Setelah perbincangan pagi ini, Iqbal pun berangkat ke kampus. Dia jadi punya tugas gara-gara perjodohan. Nanti setelah pulang kuliah, dia berencana bicara dengan adiknya.
Ya, sejak rencana ayahnya itu, mau tak mau, dia harus mulai berdialog dengan gadis yang ia benci meski itu adiknya sendiri.
"Ada saja masalah setiap harinya," gerutu Iqbal sambil berjalan ke arah kelasnya.
Lelaki berparas tampan itu selalu menjadi perhatian kaum hawa. Lahir dari keluarga kaya semakin menjadi nilai plus untuk para wanita berlomba ingin dekat dengannya.
Namun Iqbal tak menggunakan nilai plus itu untuk bersenang-senang. Dia selalu menghindar jika ada wanita yang ingin dekat dengannya. Menurutnya, wanita itu ribet, jadi dia lebih suka menghabiskan waktu dengan teman lelaki saja.
Ponsel Iqbal berdering, membuat lelaki berwajah tampan itu menghentikan langkahnya. Mengambil ponsel di saku celananya.
"Ada apa lagi, sampai harus menelpon," gerutu Iqbal saat tahu ayahnya yang menelpon.
Hembusan nafas panjang keluar dari bibirnya, sebelum ia mengangkat panggilan dari ayahnya.
"Ya, Yah?"
"Kalau bisa pulangnya ajak adikmu bareng!"
Kening Iqbal langsung mengkerut, seolah salah mendengar perintah ayahnya.
"Apa, Yah?" Iqbal mengulang pertanyaan, meski telinganya mendengar jelas titah sang ayah.
"Safiya ajak pulang bareng. Kamu bisa bicara dengan dia saat perjalanan pulang," jelas Hamzah.
"Enggak. Nanti saja saat di rumah, aku akan bicara dengannya. Aku enggak mau semua orang tahu kalau aku punya adik buta," jawab Iqbal.
"Terserah kau saja. Asal kau bantu ayah meluluhkan hati anak itu."
Setelah mengatakan itu, Hamzah menutup panggilannya. Iqbal memperhatikan layar ponsel yang menghitam.
"Kenapa ayah tak bisa menunda perjodohan ini? Apa dia tak akan merasa malu, jika semua orang tahu putrinya tidak bisa melihat?" Iqbal hanya bertanya pada dirinya sendiri.
Lelaki berpostur tinggi itu langsung meneruskan langkah menuju kelasnya. Meski pikirannya sedang kacau dengan masalah rumah, ia tak akan menyiakan jam kuliah.
Sedangkan Safiya pun hari ini merasa tak bersemangat, padahal hari ini adalah hari pertama ia bisa melihat seluruh teman juga dosennya. Setelah beberapa lama tak bisa melihat, harusnya hari ini, ia bahagia.
Namun pembicaraan pagi ini sudah merubah moodnya yang awalnya baik, harus turun dan merasa sedih dengan keputusan ayahnya.
'Ayah, kau sangat egois. Kapan kau akan bertanya apa mauku? Atau apa kau baik-baik saja?'
'Aku ingin mendengar ayah bertanya itu, nyatanya, aku selalu menemui rasa egoismu yang makin tinggi.'
'Kali ini saja, Yah. Aku tak akan menuruti semua inginmu. Aku sudah tidak butuh pengobatan, untuk apa aku harus menerima perjodohan itu?'
Safiya hanya bisa melamun dan berkata dalam hati. Ia tak bisa berpikir jernih, karena masalah perjodohan itu terngiang di pendengarannya.
'Keputusanku untuk pergi bersenang-senang itu memang harus direalisasikan. Semoga saja aku bisa sedikit melupakan keinginan ayah.'
Dalam pelajaran berlangsung, Safiya nyatanya tak bisa konsentrasi. Sampai dosen selesai menjelaskan mata kuliah ia hanya diam tak ada satu pun yang bisa ia cerna dalam pikirannya. Nanti malam, ia akan belajar kembali sambil mengerjakan tugas.
___
'Pulang kuliah aku tunggu di parkiran depan di mana biasa Pak Leo menjemputmu.'
Begitulah isi pesan yang dikirmkan Iqbal kepada Safiya. Gadis itu masih diam sambil menatap layar ponselnya. Entah ada apa, sehingga, kakaknya itu ingin bertemu dengannya.
Padahal, sudah sejak dia buta, kakaknya tak mau berdekatan dengannya.
"Dia habis kepantok tembok mungkin, sampai punya keinginan untuk bertemu denganku di tempat umum," ucap Safiya.
Safiya memilih mengantongi ponsel itu daripada membalas pesan dari kakaknya. Gadis itu menganggap, kalau Iqbal salah kirim pesan saja. Ia melanjutkan langkah dengan menggunakan tongkat untuk membantunya berjalan.
Ingatan Safiya berputar saat dia baru pertama masuk kuliah. Pak Tono adalah sopir dan juga seseorang yang terus memberikan ia petunjuk jalan saat menuju ke kelasnya.
Seharusnya, Safiya sekolah di rumah, atau bisa di yayasan yang khusus untuk keterbatasan. Hanya saja, gadis itu menolak, dia tak peduli kalau semua orang menolak akan hadirnya. Karena rasanya pun sama saja seperti di rumah.
Ayah serta kakaknya saja tak pernah menganggap ada, atau memberikan sedikit perhatian. Jadi, bagi gadis berumur sembilan belas tahun ini tak masalah jika mendengar teman-temannya menggunjing akan kebutaannya.
Asik dengan ingatannya, Safiya hampir saja terjatuh. Namun ada seseorang yang menggapai lengannya, sehingga dia tak jadi terguling.
"Hati-hati. Masih ada satu anak tangga lagi sebelum kamu sampai di tempat yang datar," ucap seorang wanita berpakaian muslim.
Safiya mendongak, menatap wajah manis nan cantik dengan berbalut hijab. "Terima kasih."
Dia benar-benar merasa bahagia karena ada orang yang menolongnya. Biasanya, mereka akan berbisik menggunjing dirinya karena keterbatasan yang ia miliki.
"Boleh aku antar sampai tempat tujuanmu?" tanya wanita itu.
"Ah, tidak usah. Aku bisa sendiri. Nanti kamu telat ke tempat tujuanmu," jawab Safiya.
Wanita itu tersenyum, "Kita satu jurusan. Jadi, aku juga akan pulang. Kamu mau kemana?"
"Ke parkiran, di sana, sopirku sudah menunggu," jawab Safiya.
"Baiklah, aku akan antar ke sana, karena tujuan kita sama. Boleh aku tahu namamu?"
"Safiya Aqila. Panggil saja Safiya," jawab Safiya.
"Safiya, nama yang bagus. Namaku Gita Pradita, panggil dengan nama depanku saja!"
"Baiklah, Gita. Terima kasih sudah menolongku."
"Gita tersenyum menatap wajah ayu yang polos tanpa make up.
"Sesama manusia memang harus saling tolong. Kita sudah sampai di parkiran, mobil kamu warna apa?" tanya Gita.
"Kata sopirku, aku biasa naik mobil model sedan," jawab Safiya.
Sebelum Gita mencari kendaraan yang dimaksud Safiya, Iqbal sudah lebih dulu mendekat.
"Tinggalkan kami, aku adalah saudaranya," ucap Iqbal menatap Gita dengan tatapan datar.
Namun Gita tak segera melepaskan tangan Safiya, takut kalau lelaki itu berbohong.
"Yang dia katakan benar, Gita. Makasih sudah mengantarku," ucap Safiya tulus.
Gita mengangguk, menepuk punggung tangan Safiya, kemudian berlalu pergi menuju kendaraannya sendiri.
"Aku pikir, kamu salah kirim pesan," ucap Safiya memecah keheningan.
Iqbal memejamkan mata sejenak, dia memang tak pernah mengirim pesan lebih dulu kepada adiknya.
"Ayo pulang bersamaku!" ajak Iqbal.
"Aku akan ke suatu tempat dulu, Kak. Kalau ada yang perlu kita bahas, tunggu saja di rumah!" Safiya kemudian meninggalkan kakaknya.
"Nona, sebelah kanan," ucap Pak Tono.
Lelaki paruh baya itu membantunya masuk ke dalam kendaraan. Tak lama mobil sedan itu pergi meninggalkan area kampus.
"Sudah buta, malah bikin ulah tak mau pulang bareng. Padahal mumpung aku baik," gerutu Iqbal sambil menatap mobil adiknya yang semakin jauh.
Safiya hanya terdiam dengan sesekali menghembuskan nafas. Pak Tono memperhatikan dari kaca miror. Lelaki itu tahu, jika setiap harinya, nonanya tak merasa bahagia.
"Mau cerita ke bapak juga enggak masalah kok, Non," ucap Pak Tono.
"Iya, Pak. Hari ini aku mau ke mall, bisakah antar aku ke sana?" tanya Safiya.
"Tentu saja bisa, Non."
Setelah obrolan singkat itu, hanya ada keheningan di dalam kendaraan itu. Sampai tiba di mall yang Safiya inginkan, Pak Tono kembali bicara.
"Sudah sampai, Non. Bapak akan antar Nona kemanapun nona mau. Jangan menolak ya?"
Safiya tersenyum, "Siap, Pak. Sebelum turun, ada hal penting yang harus Bapak tahu."
"Ada apa, Non?" tanya Pak Leo menoleh ke belakang di mana majikannya duduk.
Safiya akhirnya jujur kepada lelaki paruh baya yang selalu baik dan sabar mengantar juga menjemputnya sejak ia dinyatakan buta. Ia menangis haru menceritakan kalau dia bisa melihat wajah Pak Leo.
Pak Leo pun merasa bahagia akan kepulihan penglihatan nonanya. Ia bersyukur kepada sang pemilik hidup karena keajaiban yang terjadi.
"Pak, di rumah, tak ada yang tahu kalau aku sudah bisa melihat. Aku mohon, sementara ini rahasiakan dulu. Apalagi, ayah mengatur perjodohan untukku juga," ucap Safiya.
"Baik, Nona!"
Akhirnya, Safiya turun dari mobil tanpa tongkat. Pak Leo hanya mengikuti dari belakang saja, memastikan kalau nonanya baik-baik saja.
Safiya masuk ke toko ponsel, dia benar-benar mengganti ponselnya dengan keluaran terbaru. Dia juga akan membeli beberapa baju untuknya. Pokoknya, hari ini dia akan bersenang-senang.
Berhasil mengganti ponsel, Safiya masuk ke toko baju dengan brand terkenal. Dia akan memakai uang yang diberikan ayahnya untuknya. Sekitar dua puluh menitan berlalu, Safiya sudah menenteng tiga paper bag.
"Saatnya pulang dan cari makan," gumam Safiya sambil memasukkan dompet ke dalam tasnya.
Karena tak melihat depan, gadis itu menabrak seseorang, dan membuat tubuh Safiya hampir terjatuh. Namun dengab cekatan tangan seseorang itu menarik tangan Safiya, hingga tubuh gadis itu berada dalam pelukan seseorang itu.
Jantung Safiya berdetak kencang, dia tak berani menatap wajah seseorang yang kini begitu dekat dengannya. Bahkan paper bag yang ia tenteng pun jatuh.
"Nona, kau tak apa-apa?" tanya Pak Leo membuyarkan segala keheningan yang terjadi.
"Kau juga tak mau lepas dari pelukanku?" bisik seseorang itu lembut membuat bulu kuduk Safiya berdiri.
Safiya bergerak pelan mundur satu langkah, ia memberanikan diri mengangkat wajahnya, sehingga tatapan keduanya beradu. Dua pasang mata saling menyelami seolah saling menganggumi.