Benar, kan?
Ketika mereka sampai, Rori terlihat memegangi dadanya. Terlihat kesakitan. Terlihat sangat menderita.
Baik Oom Holkay, Tante Alona, dan Mahera terlihat kasihan dan prihatin dengan apa yang menimpa Rori. Tapi sebenarnya mereka belum percaya 100%. Mereka masih ragu.
Sampai akhirnya ....
"Uhuk ... uhuk ...." Rori memulai aksinya. Ia mulai menunjukkan bakat akting lahiriahnya yang sungguh luar biasa.
Tentu saja plasma darah yang tertahan dalam mulutnya segera tercecer ke mana - mana. Saat itu lah Oom Holkay, Tante Alona, dan Mahera berteriak bersamaan. Mereka menyerukan nama Rori dengan nada tinggi. Kini mereka sudah percaya sepenuhnya bahwa Rori benar-benar sakit. Jadi kali ini bukan prank!
Para asisten berteriak ketakutan.
"Pa ... Rori, Pa. Ya Allah, Rori kamu kenapa, Sayang?" Tante Alona terlihat tak tahu harus berbuat apa. Ia terlalu kalut dan panik, hanya bisa memegangi kedua lengan putranya supaya tidak jatuh.
"Oh my Rori! Please, hang in there! Please, be strong! Hang in there, Baby!" Mahera kembali memangis sampai ingusan seperti tadi.
"Halo, rumah sakit? Tolong kirimkan ambulans ke Jalan Raya Rembang sekarang juga! Depan balai desa Rembang! Cepat!" Oom Holkay bahkan sudah memanggil ambulans.
Rori dan Sushi susah payah menahan tawa. Mereka sangat senang. Luar biasa gembira. Syukurlah, malam ini mereka benar - benar sukses besar.
Tanpa sepengetahuan para korban, Sushi mengarahkan kamera yang sejak tadi ia sembunyikan, ke arah reaksi semua orang secara detail. Selesai, ia memberi kode para Rori bahwa semuanya sudah beres. Rori menerima kode itu dengan baik. Dan ....
"PUHAHAHAHAHAHAHA!" Rori tertawa keras dengan mulutnya yang masih belepotan darah.
"PUHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA!" Disusul tawa Sushi yang sebenarnya bisa membuat bangkai tikus bangkit dari kematian.
Semua orang terlihat geram. Mereka marah. Teramat sangat marah. Benar - benar marah sampai tak tahu bagaimana harus mengekspresikan perasaan mereka saat ini.
Sushi mengarahkan kameranya pada Oom Holkay.
Oom Holkay sedang mengumpulkan tenaganya untuk berteriak sekeras yang ia bisa.
"ROOOOOOOOOOORIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII!"
~~~~~ Y S A G ~~~~~
"Ke mana dulu, nih?" Sushi menyetir mobil Rori dengan kecepatan normal.
Hari ini kuliah selesai lebih cepat. Para dosen harus mempersiapkan segala berkas untuk reakreditasi. Kemudian mahasiswa ditelantarkan, namun justru merasa senang. Padahal mereka membayar.
"Langsung balik aja, deh!" Rori terlihat tak bersemangat.
"Ya elah, hari gini habis kuliah langsung pulang?" Sushi menatap sahabatnya itu di kursi penumpang. Muka Rori terlihat lesu. Lalu Sushi terkikik. "Kenapa, sih, lu? Perasaan dari pagi lemes melulu. PMS?"
"Sembarangan aja kalo ngomong!" Rori sewot. "Gue lagi nggak mood ngapa - ngapain. Badan gue sakit semua rasanya. Nggak tahu kenapa. Salah makan kali gue."
Sushi terbahak seketika. "Wah ... lo kena karma jangan - jangan."
"Karma apaan? Emang gue pernah lakuin dosa apa sampek kena karma segala?"
"Lhah, kerjaan lo, kan, nge - prank orang - orang tak berdosa. Menjadikan mereka korban. Terus lo tertawa. Udah cem teroris aja lo!"
"Sus, seandainya gue kena karma karena suka nge - prank. Harusnya lo juga kena. Kan lo partner gue!" Rori tidak terima. "Lagian kita, kan, cuman nge - prank. Buat menghibur para subscribers. Cuman buat asik - asikan. Ya kali kena karma!"
"Haha ... gue cuman bercanda kali, Ror. Just kidding! Jangan sewot. Cepet tua lo ntar. Cepet mati!"
"Duh ... tambah pusing pala gue denger lo ngoceh kayak beo!" Rori memijat pelipisnya. Kepalanya benar - benar cenat - cenut tak keruan. Sangat pusing. "Udah, kita pulang. Ntar gue tidur. Lo ngedit video yang kemarin. Udah pada nagih buat upload video baru, nih!" Rori menunjukkan komentar para subsribers pada Sushi.
"Sekate - kate emang lo kalo ngomong, ya! Enak aja lo tidur - tiduran, sementara gue disuruh kerja sendirian?" Sushi sedang mencoba sebuah trik modus yang terbaru.
"Terus gimana? Beneran gue nggak enak badan. Ntar gue mati beneran lo tangisin!"
Sushi terlihat bahagia karena modus kalem - nya tepat sasaran. Sushi hanya memanfaatkan kesempatan. Untuk apa punya teman anak holkay kalau tidak untuk dimanfaatkan? "Ya seenggaknya lo ngasih gue komisi, lah. Makan mewah di mall misalnya."
Rori terkikik. "Ya elah ... bisa aja modus lo. Bilang aja lo laper! Eh, tapi jangan di mall, lah. Kan kabarnya teroris pada jaga - jaga di mall. Ntar kita di - bom lagi!"
"Terus makan di mana dong?"
"Uhm ... di perempatan deket pasar, kayaknya ada cafe baru. Belum terlalu rame. Ke sana aja mau nggak lo? Mayan di sana sofa - nya panjang - panjang. Bisa lah buat gue tidur. Terus lo ngedit video sambil makan sampek puas."
Sushi tersenyum puas. "Okay, Boss. Deal!"
~~~~~ YSAG ~~~~~
Sushi serius sekali mengedit video yang mereka buat kemarin. Sesekali ia memakan makanan dalam piring - piring yang nyaris memenuhi meja. Semuanya untuk Sushi. Karena Rori saat ini benar - benar tertidur di sofa.
Sesekali Sushi juga mengawasi sahabatnya itu. Jujur saja ia khawatir. Tak biasanya Rori sakit. Karena mereka berdua termasuk orang paling sehat di dunia. Sakit paling parah ... batuk, pilek, sembelit. Sudah itu saja.
Rori terlihat gelisah dalam tidurnya. Ronanya terlihat tak berwarna, sangat pucat. Sushi jadi merasa bersalah karena modus minta makan gratis saat Rori sakit seperti ini. Tadinya Sushi pikir Rori hanya tak enak badan biasa. Gejala kalau akan pilek, biasanya badan sakit semua. Mirip seperti yang dialami Rori -- tadi. Tapi sekarang ... Rori terlihat berbeda.
Sushi segera melahap satu per satu makanan dalam piring. Rori akan marah padanya nanti kalau makanan - makanan ini tidak ia habiskan. Mubadzir katanya. Saat Sushi makan banyak seperti ini, Rori biasanya menggoda habis - habisan. Apalagi kalau Sushi sedang makan Sushi Tuna. Rori akan mengatai Sushi kanibal. Tapi sekarang Rori hanya diam dalam tidurnya.
Setelah semua makanan habis nanti, Sushi akan fokus mengedit video agar cepat selesai. Ia harus bergegas sehingga mereka bisa segera pulang. Rori bisa istirahat dengan lebih nyaman dan tenang di rumah nanti.
"Ror, lu beneran nggak mau ikut makan?" tawar Sushi.
Rori tak menyahut. Ia tetap tidur dengan raut yang gelisah. Sesekali mengernyit, seperti menahan sakit.
Sushi semakin mempercepat proses makannya. Ia tak dapat menikmati semua makanan enak di hadapannya. Yang ada di otaknya hanya untuk bergegas. Sekali lagi, ia merasa sangat bersalah pada Rori.
Sekitar dua jam kemudian, akhirnya Sushi menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Ia baru saja menutup laptop.
Tiba - tiba Rori bangkit dari pembaringannya. Ia terlihat disorientasi, bingung sekarang sedang berada di mana.
"Lo di cafe. Lo tadi mau pulang, terus gue ajakin makan dulu. Inget?" Sushi berusaha mengingatkan Rori tentang kronologi mereka bisa berada di sini. Apa yang Rori alami sekarang, semakin memperbesar rasa bersalah Sushi. Sepertinya keadaan Rori benar - benar serius.
"Toiletnya di mana, Sus?" tanya Rori akhirnya. Suaranya terdengar serak dan parau.
Sushi menunjuk toilet yang sebenarnya tak berada jauh dari mereka. "Mau ngapain lo? Gue udah kelar ngedit. Bisa langsung pulang habis ini."
Rori tak menanggapi. Ia hanya segera berdiri, melangkah tertatih menuju toilet yang ditunjuk Sushi tadi.
Pandangan Rori mendadak menjadi ganda. Semua hal yang dilihatnya berbayang dan berputar, membuat kepalanya semakin pusing. Sementara perutnya sakit dan mual. Ia harus segera sampai toilet. Atau ia akan muntah di sini.
"Rori ...," pekik Sushi ketika melihat sahabatnya terhuyung ke belakang. Ia bergerak cepat agar dapat menahan tubuh Rori. Rori akan semakin sakit kalau ia sampai jatuh membentur lantai.
"Ror ...." Sushi mengguncangkan tubuh Rori dalam dekapannya. Rori terlihat semakin pucat. "Ror ... lo jangan bercanda. Lo nggak lagi nge - prank, kan?" Sushi bicara meracau saking khawatirnya, ditambah rasa bersalahnya sendiri.
"Mas temennya kenapa?" Pelanggan cafe yang lain mulai berkerumun.
"Mas, dibawa ke ruang istirahat karyawan aja. Di sana ada kasur," tawar salah satu pelayan.
"Boleh, deh, Mbak. Di mana ruangannya?" Sushi segera mengambil tawaran itu. "Mas, tolong bantuin bawa temen saya ke sana, ya!" pinta Sushi pada seorang pemuda yang ikut berkerumun. Ia bisa membawa Rori sendirian. Tapi kondisi Rori sedang tidak baik. Ia tak bisa mengangkat sembarangan. Takutnya akan membuat keadaan Rori semakin parah. Ia hanya khawatir.
"Iya, Mas." Orang itu segera setuju. "Mas, Mbak, tolong jangan ngumpul di sini, ya. Kasih ruang buat Mas - nya biar nggak sesek," kata pemuda itu.
Rori sayup - sayup mendengar keramaian di sekitarnya. Ia merasa tubuhnya terangkat. Ia berusaha keras membuka mata. Ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Hal pertama yang dilihatnya adalah raut khawatir Sushi. Jujur ia merasa tersanjung karena kepedulian sahabatnya. Namun di saat bersamaan, Sushi yang serius khawatir padanya juga terlihat lucu. Rasanya seperti bukan Sushi saja. Karena Sushi yang biasanya sama sekali tak pernah serius.
Melihat Sushi yang seperti itu, jiwa jail Rori segera tergugah. Sungguh, ia tak bisa menahan tawanya.
"Mas, temennya udah sadar. Tapi ... kok malah ngakak?" Pemuda yang membantu Sushi mengangkat Rori terlihat kebingungan.
Sushi menatap Rori untuk memastikan. Benar, Rori sudah sadar. Dan benar juga bahwa sekarang Rori sedang tertawa.
"Mas ... turunin di sini aja," kata Sushi pada pemuda itu. Raut Sushi terlihat ... terluka. Ia merasa dibohongi. "Mas, makasih udah nolongin saya, ya!" katanya pada pemuda itu setelah mereka menurunkan Rori.
"Sama - sama, Mas. Alhamdulillah, temennya udah sehat kembali," kata orang itu tulus.
"Sus, lo marah, ya?" tanya Rori masih sambil tertawa.
"Ternyata bener dugaan gue tadi. Lo cuman nge - prank!?" Rona kecewa Sushi masih kentara.
Rori tertawa lagi. "Kalo gue bilang iya, lo mau ngambek gitu? Unyu - nya ...." Rori mencubit pipi Sushi. "Makasih udah khawatirin gue banget ya, Sayang!"
Sushi menghempaskan jemari Rori dari pipinya. "Padahal gue beneran khawatir sama lo. Gue ngerasa bersalah banget. Gara - gara gue ngajak makan, sakit lo jadi makin parah. Dan ternyata ... lo cuman nge - prank?"
Rori mulai menangkap sinyal bahwa Sushi saat ini benar - benar kecewa padanya. Tawa Sushi berhenti seketika. "Sus, ini nggak seperti yang lo pikirin. Gue nggak nge - prank. Tadi gue beneran sakit. Sampek sekarang juga kepala gue masih sakit. Gue bisa jelasin."
"Mau jelasin apa lagi? Semuanya udah jelas!" bentak Sushi.
Rori kini benar - benar diam. Berpikir keras bagaimana ia akan menghentikan kemarahan sahabatnya.
"Itu laptop mahal lo ada di atas meja." Sushi menunjul laptop berwarna silver. Ia lalu mengambil dompet di saku dan mengeluarkan beberapa lembar uang. "Nih, gue bisa bayar makanan gue sendiri!" Sushi melemparkan uang yang baru ia ambil dari dompet. "Iya gue miskin. Selama ini mungkin gue selalu nempelin lo. Gue udah kayak parasit lo. Tapi bukan berarti lo bisa main - main sama kepercayaan gue buat lo."
"T - tapi, Sus ... gue ...."
"Gue nggak mau denger apa - apa lagi!" Sushi mengambil sesuatu dari saku jaketnya. Kemudian melemparnya. "Itu kunci mobil lo." Ia berlari pergi setelah itu.
"Sushi!" Rori terus berusaha mencegah kepergian sahabatnya. Tapi Sushi telanjur jauh berlari.
Rori tertegun di tempat. Ia harus mencari cara untuk menjelaskan semuanya pada Sushi bahwa yang terjadi adalah salah paham. Rori sekarang menyesali perbuatannya. Harusnya tadi ia tidak tertawa seperti itu.
Rori terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri, sampai tak peduli dengan suasana sekitar. Orang - orang di sini semua mendengar dan melihat pertengkarannya dengan Sushi.
Dan mereka ... telanjur salah paham dengan hubungan keduanya.
~~~~~ Y S A G ~~~~~
-- t b c --