Chapter 17 : Backyard

1505 Kata
Playlist:  Bryce Fox - Horns •••••• "Kau lihat apa yang dilakukan Megan pada calon suaminya?"tanya Milla menatap Billy tegas. "Kau tahu kan kalau aku sangat suka belanja online di sss? Lihat! Laman ini sudah di hapus, tapi aku screenshot agar kau lihat!"Milla mengarahkan ponselnya, ia tersenyum lebar menunggu respon Billy yang mulai mengerutkan kening. "Lalu?"tanya Billy. "Dia becanda, bukankah itu bisa menunjukkan hubungan baik antara putri mu dan Markus?" "Laman itu tidak menunjukan apapun!"celetuk Billy tegas. "Lalu, kau mau apa? Menunggu hingga anakmu hamil?"tanya Milla memicingkan matanya tajam. "Milla..." "Honey aku hanya ingin Megan hidup dengan baik, ini kesempatan untuknya!"jelas Milla tanpa mengalihkan pandangan dari Billy. "Please! Bukankah Markus cukup bersikap baik? Lihat! Dia juga sering mengabari ku jika sedang bersama Megan! Dia menghargai kita Billy!" "Lalu kenapa putri mu tidak bicara langsung tentang hubungannya?"tanya Billy membuat Milla menelan ludah kasar. "Mungkin dia belum siap, aku yakin pasti ada alasannya!"tukas Milla membuat Billy diam. Sejujurnya, pria tersebut mencoba mencari letak kesalahan Markus. Mencari noda yang sama sekali tidak ia temukan, Markus menjalani kehidupan yang sangat privasi. Tidak ada satu artikel pun yang bisa menggambarkan sosok Markus, kecuali biodata singkat yang ada di Wikipedia. Billy nyaris menyerah, merasa semua ucapan Milla benar. "Aku tahu kekhawatiran mu,"ucap Milla pelan. Billy mengeluh, ia mengangguk dan memerhatikan sudut bibir Milla melengkung tipis. Ia tersenyum. "Baiklah!"ucap Billy singkat. Membuat perasaan lega pada Milla. Wanita itu langsung memeluknya erat, memberikan hadiah kecupan manis yang selalu mereka tonjolkan. "Thanks, honey,"bisik Milla pelan. Tanpa mengalihkan pandangannya dari pria tersebut. ____________________ Megan mengedarkan mata, menatap luas ke setiap tempat yang tampak indah. Hari ini tampaknya lebih sepi dari biasanya. Selepas makan, Markus mengajak gadis itu berkunjung ke salah satu tempat yang tampak sedikit menghibur, Miami Boardwalk. Megan memanfaatkan waktu sejenak, sebelum ia kembali ke Naples untuk memenuhi undangan Caroline nanti malam. Beberapa detik kemudian, Megan berpaling, melirik ke arah Markus yang berdiri di sisi kirinya. Sementara Taylor dan beberapa bodyguard diam memerhatikan dari jarak sekian meter.  "Kenapa kau menatapku?"tanya Markus tanpa mengalihkan pandangannya dari area pantai. "Aku hanya bertanya-tanya, kenapa kau begitu banyak bulu. Hm.. Maksudku d**a mu, kau terlihat—" "Apa kau baru pertama kalinya melihat d**a seorang pria?"potong Markus, sedikit mencondongkan diri, membiarkan Megan menatap dirinya lewat celah kemeja yang tidak ia kancing hingga atas. "Maxent dan Luiz tidak punya bulu sepertimu!"celetuk Megan. "Kau tahu? Menurut penelitian bulu yang ada pada pria menandakan kecerdasan dan seksi." "Tapi keduanya tidak ada padamu!"celetuk Megan cepat. Meremehkan semua yang ada pada Markus. Pria itu diam, mencoba mencari jawaban tepat. "Aku tidak punya jawaban untuk membalas mu,"balas Markus. Membuat Megan langsung tersenyum kecil. Memerhatikan wajah Markus lekat. "Ayolah. Pria cerdas pasti punya jawabannya." "Aku mencintaimu!"tegas Markus membuat Megan terdiam sejenak. Ia tersenyum tipis, menatap Markus mulai mendekatkan diri. Hingga Megan tampak tertawa lebar untuk mengalihkan pembicaraan. "Kau seperti—" Megan mendadak diam, merasakan Markus mencium bibirnya rapat. Ia menelan ludah, merasakan dadanya mendadak berdebar sedikit lebih cepat dari sebelumnya. Tubuh Megan seketika kaku. Namun, saat ia mencoba membalasnya, Markus berhenti dan sedikit menjauhkan bibir mereka. Megan menelan ludahnya sekali lagi, mencoba meredakan debaran yang semakin meningkat pada tiap detiknya. Ia memilih menutup mata, merasakan Markus memancing nya. Pria itu sesekali mengecup bibirnya dan mengusap ujung hidung mereka lembut. "Kau bisa melakukannya jika ingin, Megan,"bisik Markus mengecup salah satu mata Megan yang tampak rapat. "Markus....." "Excuse me! Kau mau beli minuman dan camilan?"tegur seorang wanita paruh baya, membuat keduanya saling melepaskan. Megan salah tingkah, ia memegang wajahnya dan mengatur napas sebanyak mungkin. Bola matanya berputar, memerhatikan semua tempat. "Okay aku beli semua dagangannya!"ucap Markus tegas, sambil mengeluarkan dompet dan memberikan beberapa lembar uang miliknya. "Benarkah?"tanya wanita paruh baya itu, melontarkan senyuman paling bahagia dan beruntung. "Yah!" "Aku akan mengurus ini, sir,"tegur Taylor memerhatikan Megan salah tingkah dan Markus yang merasa begitu marah. Ia di usik pada saat yang sangat tidak tepat. "Aku mau ke toilet,"ucap Megan, ia langsung bergerak menjauh. Melebarkan langkah kakinya secepat mungkin untuk menghindari Markus. "Sial! Sial! Sial! Tidak mungkin, aku tidak mungkin berdebar karena sikap manis kera berengsek itu! Tidak!!!!"batin Megan, sambil memukul-mukul dadanya. Bergerak cepat hingga sampai menuju toilet umum yang ada di lokasi tersebut. "Megan!"tegur seorang wanita asing yang membuat gadis itu berhenti melangkah. Ia menoleh, memerhatikan ke adah sumber suara. "Kau mengenali ku?"tanya Megan seraya mengerutkan kening. "Aku ingin memperingati mu, Jauhi Markus. Dia akan membuat mu terbang setinggi mungkin, lalu membuang siapapun seperti sampah!"ucap wanita itu membuat Megan tersenyum tipis. "Aku tidak percaya orang asing!"celetuk Megan. "Terserah kau, yang jelas aku sudah memberi peringatan, jaga dirimu baik-baik!"balas wanita itu lagi, menatap wajah Megan tajam dan bergerak menjauh lebih dulu. "Hey!"teriak Megan, membuat langkah kaki wanita itu berhenti seketika untuk kembali menatapnya. "Aku tidak percaya kau ataupun Markus,"jelas Megan. Ia melempar sebuah senyuman hangat. Lantas, mencoba mengingat-ingat lekuk wajah wanita asing tersebut hingga ia kembali beranjak menjauh. ______________________ Beberapa jam kemudian, Megan sudah berada di Hillsboro Beach, tepatnya  berada di backyard mansion mewah milik Maxent. Ia terkekeh, menekan perut Luiz kuat-kuat. Hodgue bersaudara itu sedang bercanda ringan. "Luiz! Katakan... Iyakan kataku?"tanya Megan terdengar sayup, Gadis itu tampak menggoda Luiz dengan membicarakan Caroline. "No!"ucap Luiz datar. Mengusap rambut Megan ringan. Ia menyayangi gadis itu, meskipun sikapnya kadang dingin. Namun, jika mereka becanda maka tidak akan ada tempat untuk orang lain di antara mereka. "Dimana Maxent?"tegur Caroline membuat Megan langsung melepas pelukannya dari Luiz dan meraih segelas minuman yang ada di meja. "Entahlah, aku rasa dia sedang bertengkar dengan Avril,"celetuk Megan kembali menyentuh perut Luiz. Ia masih ingin menggoda pria itu. "Megan!"sentak Luiz tidak terlalu kuat. Menatapnya gadis itu sinis. "Aku pikir mereka sudah harusnya putus,"jelas Caroline, membuat Megan melirik tidak nyaman ke arah Laura. Gadis yang menyelamatkan Caroline dari perampokan tadi siang. "Aku menelpon Avril dan Ovia, tapi aku tidak tahu mereka datang atau tidak." "Apa kau gila Megan?"tanya Caroline lantang. Menatap tegas ke arah gadis tersebut. "Kenapa kau begitu marah? Mereka sahabat kita Caroline. Apa kau—" "Sebaiknya aku pulang,"potong Laura, membuat ucapan Megan langsung berhenti. Ia memerhatikan Luiz bergerak menjauh, merasa tempat tersebut bukan area untuknya. "Tidak! Ini acara mu, Laura. Kau tamu spesial di sini, okay!"pinta Caroline membuat Megan memutar bola matanya malas. Lantas menarik ponselnya, memerhatikan Axel dan Markus mengiriminya pesan bergantian. Ia tersenyum tipis, pada pesan Markus yang sedikit mencuri perhatian. "Kau harus melawan Maxent! Bertarung dengan kakak ku, jika kau menang kau boleh pulang dan tidur di rumahmu, jika tidak, kau harus menginap di sini,"ucap Caroline membujuk Laura. Membuat Megan tertawa pelan. "Ayolah, kau tidak akan bisa menghindari ajakan ratu pemaksa itu,"ucap Megan seakan memberi dukungan. Laura menoleh padanya, menatap penuh keraguan. "Baiklah!"jawab Laura berat. "Good. Kau harus hati-hati pada gerakan Maxent. Dia penipu ulung,"kekeh Megan membuat Laura tersenyum ke arahnya. "Tunggu di sini, aku harus memanggil Maxent," ucap Caroline melirik sejenak pada Megan. Lalu bergerak menjauh. _________________ Sekitar lima belas menit kemudian. Caroline kembali, membawa Maxent beserta Luiz. Mereka tampak ingin menonton pertunjukan yang dimainkan Caroline. Tapi Megan, merasa tidak begitu antusias. Ia bosan, belum lagi terusik karena Markus terus mengirimkan pesan padanya, meski sekadar simbol. "Dasar gila,"pikir Megan, tersenyum simpul tanpa sadar. Ia melupakan keadaan sekitar, terus membalas pesan Markus. Hingga mendengar suara Maxent dan Laura berduel, mereka bertaruh. Mengikuti aturan yang di inginkan Caroline seperti anak-anak, entah apa yang di inginkan gadis itu yang jelas Megan memerhatikan Caroline diam-diam mencampur kan sesuatu ke dalam dua gelas minuman.  "Kau masih di sana? Aku di luar mansion. Keluar atau aku yang masuk!" "Sial!"umpat Megan pelan, menatap layar ponselnya, lantas melirik pada Luiz sejenak. Markus mencoba masuk ke dalam hidupnya lebih dekat, dan Megan tidak akan pernah membiarkan hal semacam itu terjadi.  "Permisi, aku harus menelpon!"ucap Megan pada Luiz dan Caroline yang asik menonton duel antara Maxent dan Laura. Ia bergerak menjauh, menuju halaman depan Mansion tersebut. "Kau gila! Kenapa kau—" "Aku tahu kau bosan di sana!"tukas Markus saat mendengar Megan melemparkan protes terhadapnya. "Aku punya tempat yang lebih baik dari ini,"tawar Markus membuat Megan mengeluh kasar. Ia menelan ludah, dan tampak berpikir sejenak. Markus benar, akhir-akhir ini acara keluarga dan temannya memang membosankan. Setidaknya bersama Markus ia sedikit lebih bebas. Baiklah, Megan tidak akan menolak, ia ikut. "Okay!" "Ponselmu!"pinta Markus membuat kening gadis itu mengerut. "Kenapa dengan ponselku?"tanya Megan. "Nonaktifkan! Aku yakin kau tidak ingin di ganggu siapapun!"pinta Markus. Menatap lekat wajah gadis itu. "Kau terlalu banyak aturan!"balas Megan serak, seraya menekan fungsi silent pada ponselnya. Lalu bergerak masuk ke dalam mobil Markus. "Sepertinya kau mandiri sekali malam ini, dimana Taylor, bodyguard dan supir mu?"tanya Megan saat Markus berada di samping nya dan mulai menjalankan mobil. "Aku hanya ingin berdua bersamamu!"balas Markus sambil melempar senyuman tipis. Megan berdecak, merasa begitu menyesal karena menanyakan pertanyaan yang sama sekali tidak berbobot. Gadis itu diam, melirik ke arah Markus sejenak dan tampak mencuri pandangan. "Ah! Aku sudah gila! Tidak akan ku biarkan otak ku yang suci ini kotor karena memikirkannya!"batin Megan, menatap ke arah jalan keluar dari area mansion. Pasrah, mengikuti kemanapun Markus akan membawanya malam ini. "Kita diikuti!"ucap Markus seraya melirik pada spion mobilnya. Memerhatikan beberapa motor trail dan mobil tampak berjalan bersamaan. Tampak mulai mendekat. "Apa? Siapa?tanya Megan mencoba menaikkan tubuhnya dan menoleh kebelakang untuk memeriksa. "Kau bisa menembak, 'kan?"tanya Markus membuat Megan menelan ludahnya. "Tarik kursi mu kebelakang dan ambil senjatanya di bawah sana, Waspada dan tunggu perintahku!"ucap Markus lebih keras. "Megan kau dengar aku?"teriak Markus seraya menyetir 'Ferrari' nya lebih kencang. Gadis itu tidak menjawab, namun segera menarik mundur seat kursi nya untuk meraih sebuah senjata otomatis sesuai perintah Markus. "Siapa mereka?"tanya Megan penasaran, memegang erat handgun modifikasi yang terasa ringan di tangannya. "Seseorang yang tidak harusnya berurusan denganku!"balas Markus cukup tegas, tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun. Menatap awas dari tiap pergerakan musuh, lewat spion kecilnya. Ia berpikir, mencoba menyelamatkan dirinya sendiri terutama Megan. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN