- 01 -

2132 Kata
Mobil jenis BMW seri —M5 berwarna silver metalik itu melaju kencang di jalanan ibu kota. Meski jalanan terlihat macet dan terkadang padat merayap, tapi sopir yang membawa mobil itu terlihat sangat piawai dan sukses membuat penumpang yang sudah dia bawa berkeliling hampir seluruh wilayah pulau Jawa itu masih terlihat sangat nyaman. Bahkan, dia bisa melihat melalui kaca spion atas wajah orang yang sudah memperkerjakannya selama lebih dari lima tahun terakhir itu masih asik membaca berkas yang dia bawa dari kantor tadi. "Pak, kita lewat jalan arteri ya? Sepertinya di depan macet total." Tanya Baron, saat dia melihat antrian kendaraan yang mulai menumpuk di depannya. "Ke mana aja, Ron. Yang penting aku sampe ke Karawang kota, jam dua ini." "Baik, Pak." Sekali lagi, Baron yang nama aslinya adalah Baharudin Narjo itu bicara dan menjawab dengan nada yang sangat sopan, meski dia tahu tuannya tidak terlalu peduli mereka akan melewati jalanan seperti apa. Sesuai dengan ucapan tuannya, Baron memilih jalan yang dia pikir akan menjauhkan mereka dari macet, jadi Baron mengambil jalan arteri melalui kawasan pabrik Deltamas—Cikarang setelah mobil mereka ke luar dari jalan tol. Mungkin jika dari Jakarta, Baron hanya perlu langsung melajukan mobil mewah milik tuannya itu terus hingga ke pintu tol Karawang Barat dan mereka akan tiba lebih cepat, hanya saja mereka juga masih punya urusan di salah satu pabrik di kawasan Jababeka—2 masih Cikarang, dan mau tidak mau, mereka harus selalu bertemu kemacetan ke mana pun mereka pergi. Ya, sudah bukan rahasia umum lagi kalau Cikarang—Bekasi dan tentunya ibu kota sudah jadi kawasan yang sangat padat, sangat ramai, bahkan bernapas pun tidak akan jadi hal mudah di tengah polusi yang sangat pekat. Jalanan yang sedang dilewati oleh mereka bukan hanya kawasan pabrik, tapi juga ada sebuah stadion besar bernama Wibawa Mukti. Awalnya stadion itu dikenal sebagai stadion utama kabupaten Bekasi itu dibangun untuk menjadi tuan rumah untuk Porda Jabar XII tahun 2014 silam, kemudian kembali menjadi tuan rumah untuk PON XIX di 2016, hingga sekarang sering digunakan untuk pertandingan-pertandingan sepak bola bergengsi. Hanya saja, kemegahan stadion yang masih terlihat baru itu tidak membuat tuannya merasa tertarik untuk sekedar melirik, bahkan perhatiannya pun hanya tertuju pada lembaran-lembaran kertas yang masih sibuk dia baca. Baron kembali melihat tuannya melalui spion atas namun segera mengalihkan perhatiannya dan kembali menyetir. "Pak, maaf ... kita lewat Kober aja, ya?" Tanya Baron ragu. "Lewat aja, Ron." Jawab Riandra sangat santai. "Bapak nggak keberatan?" "Itu jalanan umum, kan? Lewat aja." "B—Baik." Begitulah. Riandra Agung Wiratmadja memang tidak pernah berubah sejak Baron mengenalnya lima tahun lalu. Pria keturunan chinese dengan sepasang alis tebal dan tulang hidung yang tinggi itu terlihat sangat tampan dengan bibirnya yang selalu kemerahan, bahkan wajah tirusnya benar-benar menggambarkan dia seperti orang-orang Tiongkok yang sering Baron lihat di televisi, menari, bernyanyi, dan selalu berpose seperti model. Hanya saja, pekerjaan orang-orang itu dengan tuannya sangat berbeda. Mereka adalah intertainer, sementara Riandra adalah seorang pebisnis properti. "Baron, nanti aku mau mampir ke toko roti dulu, bisa?" Suara tuannya—Riandra terdengar menggema di dalam mobil mewah yang bahkan suara bising di luar pun tidak bisa terdengar. "Umn, habis kita keluar dari Kober, kita langsung ketemu gerbang tol Karawang Barat kok pak, di sana ada Holland Bakery, kita ke sana aja pak?" "Boleh." Ah, harusnya Baron tahu ... meski pun dia menawarkan toko roti murah dengan harga hanya dua ribu per -satu bungkus pun, Riandra tidak akan menolak. Hanya saja, saat mereka tiba di Karawang, Baron selalu tidak tahu harus melakukan apa, patuh tanpa banyak bicara dan memberi opsi tertinggi untuk setiap permintaan tuannya. Usai mobil mewah berharga ratusan juta itu melewati jembatan Siphon aliran sungai Cibe'et, Baron terus melajukan mobilnya ke arah kiri dari perempatan, melewati area persawahan hingga gedung-gedung tinggi mulai terlihat. Dulu, saat pertama kali Baron dibawa Riandra ke Karawang, tempat ini hanya kawasan biasa yang dipenuhi pesawahan, tapi kota ini berkembang sangat pesat hingga hotel berbintang pun sudah sangat banyak sekali, menjamur bagai parasit di tengah kota. Katakan kota ini adalah kota biasa di tahun 2010—2012 tapi, setelah pembangunan besar-besaran saat kawasan industri bergeser dari Bekasi, kota ini menjadi sangat berkembang dengan gedung-gedung tinggi yang mulai dibangun, beberapa menjadi apartemen, beberapa lagi menjadi hotel, sementara lainnya menjadi gudang-gudang logistik, bahkan pesawahan yang tadinya sangat luas pun, sekarang sudah hampir menghilang. Setelah ke luar dari kawasan Kober dan masuk area tol Karawang Barat yang juga menjadi akses ke kawasan pabrik KIIC, Baron menghentikan mobilnya di sebuah toko roti dengan bangunan khas hanya dimiliki oleh perusahaan tersebut. Holland Bakery. "Saya yang belikan pak, bapak mau beli apa?" Baron menawari setelah dia memasang rem tangan. "Tidak usah, kamu istirahat aja, aku nggak lama." Riandra menjawab. Lima tahun, mungkin bukan waktu yang sebentar untuk Baron mengenal Riandra yang harusnya dia panggil 'Mas' dan bukan 'Pak' itu, tapi ... siapa yang mau memanggil 'Mas' pada bos -nya sendiri? Sekali pun Riandra bersikap sangat baik dan tidak peduli pada apa pun, tapi itulah yang Baron takuti. Baron takut kalau dia mencoba terlalu akrab dengan Riandra, pria yang mungkin usianya baru menginjak dua puluh delapan tahun itu akan marah dan memecatnya di tengah kebutuhan hidup yang sangat tinggi seperti sekarang. "Masa gue kudu nganggur si ...?" Gerutu Baron, sambil mengusap wajahnya sebal. Meninggalkan Baron di dalam mobil, Riandra yang masih memakai setelan jas berharga mahalnya berjalan masuk ke dalam toko roti yang mungkin bisa ditemui di mana pun itu. Toko itu memang besar, ada banyak jenis roti yang dipajang pada etalase dengan showcase yang unik. "Selamat datang di Holland Bakery." Sapa seorang karyawan wanita sambil tersenyum hangat ke arah Riandra di belakang meja kasir. Sementara pria itu, hanya mengangguk ringan kemudian mengambil nampan juga sebuah capit atau food tong yang disediakan pihak toko sebelum berjalan untuk mencari jenis roti yang ingin dia beli. Riandra menarik beberapa showcase, mengambil beberapa roti yang sama dari etalase yang sama, juga roti lainnya yang terlihat lezat jika dinikmati dengan secangkir kopi panas. Usai memilih, Riandra kembali ke bagian depan, menaruh nampan berisi roti-roti yang dia ambil kemudian membayarnya di kasir. "Seratus tujuh puluh ribu, pak." Ujar karyawan yang tadi menyapanya. "Ada kopi hitam?" "Oh, ada pak, berapa cup?" "Satu aja." Tanpa basa-basi lagi, Riandra langsung membayar dengan dua lembar uang seratus ribu rupiah, menerima kembaliannya dan satu cup kopi sebelum dia kembali lagi ke dalam mobil di mana Baron sedang menunggunya sejak tadi. "Kita langsung ke Resinda hotel, ya." Ujar Riandra setelah masuk ke dalam mobil. Hanya mengangguk, Baron tidak bicara apa pun dan mulai kembali melajukan mobil mewah itu di jalanan Karawang menuju ke sebuah gedung hotel dengan dua puluh dua lantai yang berada hampir di tengah jalur emas industri di kota tersebut. "Baron, kamu tunggu di basemen aja ya? Dan sambil nunggu aku, kamu bisa makan ini, di dalam juga ada kopi item, kamu minum." Ujar Riandra sesaat sebelum dia ke luar dari dalam mobil dan masuk ke lobi hotel tersebut. Meninggalkan semua yang dia beli dan menaruhnya di jok depan. Melihat tingkah bos -nya itu, Baron sama sekali tidak bersuara. Dan membawa mobil tersebut turun ke parkiran di basemen, seperti yang diinginkan oleh Riandra. Saat Riandra masuk ke sana, dia disambut oleh dua orang doorman penyandang dwarfisme, terlihat tidak biasa untuk hotel sebesar ini memperkerjakan orang dengan kekurangan fisik seperti itu, tapi Riandra merasa kalau apa yang dipekerjakan oleh management hotel ini benar-benar tidak biasa dan menarik. Dan bukan tidak mungkin, kalau kekurangan tersebut akan membawa banyak keberuntungan bagi mereka. "Selamat datang, Pak." Sapa mereka bersamaan. Riandra menjawab sekenanya dan langsung berjalan menuju meja resepsionis di mana ada sepasang karyawan yang menyambutnya tak kalah ramah. "Ada yang bisa dibantu, Pak?" Tanya salah satu karyawan. "Saya ada janji dengan Wedha Wardoyo." "Oh, dengan Pak Riandra, ya? Pak Wardoyo sudah menuggu bapak di meeting room, Mezanine. Mari, saya antar." Riandra mengangguk, kemudian dia mulai berjalan bersama karyawan tersebut ke ruangan yang berada tepat di atas lobi tersebut. Meeting room di sana juga semuanya tertutup, begitu juga dengan ruangan yang menjadi tempatnya membuat janji dengan orang yang namanya disebutkan tadi. "Silakan," ujar karyawan tadi setelah membuka pintu untuknya, lalu menutupnya lagi rapat seperti semula. Riandra tidak terkejut saat hampir semua orang yang duduk di kursi meeting room di sana sudah penuh dengan pemiliknya. Hanya saja, saat Riandra masuk, mereka yang ada di sana langsung bangun dan menyapanya, karena jika melihat jadwal, sebenarnya Riandra sudah terlambat sekitar setengah jam tapi dia tidak mengatakannya pada Baron karena dia tahu sejak mereka ke luar dari pabrik di Cikarang tadi, kemacetan selalu mengikuti mereka. "Maaf, tadi saya harus ke Cikarang sebentar." Ujar Riandra dengan nada yang terdengar sangat tenang. "Tidak masalah Pak, maaf kalau kami mulai rapatnya tanpa bapak, sesuai anjuran." Jelas salah satu orang mediator di sana. Memang benar, Riandra menyuruh semua orang yang ada di tempat itu untuk memulai rapat tanpa dia selama menunggu. Sementara Wedha Wardoyo yang menjadi rekan bisnisnya kali ini pun tidak terlalu ambil pusing dengan bagaimana cara Riandra mengurus pertemuan mereka. Karena dia tahu, pewaris tunggal Agung Group itu terlalu sibuk untuk mengurusi satu per satu bisnisnya di bidang properti ini, bukan hanya properti, tapi putra tunggal Agung Harris Wiratmadja itu juga punya beberapa pabrik yang berada di Tanggerang, Cikarang, dan di Ujung Berung—Bandung. Wajar jika kesibukan pria itu menjadi sangat parah setelah ibunya memutuskan untuk pensiun dari dunia bisnis beberapa tahun terakhir. "Begitu, Pak. Menurut anda bagaimana?" Tanya salah satu mediator setelah sekali lagi menjelaskan konsep yang diusung oleh Wedha Wardoyo pada Riandra. Riandra belum menjawab pertanyaan yang diberikan padanya, matanya masih sibuk membaca dan melihat gambar yang ada dalam sebuah map berwarna biru yang sudah disusun dengan sangat rapi oleh Wedha Wardoyo bersama anak perusahaannya. Lima menit berlalu, Riandra baru selesai dan menaruh map tadi di atas meja. "Konsepnya menarik, tapi seperti yang saya katakan di awal kesepakatan pak Wardoyo, saya ingin semuanya bisa dijangkau kalangan menengah. Kalau pun ada kekurangan, perusahaan saya siap mengucurkan dana sesuai dengan kebutuhan tanpa syarat." Wedha Wardoyo terlihat kebingungan. Cluster yang ingin dia bangun dengan kerjasamanya bersama Agung Group adalah cluster mewah seharga ratusan juta rupiah, tapi bagaimana jika pendana memilih ingin membangun Cluster itu hanya untuk kalangan menengah? Cukup disayangkan jika harus dikaji ulang. Tapi, jika dia tidak mengiyakan, perusahaannya akan rugi milyaran rupiah setelah semua proses yang sudah dilalui hingga detik ini. "Bagaimana kalau kita pisahkan konsepnya, Pak? Untuk kompleks perumahan bagi kalangan menengah, kita tempatkan mereka di tepi, sementara bangunan mewah kita taruh di tengah?" Mediator yang sama mencoba menjelaskan apa yang diinginkan oleh atasannya, Wedha Wardoyo. Namun, hal tersebut ditolak mentah-mentah olehnya "Saya menolak." Jawab Riandra sangat tegas, "Tanah yang akan kalian bangun adalah milik perusahaan kami, jika anda setuju, proyek akan kita mulai dalam waktu dekat dan perusahaan kontruksi kami sendiri yang akan datang untuk memulai pekerjaannya, tapi ... jika anda menolak, mohon maaf, kalau kami dari Agung Group akan membatalkan kontrak ini sepihak." "Ti—tidak, Pak. Tentu ... kalau bapak ingin semuanya terkonsep seperti itu, kami akan mengaturnya dan memilih arsitek yang sesuai dengan ekspektasi bapak." Mediator itu ketakutan. Sesekali dia terlihat melirik Wedha Wardoyo yang masih duduk tenang di kursinya. Sementara Riandra tersenyum. 'Seperti inikah orang-orang di dunia bisnis?' pikirnya. Tapi, Riandra tidak peduli. Karena memang seperti itulah cecunguk yang berkubang di lumpur got bernama bisnis. Menjijikan dan berbau busuk. "Baiklah, lakukan semuanya dan kabari saya jika perusahaan anda sudah siap Pak Wardoyo." Ujar Riandra sebelum berjalan ke luar dari dalam meeting room tersebut. Selama dia berjalan, Riandra bukan tidak tahu kalau hampir semua mata yang ada di sana memandangnya sinis, hanya saja Riandra harus mengabaikan semua itu dan tetap melenggang seperti tidak pernah terjadi apa pun. Agung Group adalah perusahaan yang dibangun oleh almarhum ayahnya dua puluh tahun lalu, perusahaan properti itu tidak langsung besar seperti anaknya sekarang. Bahkan Agung Group juga tidak pernah lepas dari para pesaing curang yang selalu ingin menghancurkannya namun, ayahnya selalu berhasil menyingkirkan kerikil itu hingga perusahannya beranak cabang hingga saat ini. Sama seperti yang pernah pepatah bilang, semakin tinggi pohon, semakin kencang juga angin yang menerpa. Dan itu juga yang dirasakan oleh perusahaan yang sekarang jatuh ke tangan Riandra setelah ayahnya meninggal karena kecelakaan tujuh tahun lalu. Kali ini, bukan ayahnya yang harus menghadapi cecunguk tengik di kubangan lumpur got bernama bisnis itu lagi, melainkan dirinya. "Baron pasti masih ngopi di basemen ...." Gumam Riandra mengingat kalau dia baru saja memberikan sekantung penuh berisi roti dan kopi yang dia beli di toko tadi. Dia juga tidak mungkin memanggil Baron untuk menjemputnya di lobi sekarang, karena dia yakin, Baron pasti sedang menikmati kopi itu sambil bersantai. Jadi, Riandra mencoba turun ke bawah ke restoran yang ada di sebelah resepsionis, memesan segelas kopi dan menikmatinya di tepi kolam renang sambil menunggu Baron selesai. "Aku tidak pernah membayangkan kalau aku akan kembali lagi ke Karawang setelah sekian tahun ...." _
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN