“Assalamualaikum,” sapa Handi sesaat setelah membuka pintu flat –nya sendiri.
Terdengar jawaban samar dari arah dalam, dari seorang wanita yang kemungkinan itu adalah Rahma, istrinya Handi.
“Ayo masuk, istriku pasti lagi sibuk sama si kecil.” Ajak Handi pada Dhanu untuk masuk ke dalam flat –nya.
“Umi, tamu spesial kita sudah datang ini, ayo sapa.” Suara Handi terdengar menggema di seluruh flat tersebut. Tak lama, ke luar seorang wanita dengan jilbabnya yang lebar tanpa cadar, berjalan bersama seorang balita cantik dalam gendongan. Dengan cepat, Handi meraih gadis kecil itu dari sang istri lalu menggendongnya sendiri.
“Kenalin, Dhan. Ini Rahma, istriku dan ini ... Aishaa, putri kecilku.” Handi memperkenalkan bayi mungil itu pada Dhanu sambil sedikit menimangnya.
“Halo Asihaa, aku paman Dhanu, bagaimana kalau paman gendong kamu?” ujar Dhanu dengan suara yang dia buat lucu, dan sepasang tangan yang meregang berharap disambut hal yang sama oleh balita cantik berusia sekitar empat bulanan tersebut.
Hanya saja, belum sempat dia meraih tangan balita cantik yang masih berbalut selimut tebal di tangan Handi, balita tersebut menjerit kemudian menangis sejadinya karena tidak kenal dengan Dhanu. Lagi pula, bukankah memang seperti itu anak-anak? Karena belum bisa bicara, mereka lantas menangis untuk mengekspresikan semua perasaan tidak suka dan tidak nyamannya mereka pada semua hal di sekitar. Juga terhadap sesuatu yang mereka anggap asing.
Melihat balita itu menangis, orang tuanya, bahkan Dhanu sekali pun tertawa karena merasa cukup terhibur karena ini baru pertama kali Aishaa menangis karena melihat orang asing di antara mereka.
Tentu saja, karena selain ini pertama kalinya balita itu melihat orang asing, ini juga kali pertama rumah mereka kedatangan tamu setelah mereka pindah ke St. Petersburg.
Karena tidak bisa menenangkan Aishaa yang menangis, akhirnya Handi kembali memberikan ayo mungil itu pada ibunya.
“Maaf, ini pertama kalinya dia kedatangan tamu, sedikit rewel.” Rahma mencoba menjelaskan. Namun, karena anak gadisnya tidak bisa berhenti menangis, akhirnya Rahma meminta izin untuk menyusui Aishaa di kamar dan menidurkannya.
“Baiklah, bawa dia pergi, aku rasa dia memang sang marah padaku karena membawa paman ganteng ini ke rumah.” Jawab Handi sambil tertawa, dan tawa itu dibalas senyuman oleh istrinya.
“Ayo, Dhan. Aku bikinkan kamu segelas teh panas, istriku juga baru buat roti gandum hangat, pasti sangat nikmat kalau kita makan sambil sedikit mengobrol di meja makan.” Ajak Handi sambil merangkul Dhanu dan menggiringnya ke dapur di mana ada meja yang penuh dengan makanan tersaji di sana.
“Astaga, Han. Ngapain kamu segala repot begini, aku jadi nggak enak sama kamu, karena malah ngerepotin kalian.”
“Mana ada kamu ngerepotin? Kita ini kawan lama, anggap aja ini rumah kamu.”
“Kalau ini rumah aku, artinya aku harus bayar sewanya kalau begitu?” tanya Dhanu sambil memicingkan mata ke arah Handi.
“Ide bagus.” Sahut Handi bersemangat. Tapi kemudian, semangatnya yang terlihat serius itu malah berakhir tawa yang menggelegar. “Haha ... bercanda, ayo kita duduk dan makan.”
Karena tidak ingin mengecewakan tuan rumah, akhirnya Dhanu pun menurut dan ikut duduk di salah satu kursi tepat di hadapan Handi. Sepertinya Rahma sudah mempersiapkan semua jamuan yang dibutuhkan olehnya untuk menyambut Dhanu. Terbukti bahwa di atas meja sudah ada cangkir dan teko air tahan panas berisi teh yang akan menghangatkan obrolan mereka.
