6. Dibebaskan

510 Kata
"Zia, bangun!" Suara hentakan keras diiringi pukulan pada besi pagar tahanan, membuatku tersentak. "Kenapa, Pak?" tanyaku masih dengan kelopak mata yang amat berat. "Udah waktunya makan ya?" tanyaku lagi karena merasa perut ini keroncongan. "Makan terus yang ada di otak kamu, bangun! Ada tamu!" "Oh, saya disuruh buatin teh untuk tamunya?" tanyaku lagi masih dalam mode belum sadar sepenuhnya. Polisi muda itu tertawa cekikikan dan enggan menjawab pertanyaanku barusan. Aku pun berdiri, meninggalkan tas ranselku di dalam sel. Tidak mungkin ada yang mengambil karena tidak ada tahanan lain di dalam sel bersamaku. Sepi, mungkin sudah pada mudik. "Eh, mau ke mana jalannya? Bukan belok kanan, itu... ke kiri!" petugas itu menarik tanganku dengan kuat, hingga tubuh ini yang sudah berada di arah kanan, terpaksa berbalik ke arah kiri. "Oh, dapurnya di sana! Berapa banyak tehnya, Pak?" tanyaku lagi. Petugas itu menghela napas, lalu tertawa. Begitu juga dengan petugas lain yang duduk di meja masing-masing yang tidak jauh dari tempat aku berdiri. "Zia, saya bilang ada tamu, bukannya itu berarti kamu harus buatkan teh." "Lalu apa, Pak? Kopi? Kopi hitam apa kopi s**u? s**u murni apa mau s**u basi?" Aargh! Pekikku saat rambut ini ditarik dengan kesal olehnya. "Udah, jangan ngoceh aja! Jalan lurus, ada tamu yang mau ketemu kamu!" Aku pun mengangguk paham sambil terus mengusap kepala yang sakit karena ditarik barusan. Siapa sih tamunya? Waktu masih di rumah Mas Gusti, aku gak pernah ada tamu. Sekalinya tamu, kurir paket s**u Hilmi. Dengan tidak semangat, aku membuka pintu yang ditunjukan polisi tadi. Seorang pria duduk memunggungi pintu, tempat di mana aku berdiri saat itu. "Permisi, apa Bapak cari saya?" tanyaku pelan. Pria itu menoleh dengan kaget, lalu segera berdiri dengan cepat. "Zia, kamu gak papa? Kamu ga dipukulin di sini'kan? Alhamdulillah, aku tidak melihat wajah atau tubuh kamu terluka, syukurlah." Pria itu nampak tersenyum lega. Aku pun ikut tersenyum. Baru dua kali aku bertemu dengannya karena ia tidak tinggal di Jakarta. "Ada apa Bapak kemari?" tanyaku heran. "Sini, duduk dulu!" Pria itu pun menarik tanganku untuk duduk di kursi kosong di sampingnya. Aku menurut saja, membiarkan ia menarik tubuh ini dan mendaratkan b****g di kursi kayu yang keras. "Apa Mas Gusti yang meminta Bapak ke sini?" tanyaku lagi dengan harap-harap cemas. Jika jawabannya iya, maka Mas Gusti pasti tidak tega juga denganku. "Bukan, ini inisiatif saya saja. Apa menurut kamu, saya percaya dengan tuduhan Gusti atas terpelesetnya almarhum Mbak Hanin karena kamu? Tentu saja tidaktidak," terang pria itu. "Lalu?" tanyaku lagi. "Kamu aku bebaskan, Zia. Aku tahu kamu tidak seperti prasangka Gusti. Aku menjamin kamu agar bisa keluar dari penjara, tapi kamu tidak boleh keluar kota sama sekali sampai masa penyelidikan selesai." Mata ini sudah berkaca-kaca mendengar ada orang baik seperti Mas Desta yang menjaminku. Apakah ini mimpi? "Pak, tapi percuma juga saya keluar, saya mau tinggal di mana? Masa saya jadi gelandangan? Udah, saya gak papa di sini, suasana selnya enak kok. Cuma dingin aja karena terbuat dari semen, bukan ubin keramik." Pak Desta tertawa mendengar perkataanku. "Kamu akan tinggal di rumah saya, kamu jadi ART saya, bagaimana?" Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN