Penasaran merajainya sekarang. Karena penasaran itu, Dhanu memilih untuk meninggalkan Handi dan menghampiri wanita yang sudah mengalihkan seluruh perhatiannya sejak dia tiba di St. Petersburg.
Setelah melewati gerbang utama, pemandangan bernuansa emas dan merah menyala yang menyilaukan mata, membuat Dhanu terpesona. Ornamen-ornamen yang terukir pada dinding dihias cat berwarna emas mengkilat. Terlihat sangat apik dan sama sekali tidak menghilangkan kesan sejarah yang dimiliki oleh bangunan tersebut.
Hanya saja, bukan itu yang ingin Dhanu lihat sekarang, dia hanya ingin melihat gadis itu lagi. Namun, di ruangan itu terlihat beberapa orang yang juga sedang asik memandangi etik ornamen, serta lukisan yang terpajang di dinding indah istana megah tersebut.
Istana Peterhof ini sungguh menghipnotis Dhanu. Pria ini bahkan menyentuh beberapa perabotan yang ada di sana tapi, karena ingatannya tiba-tiba teralih pada sesuatu yang lain, dia akhirnya menghentikan kekagumannya pada ornamen istana yang sudah berdiri sejak tahun 1709 itu. Dengan langkah yang dipercepat, Dhanu mencoba mencari ke tempat yang mungkin bisa membawanya pada gadis yang seolah sudah menyihirnya itu. Namun, dia benar-benar seolah kehilangan jejak untuk itu.
Karena kehilangan jejak dan tidak tahu harus pergi ke mana, membuat Dhanu menyerah. Dia terus mencari, menengok satu persatu ruangan yang diizinkan untuk dimasuki pengunjung, melihat sambil mencari keindahan lain yang sia cari. Namun, semakin dalam dia.mencari, dia benar-benar kehilangan jejak gadis yang memakai coat merah marun itu.
Dhanu pun menertawakan dirinya, dia benar-benar seperti orang bodoh, mencari sesuatu yang bahkan tidak dia ketahui dari mana asalnya gadisnya,
"Vam stoit peresmotret' moye predlozheniye o stroitel'stve detskogo doma. Nichego strashnogo, khot' priyut malen'kiy, no dostatochno, chtoby razmestit' detey, kotorykh ya vstretil na ulitse."
[ "Kau harus pertimbagkan kembali usulku! Tidak masalah kalau pun itu kecil tapi, setidaknya anak-anak itu punya tempat untuk tinggal." ]
Dhanu melihat gadis itu sedang berjalan cukup cepat, mengimbangi seorang pria bertubuh sedikit tambun sambil terus berusaha menyodorkan sebuah lembaran keliping pada pria tersebut. Namun, jelas sekali terlihat bagaimana perbedaan sikap keduanya.
"Bylo skazano, chto ob etom budut dumat' snova i snova."
[ Sudah kukatakan, kalau aku akan memikirkannya lagi. ] Ucap pria tambun itu sambil mengibaskan keliping tadi darinya. Berusaha menjauhkan benda itu dan terus mempercepat langkahnya dari gadis tersebut. Namun, seperti tidak mengarah, gadis ber -coat marun itu terus mengejar dan tetap menjelaskan.
"Proshlo vosem' mesyatsev s tekh por, kak vy eto skazali."
[ Tapi, sudah delapan bulan sejak Anda mengatakan hal ini, apa tidak ada keputusan lain? ] Dia memaksa. Dari paksaan yang terdengar cukup menyebalkan itu, pria tambun tadi pun menghentikan langkahnya tiba-tiba dan menghadap ke arah si gadis.
"Uzhe skazal , yesli eto ne skazhet segodnya."
[ Sudah kukatakan, aku tidak bisa membicarakan hal itu sekarang. ]
"Kogda?!"
[ Lalu kapan?! ]
"Pozvonit yeshche odin denʹ."
[ Akan kutelepon ku lagi nanti. ] Si pria tambun menyudahi obrolan mereka dan kembali pergi dengan langkah cukup cepat. Hingga, si gadis ber -coat marun itu tidak sempat mengejarnya.
"Da— shh!"
Umpat gadis itu sambil mengayunkan tangannya yang sedang memegang sebuah berkas keliping yang mugkin ada sangkut pautnya dengan kejadian yang dilihat Dhanu sekarang.
Namun, Dhanu tidak langsung mendekati gadis itu, dia hanya masih melihat dan ketika gadis ber -coat marun itu berjalan pergi meninggalkan Peterhof Palace. Tanpa disadari, Dhanu pun melakukan hal yang sama, meninggalkan Peterhof Palace, mengikuti ke mana gadis itu melangkah.
Semakin jauh gadis itu pergi, semakin tersesatlah Dhanu. Pria ini tidak tahu dia berada di mana, St. Petersburg adalah tempat yang asing untuknya. Ini pertama kali dia datang ke kota itu tapi, sekarang di harus tersesat. Kendati demikian, Dhanu seolah tidak peduli, pria ini tetap berjalan mengikuti gadis ber -coat marun itu, bahkan ketika mereka berhenti di halte bus yang penuh dengan orang dengan tujuan yang sama, Dhanu juga tetap di sana, sesekali melirik ke arah dia yang tenang menunggu bus datang.
Beberapa menit mereka berdiri di halte, hingga bus yang mereka tunggu pun datang. Dhanu, bersama beberapa orang yang ada di halte itu langsung masuk mengikuti si gadis yang bahkan dia tidak tahu namanya. Gadis itu duduk di pojok, paling belakang dekat dengan jendela sebelah kanan, sementara Dhanu hanya berdiri di tengah-tengah, berpegangan pada penyangga sambil sesekali mencuri pandang.
"Astagfirullah ...." Gumam Dhanu ambil sesekali.mengusap wajahnya sambil menghela napas panjang.
Pria ini tahu bahwa melihat wanita yang bukan mahramnya adalah sesuatu yang tidak benar. Sebuah dosa. Tapi, sungguh, dia tidak bisa menahan dirinya untuk tidak melihat ke arah gadis berparas indah yang sejak dia masuk ke dalam bus, pandangan wanita itu terlihat sangat sendu. Mungkin percakapannya di Peterhof Palace tadi dengan pria tambun itu yang membuatnya seperti ini.
Entah berapa kali Dhanu melihat dia menghela napas, menarik dan membuangnya dengan lesu. Ketika gadis itu hendak menatap lurus ke depan, memalingkan pandangannya dari jendela, buru-buru Dhanu menyingkirkan pandangan darinya. Dia tidak mau, kalau gadis itu sampai sadar bahwa dia sejak tadi sedang diperhatikan oleh Dhanu, malah membuat masalah baru untuknya, untuk mereka.
Bus terus melaju dengan kecepatan stabil, beberapa kali berhenti di halte untuk menaik dan menurunkan orang-orang sesuai tujuan mereka masing-masing. Sementara Dhanu masih ada di sana bersama gadis itu, yang kembali menatap ke arah luar jendela.
Mobil terus melaju, hingga di halte bus yang entah ke berapa, gadis itu mulai berdiri dan turun setelah bus berhenti di halte tersebut. Melihat gadis itu turun, Dhanu pun ikut turun.
Dhanu melihat sekeliling halte bus itu, tempat yang benar-benar asing untuknya. Tempat yang dia sendiri bahkan tidak tahu dia berada di mana. Ponselnya berdering dalam saku tapi, Dhanu tidak sepat menganhkst panggilan itu karena saat dia tersadar, gadis itu sudah sangat jauh darinya. Buru-buru Dhanu berjalan, kembali mengikuti gadis ber -coat marun itu, melewati trotoar sepi perjalanan kaki, karena sekarang, mereka sudah cukup jauh dari kota.
Banyak sekali pohon-pohon besar di tepi jalan, Padang rhmput luas dan lebih sedikit kendaraan.
"Di mana aku ...?" Gumam Dhanu sambil terus menengok kanan dan kiri. Hanya saja, siapa yang bisa tanya? Sementara teman satu-satunya yang dia kenal di kota ini sudah dia tinggalkan di Peterhof Palace hanya demi memuaskan rasa ingin tahunya.
Di tempat yang sudah jarang gedung-gedung bertingkat itu, udara dingin semakin menyusup masuk. Coat yang dipakai oleh Dhanu sedikit tidak berguna karena udara yang semakin dingin. Mengingat waktu yang sudah semakin siang tapi langit semakin mendung. Seolah sudah tidak ada lagi waktu menunggu malam untuk memuntahkan butiran salju yang tertampung di sana.
Dengan langkah yang tetap ditahan, menjaga jarak sedikit lebih jauh adalah hal terbaik yang dia miliki, karena jika terlalu dekat, maka bukan tidak mungkin dia akan ketahuan.
Dhanu terus berjalan mengekor gadis itu. Dari jalan utama, mereka berbelok ke arah kanan, ke sebuah g**g sempit yang mungkin hanya muat untuk satu sepeda motor jika di Indonesia. Hanya saja, jalanan itu sedikit menanjak, berpaving batu segitu tiga, dan ada cukup banyak pot-pot bunga yang tertata cukup rapi di tiap sisi dinding.
Rumah-rumah yang sangat rapat tanpa cela itu pun terlihat sangat indah dengan cat berwarna-warni. Tanpa disadar, Dhanu pun tersenyum tak kala dia melihat bangunan rumah-rumah yang sangat rapat itu. Ketika tiba di ujung jalan dengan persimpangan jalan lain, Dhanu kebingungan karena di sana, dia kehilangan gadis ber -coat marun itu.
Sebal. Dhanu berdecak sambil mengepalkan tangannya dan memukul angin. Dia menyesal karena tidak berjalan cukup dekat dengan gadis itu tadi.
_