Perlahan, Handi mulai menuangkan teh panas itu ke dalam cangkir dan menyajikannya pada Dhanu bersama sepiring kukis yang sudah tersaji sebelumnya.
“Jadi, kamu akan pulang ke Indonesia habis dari sini, benar?” Handi memulai percakapan.
“Hm. Aku sudah lama banget nggak pulang ke Indonesia jadi, aku pikir kalau aku pulang, seenggaknya aku bisa mengobati sedikit kerinduan ibu.”
“Ah, iya benar. Bagaimana kabar Ibu di kampung? Beliau sehat, Dhan?”
“Alhamdulillah, cuma sekarang ibu lebih sering menyuruhku untuk bekerja saja di Indonesia, sekalian cari jodoh, katanya." Tawa Dhanu terdengar renyah di akhir.
“Ya, kalau begitu cepat menikahlah ... lagian kamu sudah cukup umur untuk menikah, nggak baik juga kalau menunggu-nunggu soal pernikahan.”
“Ngomong sih kayaknya gampang, Han. Tapi kan, aku nggak ada calon.”
“Ah, masa kamu nggak ada calon satu pun? Waktu kuliah, kamu itu punya banyak sekali penggemar.”
“Ah, ngaco kamu. Mana ada orang macam begitu.”
“Lah, kamu nggak percaya? Beneran, loh. Dulu itu, bahkan senior tingkat tiga itu naksir sama kamu, dia cantik, sama kayak kamu, dari Tasikmalaya, cuma ... kamunya aja yang nggak peka.” Handi bersikukuh. Hanya saja, hal tersebut hanya ditanggapi senyum ringan oleh Dhanu.
“Aku mau keliling St. Petersburg hari ini, kamu bisa ajak aku jalan-jalan?” Dhanu memilih mengalihkan topik pembicaraan mereka ketimbang memperpanjang hal yang sebenarnya tidak dia sukai.
Ya, bukan karena Dhanu tidak ingin membahas tentang pernikahan atau masalah yang semua orang inginkan, seperti jodoh. Hanya saja, Dhanu merasa bahwa memang tidak ada alasan baginya untuk mendahului rencana Allah, karena jika pun dia ingin menikah cepat dengan wanita yang mungkin dia sukai, tapi saat Allah berkehendak lain, mungkin memang belum waktunya Dhanu membahas hal yang sama berulang-ulang. Seolah paham dengan apa yang sahabatnya inginkan, Handi juga memilih untuk tidak memperpanjang topik mereka satu itu dan mulai menjawab pertanyaan yang Dhanu ajukan.
“Hari ini kamu istirahat dulu, mungkin nanti sore kita pergi berkeliling ke Malaya Morskaya Street hingga ke Alexander Nevsky Square.” jawab Handi.
“Peterhof Palace? Emirtáž Musium? Sobornaya Mechet’?”
Kali ini Dhanu yang mengabsen. Merasa kalau Dhanu benar-benar ingin berkeliling St. Petersburg, Handi jadi tertawa. Tentu saja, siapa juga yang hanya akan menghabiskan satu hari untuk mengelilingi kota bersepuh itu.
“Kita akan ke sana, kita akan keliling Petersburg kalau kamu mau, dan dengan senang hati aku akan jadi guide kamu ke semua tempat yang ingin kamu lihat dan yang nggak ingin kamu lihat.”
“Wah, aku harus siapin kocek dalam kalau begini, servis dari tour guide –nya super ini, pasti. Spesial.”
“Tentunya.” Jawab Handi, kemudian mereka berdua kembali tertawa.
Dan malam itu, setelah menghabiskan makan malam mereka, Dhanu, Handi juga Rahma, mengobrol hingga larut. Kemudian, saat pagi menjelang, Handi langsung meminta Dhanu untuk bersiap agar mereka bisa berjalan-jalan berkeliling St. Petersburg seperti yang diinginkan oleh Dhanu semalam.
Dan pagi itu, setelah berpamitan dengan istrinya, Dhanu langsung digiring oleh Handi menuju ke halte bus yang terletak di seberang jalan besar yang ada di depan apartemen pria berkacamata dengan wajah khas Manado itu.
“Jadi, kita ke mana, nih?” tanya Dhanu seperti tidak sabar.
“Kita langsung ke Peterhof Palace.” Jawab Handi tak kalah bersemangat.
Tentu saja, bukan hanya karena tempat itu yang akan mereka kunjungi. Hari ini, Dhanu juga Handi benar-benar akan berkeliling kota bersepuh itu sepanjang hari.
Pagi itu, setelah ke luar dari flat, Dhanu juga Handi langsung berjalan ke halte bus yang akan membawa mereka ke Razvodnaya Ulitsa, 2, St Petersburg.
Meski harus menunggu cukup lama tapi, akhirnya bus yang mereka tunggu pun datang. Dengan cepat, Handi menarik Dhanu untuk mengambil bangku paling belakang dan duduk nyaman setelah membayar tiket. Namun, sesaat sebelum bus mulai berangkat, seorang wanita masuk tergesa-gesa dan langsung membayar tiket, meski tidak kebagian tempat untuk duduk, wanita berambut panjang dengan coat marun yang dia pakai, berdiri sambil berpegangan pada salah satu kursi yang ada di belakang jok sopir.
Pagi itu, bus memang cukup penuh karenanya, ada beberapa orang yang harus rela berdiri hingga beberapa blok. Begitu pun dengan wanita dengan coat marun yang bertabrakan dengan Dhanu kemarin.
Sama seperti kemarin, wanita berambut indah itu terlihat memeluk setumpuk buku di sebelah tangannya, dan salah satu dari buku-buku itu, adalah sebuah Al-Qur'an. Karena penasaran, Dhanu terus melihat ke arahnya, berharap wanita itu berbalik dan mereka bertatap muka, karena bagaimana pun, Dhanu hanya bisa melihat sepintas wajah cantik wanita itu kemarin. Namun, hingga bus berhenti dan Handi mengajak Dhanu untuk turun pun, wanita yang memakai coat marun itu, sama sekali tidak menengok ke arah belakang dan tetap fokus pada pemandangan di luar kaca jendela bus.
"Ayo, Dhan. Kita turun." Ajak Handi.
"Sudah sampai kita, Han?"
"Sudah, dong."
“Ini dia Dhan, Peterhof Palace.” Tunjuk Handi, saat mereka sudah datang di sebuah bangunan bernuansa emas dan biru pastel yang cantik.
Bukan hanya ukuran bangunannya yang sangat besar dan terlihat megah. Tapi juga perpaduan warna yang indah, membuat mata siapa pun merasa nyaman melihatnya. Bangunan dengan gaya arsitektur percampuran antara Baroque, Klasik, Gotik, dan Revival Baroque ini memiliki julukan Russian Versailes.
“Istana ini dibuat oleh Tsar Peter, sebagai respons langsung untuk Istana Versailes oleh Louise XIV dari Perancis. Di tahun 1709, bangunan ini difungsikan untuk kediaman pribadi Tsar Peter, artsitekturnya dibangun oleh Domenico Terezzini, dibantu Jean Baptiste dengan mengkolaborasi gaya Petrine Barouqe. Tamannya juga dibangun oleh Dominico Terezzini dengan kolaborasi sebelumnya.” Jelas Handi.
“Wah, pengetahuan banget ini.” Puji Dhanu.
Tentu saja, selain bangunannya yang terawat dan sangat indah, seluruh bangunan-bangunan di Rusia memang punya sejarahnya masing-masing, yang tidak bisa dilewatkan begitu saja.
Selain bangunannya yang terlihat sangat indah, pepohonan yang tertawa apik pun terlihat sangat indah meski sebagian sudah berubah warna mengikuti musim. Sama seperti taman yang mengelilingi Peterhof Palace ini, semuanya terawat sangat baik, hingga ada beberapa orang terlihat asik berfoto meski hanya dengan latar sebatang pohonnya saja.
Dan di sana, sekali lagi, Dhanu melihat wanita cantik dengan rambutnya yang tergerai indah juga coat marunnya yang memesona. Berjalan, dan terus bergerak masuk ke dalam bangunan megah yang sudah beralih fungsi sebagai musium tersebut.
_