Lima tahun lalu, Riandra pernah datang ke Karawang. Mengurus beberapa hal hingga sebuah takdir menjadikannya hingga seperti ini.
Merasa risih dengan jas yang dia pakai, Riandra pun menanggalkan jas yang dia pakai sejak dia ke luar dari rumahnya dan menaruh jas tersebut pada kursi lain yang berada di meja yang sama. Bahkan, Riandra juga melepaskan dasi yang dia pakai, melipat benda itu lalu memasukkannya ke dalam saku jas yang dia lepaskan lebih dulu, sebelum dia melepas satu kancing paling atas kemejanya.
Kolam renang yang berada di Wellness Center itu ternyata bersebelahan dengan Gym Center juga Sento atau pemandian bergaya Jepang.
Air di kolam renang itu terlihat sangat biru, dengan sebuah batu karang buatan besar yang dibentuk seperti memiliki lubang di tengahnya dan kebetulan ada beberapa orang yang terlihat menikmati siang dengan berenang di sana, hingga Riandra bisa melihat bagaimana mereka berenang melewati celah batu tersebut untuk menikmati dinginnya air kolam.
Sepanjang bibir kolam renang pun, Riandra bisa melihat banyak sekali bangku malas dengan payung-payung besar yang bisa digunakan untuk bersantai. Di sana juga sudah tersedia bathrobe khusus yang mungkin disediakan oleh karyawan hotel untuk memudahkan pengguna kolam renang agar tidak perlu lagi repot memanggil karyawan di sana hanya untuk meminta sebuah bathrobe.
Menikmati pemandangan dan sepoinya angin di tepi kolam renang sambil menikmati secangkir kopi, Rianda tidak sadar bahwa Wedha Wardhoyo bersama beberapa orang kepercayaannya juga sedang duduk di restoran yang sama. Namun dengan posisi saling memunggungi.
Dari tempatnya, Riandra bisa mendengar bagaimana mereka membicarakan dirinya. Mencibir dan mempertanyakan kinerja Riandra, sementara yang bersangkutan hanya bisa tersenyum sambil sesekali menyesap sisa kopi dalam cangkirnya.
“Si Riandra itu emang bego." Satu suara terdengar lantang. "Maksud dia itu apa, sih? Masa dia mau tarik target pasar menengah ke bawah? Mana ada yang mau beli, kalau target kita seperti itu? Lagian, gimana juga kita pasarin unit kita yang semewah itu dengan harga di bawah minimum? KPR lagi? Bos, apa nggak sebaiknya kita bujuk lagi tuh orang buat tarik omongannya?”
“Hah!” Riandra mendengar suara desah berat dari pria yang lain. “Aku juga sudah tidak mengerti dengan apa yang dipikirkan oleh anak tunggal Agung Harris Wiratmaja itu.”
“Bapak benar. Padahal dulu, Pak Agung itu orangnya realistis dan jiwa bisnisnya bagus. Lah, kenapa malah anaknya lebih mirip orang yang halu?" Komentar yang lain. "Bayangin aja lah, Pak. Konsumen kita dari menengah ke atas bakal risih kalau tetanggaan sama menengah ke bawah. Mereka pasti takut dirampok lah, ini lah, itu lah, tahu sendiri kan, orang miskin itu gimana mentalnya?"
“Nggak tahu, apa yang sebenarnya dipikirkan oleh penerus Agung Grup itu. Dia benar-benar tidak memikirkan keuntungan juga dampak buruk dari proyek yang dia usung.”
“Hm, bener.” Timpal yang lain. “Padahal kalau saja dia mau memukul rata pasar kita, dia akan mendapatkan banyak keuntungan dari semua itu.”
Selama orang-orang itu terus bicara, Riandra hanya bisa tersenyum. Dia bahkan sempat memanggil pelayan dan meminta Bill untuk minuman yang dia pesan. Bukan hanya itu, Riandra juga mengeluarkan kocek lebih untuk membayar makanan juga minuman yang dipesan oleh orang-orang yang duduk tepat di belakangnya, sebelum dia mengambil jas yang dia taruh pada bangku yang dia taruh sebelumnya. Sebelum berjalan melewati orang-orang yang menjadi rekan bisnisnya, termasuk Wedha Wardoyo.
Saat melihat Riandra masih berada di hotel tersebut, bahkan duduk di depan mereka sejak tadi dan sekarang, berdiri tepat di depan meja mereka, membuat beberapa orang itu terlihat seperti kesulitan bernapas, bahkan tersedak karena makanan yang sedang mereka kunyah.
“A—Pak, apa ka—“
“Nggak usah, lanjutkan lagi saja makan siang kalian. Dan ... jika kalian memang tidak suka dengan proyek yang saya mau, mari bicarakan dengan baik di kantor saya. Baiklah, sampai jumpa di kantor nanti.” Ujar Riandra sambil menepuk bahu salah satu dari anak buah Wedha Wardoyo, sambil tersenyum dan melenggang pergi.
"Oh, iya. Udah dibayar ya, bill -nya." Tambah Riandra kembali tersenyum.
Sementara Riandra tersenyum sambil pergi, Wedha Wardoyo langsung terlihat sangat frustrasi dengan apa yang baru saja terjadi. Dari tempatnya, bahkan Riandra bisa mendengar suara benda pecah. Berulang.
Meski sedikit terkejut, Riandra tetap tidak berhenti walau hanya untuk menengok ke arah rekan bisnisnya yang sekarang sedang mengamuk di belakang sana. Sementara Wedha Wardoyo memecahkan peralatan makannya, seseorang mencoba mengejar Riandra. Namun, Riandra mengabaikan pria itu dan terus berjalan.
Tentu saja. Riandra bisa dengan jelas merasakan bagaimana bingungnya Wedha Wardoyo sekarang setelah apa yang dia katakan barusan. Karena jika memang dirinya menghentikan kerja sama dengan perusahaan milik Wedha Wardoyo, maka Wedha Wardoyo sendirilah yang akan merugi puluhan milyar dengan semua kalkulasi keuntungan yang sudah mereka perhitungkan sebelumnya. Tapi apa pedulinya?
Meski dia harus putus kerjasama dengan Wedha Wardoyo, toh masih banyak perusahaan lain yang mau membuat kerjasama dengan Agung Grup dan rela melakukan apa pun demi mendapatkan uang, bukan? Dan kehilangan beberapa lembar uang tidak akan membuatnya bangkrut dengan mudah.
“Sudah mau pulang, Pak?” tanya seorang doorman yang mengidap dwarfisme itu, pada Riandra yang hendak melewati pintu lobi. Dan dengan apik, salah satu dari mereka berusaha mengantar Riandra hingga ke luar.
“Sopirnya sudah ditelepon, Pak?” tanya pria kecil bernama Asep itu terdengar sangat ramah di telinga Riandra.
Tentu saja, Riandra bisa tahu nama pria kecil itu dari name tag yang dipakainya.
Riandra kembali tersenyum. “Sudah. Kamu yang betah kerja di sini, ya? Nanti kita ketemu lagi.” Ujar Riandra sambil menepuk bahu pria kecil itu. Sampai akhirnya, mobil yang dikendarai oleh Baron kembali naik dari baseman dan berhenti tepat di depan Riandra.
“Ke mana lagi kita, Pak?” tanya Baron setelah Riandra masuk.
“Nggak ke mana-mana, Ron. Kita pulang aja, aku kayaknya udah nggak mood ngelakuin apa-apa lagi sekarang.”
“Pertemuan kita sama kepala desa Cisoang batal, Pak?” tanya Baron sedikit bingung. Karena sebelum mereka ke luar dari kantor. Riandra menjelaskan dengan detail ke mana saja mereka harus pergi hari ini. Namun sekarang, tiba-tiba Riandra menyudahi safari mereka.
“Batalin aja, Ron. Aku udah nggak mau lagi ketemu siapa-siapa abis ini.” Jawab Riandra malas. Dia bahkan menyandarkan punggungnya ke sandaran jok mobil.
Baron yang sudah mengiakan keinginan RIandra untuk tidak bertemu dengan siapa pun lagi, sempat melirik bos –nya itu dari spion atas. Dari sana, Riandra terlihat sangat kacau. Bukan hanya dari wajahnya tapi juga penampilannya. Mungkin terjadi sesuatu tapi, dia tidak ingin bertanya karena mungkin itu akan membuat Riandra semakin merasa jengkel.
“Kita pulang aja, Pak?”
“Hm, pulang aja, Ron.” Jawab Riandra malas.
“Baik, kalau begitu, Pak."
“Makasih banyak, Ron.” Ucap Riandra. Karena lelah, Riandra memilih untuk memejamkan mata sementara Baron melajukan mobilnya.
Sebenarnya Baron tidak tahu apa yang baru saja terjadi di rapat bos –nya itu di dalam sana tapi, melihat bagaimana buruknya penampilan Riandra setelah dia ke luar dari dalam hotel tersebut, Baron seperti punya kesimpulannya sendiri.
.
.
.
Setelah berputar kembali ke jalur tol Karawang Barat. Baron membawa Riandra ke rumahnya yang berada di sebuah perumahan di daerah Pantai Indah Kapuk—jakarta Utara.
Kawasan perumahan yang kebanyakan dihuni oleh elit-elit pemilik perusahaan besar atau mereka yang hidup dengan kasta sosial yang tinggi. Dengan jajaran rumah mewah bergaya Eropa, hingga minimalis modern dengan dua hingga tiga lantai yang menjulang dengan pilar-pilarnya yang besar juga penuh dengan ornamen ukiran barat yang memesona.
Sementara rumah yang Baron tuju, hanya sebuah rumah dua lantai bergaya minimalis dengan hampir delapan puluh persennya adalah kaca satu arah. Terlihat sangat mewah dan pekarangannya yang sama sekali tidak dipagari oleh pagar besi, terlihat asri karena ditumbuhi oleh pepohonan tinggi yang rindang dan rumput hijau yang terawat rapi. Bahkan, ada beberapa pot gantung yang diisi oleh jenis anggrek dengan warnanya yang cantik.
Sementara semua rumah terlihat sangat rapat menyimpan keadaan sekelilingnya, rumah itu lebih terlihat terbuka, seperti sama sekali tidak takut dengan tindak kejahatan yang mungkin bisa terjadi, dan di sana lah, Baron berhenti.
Setelah menghentikan mobilnya, Baron langsung membuka pintu di mana Riandra duduk. Biasanya tidak pernah, tapi kali itu, karena Baron melihat bos –nya yang sangat lelah.
“Udah sampai, Pak.” Ucap Baron, mempersilakan Riandra untuk turun.
Mendengar Baron bicara, Riandra pun membuka matanya dan baru sadar kalau dia sudah dibawa ke rumahnya tanpa sadar.
“Ron, kamu bisa istirahat di dalem. Kalau capek, kamu boleh pulang. Aku nggak ada niat pergi ke mana pun.”
“Anu, rencana bapak ke Rusia gimana?” tanya Bron takut-takut.
Riandra yang baru saja menurunkan sebelah kaki dan berniat turun dari mobil tiba-tiba berhenti, mendengar pertanyaan Baron. Meski terlihat enggan tapi, Riandra tetap menjawab pertanyaan tersebut. “Tadinya minggu depan tapi, mungkin aku pergi lusa.”
“Kalau begitu, skejul kita ke kantor Wedha Wardoyo besok—"
“Nggak usah, kerja sama saya sama Werdha Wardoyo sudah selesai. Nanti aku akan cari orang lain aja yang bisa kita ajak kerja sama dengan cara wajar, jujur dan tidak hanya mementingkan dirinya sendiri. Terutama, tidak menjatuhkan satu golongan hanya untuk mengangkat golongan lain.” Ujar Riandra sambil menepuk bahu Baron, tersenyum dan masuk ke dalam.
Mendengarnya, Baron hanya mengangguk dan membiarkan Riandra berjalan masuk ke dalam rumah, sementara dia kembali merapikan mobilnya sebelum dia juga tinggalkan ke belakang. Ke ruangan khusus karyawan di rumah tersebut.
Pintu rumah itu terbuat dari kayu jati berkualitas sangat baik dengan sistem buka geser dan memiliki teralis besi berat yang membuat pintu geser itu terlihat mewah. Meski begitu, Riandra tidak butuh banyak tenaga untuk membukanya karena sistem pintu tersebut menggunakan sistem aero dinamik ringan yang biasa digunakan untuk pemasangan pintu garasi.
Meski demikian, keamanannya tetap terjaga sangat kuat, karena Riandra memasang banyak sekali security alarm yang akan berbunyi jika pintu atau kaca jendelanya dibuka dengan cara yang tidak wajar. Bahkan suara security alarm itu akan terdengar hingga setengah jam dengan suara yang mungkin bisa terdengar hingga beberapa meter dari sumber suara dan baru akan berhenti jika dimatikan.
Saat Riandra berjalan masuk ke dalam rumah itu, terlihat ruang tamu yang sangat luas. Memanjang tanpa sekat hingga memperlihatkan hampir seluruh perabot yang berada pada satu garis lurus.
Ada satu set sofa dari kulit berwarna cokelat terang di ruang tamu, memberikan kesan mewah saat pertama kali masuk ke dalam rumah tersebut. Di bagian selanjutnya ada tangga yang berada di sebelah ruang tamu, menjadi sedikit sekat dengan kamar mandi berada tepat di bawah tangga. Sementara rumah terlihat sangat luas dengan penataan interior yang demikian, membuat dapur pun bisa terlihat dari satu kali mata memandang. Ruang makan dengan set kursi dan meja vintage, bergaya klasik namun tetap terlihat modern yang mewah. Sementara di sisi kiri dekat tangga, ada dua kamar dengan pintu geser yang sama seperti yang dipasang pada pintu depan.
Tidak ada yang menarik di lantai satu selain penataan interior dan perabot yang terlihat mewah. Namun saat Riandra naik ke lantai dua, siapa pun bisa melihat ada sebuah ruangan luas berisi rak buku besar dengan macam-macam genre buku mulai dari ukuran hingga ketebalan yang beda dan semuanya disusun sangat rapi sesuai dengan urutan abjad pada setiap judul. Rak buku itu pun terlihat sangat rapi karena tertutup sekat kaca yang jernih karena dibersihkan setiap hari, seolah tidak boleh ada setitik pun debu menempel di sana.
Selain rak berisi buku-buku dari penulis ternama dari seluruh dunia dengan berbagai bahasa, di sana juga ada sebuah sofa malas berwarna hijau lumut, karpet bulu putih yang membungkus lantainya, juga beberapa bantal berbagai bentuk tersusun rapi di sana. Bukan hanya itu, dinding kaca satu arah yang menjadi pembatas antara rumah dengan dunia di luar sana membuat ruangan tersebut menjadi sangat menarik.
Pemandangan yang diperlihatkan oleh dinding kaca itu adalah taman seluas lapangan golf dengan sebuah danau buatan yang jernih, bahkan ada air mancur di tengah danau yang ditumbuhi beberapa batang teratai yang masih kuncup, menunggu mekar. Sementara di tepinya, terlihat ada beberapa wahana sederhana untuk anak-anak.
Ruang baca itu adalah ruangan favorit Riandra setelah dia membangun rumah tersebut. tempat yang sangat nyaman untuk melakukan banyak hal. Entah itu membaca, mengerjakan beberapa pekerjaan atau hanya sekedar bersantai menghabiskan hari.
Yang lebih mencolok dari ruangan tersebut adalah sebuah bingkai berukuran 2x1 meter yang terpaku indah di dinding sebelan kanan, berseberangan dengan tempatnya menaruh rak berisi buku-buku miliknya. Membuat siapa pun yang berada di ruangan itu akan langsung tertuju pada foto yang ada di dalam bingkai tersebut.
Bingkai foto yang hampir memenuhi satu dinding dari atas hingga ke bawah itu langsung mengalihkan semua perhatian siapa pun yang ada di sana. Karena dalam bingkai foto besar itu terdapat gambar wajah seorang wanita dengan kerudung berwarna Jingga debalut niqab berwarna gelap yang menyembunyikan wajah cantiknya yang memesona, menyisakan sepasang mata indah dibingkai bulu mata panjang yang lebat juga lentik. Alisnya melengkung indah dengan arsir bulu yang terlihat jelas dan tidak terlalu tebal sangat kontras dengan irisnya yang berwarna cokelat cerah.
Dalam balutan indah itu, sepasang mata indahnya melengkung, seolah bibir yang tersembunyi di balik niqab –nya tengah tersenyum pada dia yang tengah mengambil gambar tersebut. Tatapan teduhnya pun terasa sangat menyejukkan, membuat siapa pun akan betah berlama-lama memandang foto berukuran 2x1 meter itu. Begitu juga Riandra.
Tak sedetik pun dia berkedip setiap kali memandang foto itu, hingga tanpa sadar, tangannya terulur untuk menyentuh foto indah di hadapannya.
“Ibu selalu kelihatan sangat cantik di sana ya, Pak?” ucap seorang wanita paruh baya mengagetkan Riandra.
Karena merasa terganggu, Riandra menurunkan tangannya dengan cepat, berbalik ke arah sumber suara dan tersenyum pada wanita yang berjalan sambil membawa sebuah nampan berisi cangkir yang isinya masih menguarkan uap panas.
“Ah, si Bibi. Ngagetin aja.” Ucap Riandra merasa sedikit malu dengan tingkahnya sendiri.
Tentu saja. Ini bukan pertama kalinya asisten rumah tangga yang sudah seperti keluarganya sendiri itu memergokinya seperti ini. Hingga rasanya, malu pun tidak berguna lagi untuk membuat Riandra kapok.
“Bibi lihat Narjo di belakang, terus si Narjo bilang kalau Bapak kecapean, terus bibi inisiatif deh, bawain teh jahe kesukaannya Bapak.” Ujar wanita bernama lengkap Widi Astuti itu dengan nada sedikit cempreng.
Namun, Riandra tidak peduli, karena asisten yang lebih sering dipanggil Bi Entut olehnya itu sudah bukan hal yang aneh untuk Riandra.
“Makasih ya, Bi.” Ucap Riandra sambil menerima secangkir teh jahe yang disebutkan oleh Bi Entut, kemudian meminumnya sambil berdiri.
“Ibu itu luar biasa ya, Pak.” Bi Entut membuka percakapan dengan pandangan yang tertuju sepenuhnya pada gambar wanita dengan niqab di bingkai berukuran dua meter lebih itu.
Mengikuti arah pandangan Bi Entut, Riandra terpaku. Dia kembali tersihir oleh indahnya sepasang mata indah berbingkai bulu mata tebal nan lentik dari wanita yang disebut ‘Ibu’ oleh Bi Entut.
“Dia memang luar biasa, karena hanya memandangnya seperti ini semua lelahku hilang begitu saja, Bi ....”
_