Memberi Izin

833 Kata
"Aku akan mengatakannya langsung jika kau tidak mengerti ucapanku baru saja." masih dengan senyum miringnya dia berkata, "Aku mengizinkanmu keluar dari rumah ini, dengan syarat.. kau... harus mencium kakiku.." Aaron sengaja mengucapkannya pelan dan penuh penekanan. "Maaf Tuan?" kening Evelyn berkerut.Mungkin dia salah dengar. "Apakah suaraku kurang jelas? Aku bilang jika kau ingin menemui Mommy tersayangmu itu kau harus mencium kakiku..!" suara berat Aaron membuat Evelyn sadar jika ternyata dia tidak salah dengar. "Tuan..?" ucap Evelyn tidak percaya.Sebenci itukah pria ini kepadanya sampai menyuruhnya untuk mencium kaki lelaki itu. Senyuman merendahkan kini terpatri di bibir Aaron. "Kalau kau tidak mau, ya sudah..." mengangkat bahunya acuh."Kubur saja keinginanmu untuk menemui orangtuamu." Aaron melangkahkan kaki meninggalkan Evelyn di ruangan itu. Senyuman sinis tak luput diberikan pria itu ketika melewati Evelyn menuju pintu. Aaron sengaja melakukan ini, dia ingin melihat setinggi apakah harga diri gadis ini. Pria itu memperlambat langkahnya karena dia pikir Evelyn akan menghentikannya dan kembali memohon kepadanya. Ternyata Aaron salah, ketika Aaron sudah membuka pintu ruang kerja Evelyn belum juga memanggilnya. Gadis itu masih setia berdiri mematung tanpa menunjukkan pergerakan sedikitpun. Hanya saja, bahu gadis itu sedikit berguncang. Aaron dapat menebak jika gadis itu pasti sedang menangis. Aaron masih memperhatikan Evelyn dari pintu ruangan. Terdengar isakan tertahan seiring dengan bahunya yang semakin berguncang kuat. Sakit hati tak terperi yang dirasakan Evelyn, membuatnya tidak kuasa lagi menopang tubuhnya untuk tetap berdiri.Perlahan tapi pasti, tubuh mungilnya sudah merosot terduduk di atas keramik yang dingin itu. Hati Aaron yang begitu keras sekeras baja atau dendam yang masih membara dalam hatinya yang membuat Aaron tidak merasa iba sama sekali kepada gadis itu. Bahkan dia semakin senang melihat Evelyn yang tidak berdaya seperti ini. "Ini masih belum cukup. Akan kubuat permainan ini lebih menyenangkan." batinnya. Aaron memutar otaknya, memikirkan apa lagi yang akan dilakukannya untuk membuat gadis ini semakin menderita. Selama beberapa menit Aaron berdiri di sana, menunggu Evelyn yang masih menangis dalam diam. Isakan tangis gadis itu terekam jelas di telinga Aaron, tetapi tetap tidak membuat pendirian pria itu goyah. Evelyn mengusap air mata yang membanjiri wajah cantiknya. Setelah ini Evelyn berencana untuk menemui Aaron. Jika memang tidak ada jalan lain, maka Evelyn akan menuruti pria itu dengan menjatuhkan harga dirinya kepada pria itu. Mommynya membutuhkannya saat ini, dan dia juga sangat merindukan wanita yang telah melahirkannya ke dunia ini.Evelyn tidak mau hanya karena egonya yang begitu tinggi, akan menjerumuskannya ke dalam jurang penyesalan nantinya. Setelah memperbaiki penampilannya yang berantakan akibat menangis, Evelyn bangkit berdiri. Betapa terkejutnya Evelyn ketika berbalik, dia mendapati Aaron berdiri dengan gagahnya di depan pintu ruangan. Dia mengira bahwa Aaron telah pergi dari sini, sehingga dia berani meluapkan tangisnya di dalam ruangan ini. Evelyn langsung menundukkan kepalanya ketika maniknya bertemu dengan manik tajam milik Aaron. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Evelyn maupun Aaron.Evelyn terlalu takut untuk membuka suara, karena dia mengira Aaron marah kepadanya karena dirinya masih di ruang kerjanya. Sedangkan Aaron, tidak ada yang mengetahui isi hati pria itu. Tatapan tajamnya tiada henti memperhatikan Evelyn seakan ingin memakan gadis itu. Beberapa saat keheningan melingkupi keduanya, sampai Aaron membuka suara, "Kau boleh keluar dari rumah ini besok, tetapi ingat kau sudah harus kembali sebelum matahari tenggelam." ucapnya dengan dingin. Padahal bukan ini yang ingin dikatakannya, sebenarnya dia akan mempermainkan gadis itu malam ini. Tetapi setelah melihat wajah Evelyn yang terlihat begitu menyedihkan membuat Aaron mengurungkan keinginannya. Tubuh dan pikirannya mengatakan untuk menyiksa gadis itu, tetapi hati kecilnya selalu membisikkan sesuatu membuat Aaron bingung. Sontak Evelyn mengangkat kepalanya, memandang sang suami dengan penuh tanya, "Tu..tuan..?" ucapnya terbata-bata, barangkali dia salah mendengar, pikirnya. "Aku rasa aku sudah mengatakannya dengan jelas, aku tidak suka mengulangi perkataanku." egonya yang begitu tinggi membuatnya gengsi untuk mengulang perkataannya. Kening Evelyn berkerut, kenapa sekarang dengan begitu mudahnya Aaron mengizinkannya. Padahal baru saja, di ruangan ini, pria itu menolak keras bahkan sampai merendahkan gadis itu. Seolah mengerti tatapan bingung Evelyn, Aaron berkata, "Jangan berpikir aku mengizinkanmu begitu saja. Semua itu ada balasannya, dan aku masih memikirkan apa yang akan kau lakukan untukku setelah ini." menaikkan alisnya dengan matanya terus memperhatikan Evelyn, melihat reaksi gadis itu. Evelyn hanya diam saja, wajah yang tadinya mengernyit penuh tanya, kita berubah menjadi datar. Tidak ada raut senang tergurat di wajah cantik itu. "Pergi, aku tidak sudi berlama-lama satu ruangan dengan anak kriminal sepertimu." usir Aaron dengan ketus.Ucapan itu kembali membuat hati Evelyn panas, dia sungguh tidak terima Daddy-nya selalu dihina oleh lelaki ini. Berulang kali Evelyn menarik nafasnya dalam, berusaha meredakan amarahnya agar tidak pecah di depan pria ini. Jangan sampai kesempatan untuk menemui Mommynya, hilang begitu saja hanya karena dirinya tidak dapat mengontrol emosinya. Tanpa menunggu lama lagi, Evelyn segera keluar dari ruang kerja Aaron sesaat setelah pamit dari pria itu. Setelah Evelyn keluar, Aaron menutup pintu ruang kerjanya. Lalu melangkahkan kakinya menuju kamarnya sendiri. Alih-alih ingin beristirahat, Aaron malah berjalan ke balkon kamarnya. Kamarnya yang menghadap ke taman belakang yang juga terdapat bangunan rapuh yang kini menjadi tempat tinggal istrinya. Sehingga memudahkan Aaron untuk mengawasi gadis itu dari jauh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN