, belum saatnya dia harus mengungkap semuanya kepada ayahnya juga sang kakak. Air mata akhirnya tak bisa dibendung oleh Safiya. Dalam langkah menuju kamar, ia menyeka air mata yang tumpah. Merasa di buang oleh ayahnya meski tinggal satu atap. Dan kini, ia harus merelakan masa depannya, demi sebuah perjodohan. Dengan dalih persahabatan. Safiya ingin sekali merasakan belaian lembut kasih sayang seorang Ayah. Ibunya sudah pergi ke surga, tak ada yang memberikan cinta sebesar ibu. Nyatanya, dia pun tak mendapatkan cinta dari seorang ayah. Sedangkan saudara kandungnya pun, juga jijik dengan keterbatasan yang ia miliki. Benar-benar hidup sebatang kara, meski tinggal dengan keluarga. "Dia pikir dia siapa? Orang tua yang tak pernah menganggapku anak, kini memintaku agar mau dijodohkan," ucap Safiya mengusap air matanya. Gadis itu mengambil tas yang sudah ia siapkan sebelum sarapan. Melihat ponselnya yang tergeletak di meja, ia menatap hampa. "Karena hari ini aku sedih, aku harus bersenang-senang untuk diriku sendiri. Aku harus lihat, berapa banyak uang yang bisa aku kumpulkan," gumam Ssfiya menuju lemari besar yang ada suatu tempat penyimpanan. Mata yang basah itu ia hapus perlahan, menghembuskan nafas panjang agar dadaya terasa lega. Setelah membuka kotak itu, dia melihat betapa banyaknya uang yang sudah dia kumpulkan. "Sebanyak ini?" Safiya berkata lirih dengan wajah tak percaya. "Aku harus menjual ponselku dan membeli yang baru." Safiya menghitung uang sekiranya bisa membeli ponsel yang dia mau. Dia juga tak mau membuat ayah juga kakaknya curiga. "Gimana kalau Pak Leo curiga?" tanya Safiya sambil berpikir. "Nanti aku bisa menjelaskan semua keadaan itu kepadanya. Aku yakin dia orang baik, pasti tidak membocorkan keadaanku kepada ayah." Setelah merasa yakin lagi dengan apa yang akan ia lakukan, Safiya keluar dari kamarnya. Pergi kuliah meski dia juga tak merasa nyaman, dia tak akan menuruti keinginan ayahnya untuk berhenti. ___ "Ayah yakin dengan keputusan ayah?" tanya Safiya kepada Hamzah. "Yakin, Iqbal. Ayah dan Akmal sudah berteman lama sejak kamu kecil. Dulu kami pernah berjanji, kalau usaha yang kami rintis ini sukses, dan kami punya anak cewek atau cowok akan dijodohkan," jawab Hamzah menatap putranya. Iqbal mengerti, namun dia juga tak bisa memaksa adiknya untuk nikah muda, dengan mata yang tak bisa melihat. Dia juga tak mengenal lelaki itu, bagaimana kalau setelah menikah, Safiya malah hidup sengsara? 'Kenapa aku malah ketakutan akan kehidupan Safiya setelah menikah? Sedangkan setiap harinya saja, aku tak peduli,' monolog Iqbal dalam hati. "Bantu ayah bicara dengan Safiya. Dalam waktu dekat ini, Akmal akan mengadakan pertemuan untuk perjodohan. "A-aku ...?" Iqbal menunjuk ke wajahnya sendiri. "Iya, kamu jelaskan ke dia kalau dia ingin sembuh, maka harus menerima perjodohan ini," jelas Hamzah. Tak menunggu jawaban dari Iqbal, lelaki paruh baya itu keluar dari ruangannya, karena waktu sudah siang. Sedangkan anak sulungnya masih terdiam dengan segudang pikiran bingung menumpuk di kepala.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN