"Saya sudah membuat majikan saya terpeleset di rumah dan majikan saya meninggal, Pak. Jadi saya ke sini untuk menyerahkan diri karena sudah ceroboh. Majikan saya dan bayi yang ada di dalam perutnya tidak bisa diselamatkan karena saya. Tangkap saya, Pak!" Kataku saat berdiri di depan petugas yang melongo menatapku.
Mungkin ia mengira, aku akan membuat laporan kehilangan, ternyata aku malah mau menyerahkan diri. Seandainya bisa kupotret wajah bingungnya pasti sudah kupotret.
"Jadi kamu ke sini mau menyerahkan diri?" tanyanya lagi padaku. Padahal tadi aku sudah bilang begitu, kenapa petugas ini malah menanyakan kembali? Ya ampun, aku benar-benar lelah dan tidak mau berdebat. Ketupat sayur padang yang ada di dalam tasku pasti sudah mengembang karena terlalu lama si Mas Polisi menatapku.
"Masuk dulu ke dalam, nanti kita akan buatkan BAP-nya!" Aku pun mengangguk paham. Sampai di dalam, aku bingung mau ke mana. Ke arah kanan, polisi sedang duduk di mejanya dengan banyak kertas. Ke sebelah kiri, ada polisi yang tengah menjambak rambut pria yang tangannya diborgol. Lalu aku harus ke mana?
"Mas, sel saya yang mana ya? Ada nomor selnya gak?" tanyaku to the point. Jujur, bukan aku sudah tidak sabar mau masuk penjara, tetapi ketupat sayur padangku ini yang tak sabar ingin kusantap.
Polisi tadi tertawa sambil menggelengkan kepala. Ia duduk kembali di kursinya dan terus saja menertawakanku. Apa yang lucu? Pikirku.
"Mbak masuk ke ruangan yang ada pintunya itu dulu untuk dicatat pernyataannya. Setelah itu, Mbak baru bisa masuk ke penjara," terang petugas itu dengan kalimat tertata dan penyampaian yang hati-hati.
"Gak bisa langsung aja, Mas Polisi? Ketupat sayur padang saya keburu megar deh. Apa saya ijin sarapan dulu di kursi depan ya? Tenang, Mas, saya gak ke mana-mana? Cuma mau sarapan," kataku sambil tersenyum tentunya. Sejak kemarin pipi ini begitu kebas karena menangis dan ketika garis bibir ini ku tarik sedikit lebih ke atas, rasanya seperti tengah bergelut dengan. Lem kambing.
"Ya sudah, makan dulu saja. Nanti langsung masuk ke dalam ya."
"Baik, Mas Polisi, terima kasih." Aku pun berjalan cepat duduk di kursi panjang. Ada seorang ibu yang tengah duduk, seperti menunggu. Aku menyapa sekilas, lalu sibuk dengan sarapanku.
Aneh memang, orang-orang menatapku dengan tatapan bingung. Bagaimana bisa aku makan ketupat sayur, seperti aku makan siomay yang sisi ujung bungkusan plastik itu aku lubang dengan gigi? Namun, aku cuek saja, kuteruskan makan sampai tinggal sayur nangka dan pakis yang tersisa sedikit di dalamnya. Tidak lupa juga aku minum air mineral agar rasa pedas di lidah ini segera hilang.
"Mbak, silakan ke dalam, petugasnya sudah menunggu," tegur petugas itu padaku.
"Kasih yang antre belakangan aja, Mas, saya baru selesai makan, ketupatnya baru sampai paru-paru, belum nyampai usus."
"Heh, kamu jangan seenaknya sama petugas! Masuk sana!" Aku menelan ludah. Mau tidak mau, ikhlas tidak ikhlas, aku pun berjalan masuk ke dalam ruangan yang sudah ditunjuk. Di dalam sana nasibku akan ditentukan. Apakah dipenjara seumur hidup atau dihukum mati?
Tok! Tok!
"Masuk." Suara berat di dalam sana membuatku memberanikan diri untuk masuk. Dua orang petugas sudah duduk dan kini menatapku dengan serentak.
"Permisi, Pak, saya disuruh masuk ke sini sama petugas di depan."
"Oh, iya, silakan duduk!" Aku duduk di di samping petugas yang sedang membuka laptop.
"Saya tadi udah minum, Pak, jadi gak usah ditawarin minum lagi ya, masih kenyang," kataku polos sambil tersenyum manis.
"Heh, kamu ke sini bukan mau bertamu, tapi buat dipenjara!" Pekiknya hingga membuatku terkejut.
Bersambung