"Bagaimana?"
Kata pertanyaan itu lah yang pertama kali terdengar saat Cinta dan Nadin masuk ke ruangan rawat Dante. Tentu saja ada senyuman yang terpancar dari kedua perempuan itu. Senyum yang bisa membuat Dante dan Reno merasa lega. Meski Reno hanya menjadi pamannya Zavon, tapi dia sangat menyayangi anak itu. Terlebih ketika mengetahui kasus ketidakadilan ini.
"Syukurlah. Kapan kalian memulainya?" Tanya Dante.
"Nadin bilang kalau dia perlu waktu untuk resign dari tempat kerjanya. Karena itu, mungkin dia akan mulai mengajar saat kamu pulang ke rumah. Biar aku juga bisa jaga kamu, sekaligus Zavon. Menurut kamu gimana?" Cinta memberikan pendapatnya mengenai jadwal pembelajaran Zavon yang akan dilakukan mungkin beberapa hari ke depan.
Baik Dante ataupun Reno setuju. "Boleh. Aku akan mencoba berdiskusi dengan dokter. Semoga aku bisa cepat pulang dan Zavon bisa belajar di rumah." Kata Dante. Dia menoleh ke arah putranya yang tampak seru bermain, mencium putranya sayang. "Love you, kesayangannya papa." Bisiknya.
"Tapi kan kaki mu masih lemas, Dante. Kamu mau terapi dari rumah atau bolak-balik?. Kamu kan masih sakit." Reno menanyakan langkah Dante selanjutnya.
Dante segera menyuruh Reno untuk diam dengan cara menaruh hari telunjuknya di depan bibir. "Jangan bahas kalau aku sakit lagi. Nanti Zavon bisa sedih. Aku sudah berjanji padanya untuk pulang segera. Besok atau lusa mungkin aku akan pulang." Katanya dengan nada yang rendah.
"Oh. Oke. Nanti aku juga coba bicara dengan doktermu, semoga bisa dikasih pulang segera."
"Oke, Reno. Terimakasih atas bantuanmu." Ujar Dante.
Mendapatkan kata terimakasih dari Dante, Reno merasakan hal yang berbeda. Seperti ada sesuatu yang begitu aneh terdengar di telinganya. "Idih! Tumben banget bilang terimakasih. Padahal biasanya selalu ngajak berantem terus."
"Tuh kan!. Itu lah alasan kenapa aku suka kesal kalau ngomong sama kamu, Reno!" Ujarnya pada Reno. Tangannya sudah terangkat hendak menoyor Reno, akan tetapi terhenti sebab disampingnya ada Zavon.
Tidak ada pilihan lain, selain mengadu pada Cinta. "Sayang, setelah ini jangan suruh aku buat bicara lagi sama pria yang ngeselin ini. Udah tahu sepupunya lagi sakit, malah diajak berantem terus. Bisa-bisa nanti aku mati mendadak karena darah tinggi kalau terus sama dia!"
"Papa gak boleh mati!" Seru Zavon, melepas HP yang ia gunakan untuk main game itu dan memeluk papanya erat. "Papa gak boleh mati. Nanti Zavon gak ada teman buat diajak main." Ujarnya lagi.
"Iya, sayang. Papa cuman bercanda aja tadi. Itu uncle Reno nakal sama papa, makanya papa bilang gitu."
Tidak mendengarkan ucapan papanya, Zavon beralih mengadu ke mamanya. "Mama, papa bilang mau mati. Jangan kasih izin papa, ma. Nanti Zavon gak ada teman main." Ucapnya mengadu dengan wajah yang begitu lucu.
Gemas dengan tingkah Zavon, Nadin angkat bicara. "Zavon, papa kamu tadi cuman ngelucu. Itu maksudnya papa kamu cuman bohong saja. Jadi, Zavon gak perlu khawatir atau nangis, ya?. Papa akan selalu ada untuk Zavon, kok. Papa akan selalu temani Zavon main. Coba aja tanya sama papa." Kata Nadin dengan nada yang lembut, selalu diperhatikan oleh Reno.
"Dia begitu lembut pada anak kecil." Pikir Reno.
"Papa, benar kan kata ibu guru Nadin kalau papa cuman bohongan aja?. Papa gak bakal ninggalin Zavon, kan?" Tanyanya.
"Iya, sayang." Jawab Zavon, memeluk putranya yang hampir menangis. Matanya sudah berlinang dengan mulut yang sudah cemberut.
Reno masih menatap Nadin, namun sepertinya Nadin malah lebih asik melihat kehangatan antara papa dan anak itu. Senyumnya yang manis membuat Reno ikutan tersenyum. "Dia benar-benar berbeda. Aku yang sempat berpikir tidak bisa menghilangkan bayangan Cinta dari pikiranku, malah sekarang dengan cepat bisa melupakannya hanya karena Nadin. Sayangnya, sepertinya sangat sulit untuk bisa aku gapai. Dia seakan tak tersentuh, ada hal lain yang ingin dia kejar. Meski dia tahu aku menyukainya, tapi dia tetap tidak terpengaruh sedikitpun. Atau apa karena usahaku yang belum keras ya?" Batin Reno.
"Okedeh. Karena urusanku dan Nadin di sini sudah selesai, sepertinya kami perlu pamit dulu. Takutnya nanti kalau kita kelamaan di sini malah akan merusak kebahagiaan kalian." Kata Reno. Dia mendekati Nadin, "kalau tadi Cinta sudah mengatakan sesuatu sama kamu, aku juga ingin mengatakan sesuatu. Kamu mau, kan?"
"Boleh."
***
Reno mengajak Nadin ke ruangannya di rumah sakit ini. Sebelumnya ia sempat mengajak Nadin, tapi gagal karena cara yang Reno lakukan itu membuat Nadin tidak nyaman. Kali ini, berhasil.
"Tunggu sebentar. Aku ambilkan minuman untukmu." Kata Reno, mempersilahkan Nadin untuk duduk di salah satu sofa yang ada di ruangannya.
Tapi, bukannya duduk di salah satu sofa, Nadin malah lebih memilih untuk menelisik setiap sudut yang ada di ruangan itu. Reno melihatnya, ia hanya tersenyum saja.
"Apa semua buku yang ada di sini sudah kau baca?" Tanya Nadin. Dia mengambil satu buku, membukanya sebentar lalu kembali menutupnya. "Semuanya tentang kesehatan." Celetuknya.
"Tentu saja, Nadin. Aku kan dokter, tentu saja aku mempelajari tentang kesehatan. Tentu lain halnya dengan kamu yang sebagai guru." Reno memberikan sebuah cangkir teh melati kepada Nadin. "Aku hanya punya teh, tidak ada kopi. Atau kamu mau kopi?"
"Tidak perlu, Reno. Ini saja aku sudah sangat berterimakasih. Terimakasih ya."
"Sama-sama."
Reno mengambil buku yang dipegang oleh Nadin dan menaruhnya lagi. "Jangan baca, nanti kamu pusing. Ini bukan bacaan yang pas untukmu." Katanya sembari tertawa tipis.
"Padahal tidak apa-apa kalau aku baca." Balas Nadin, ikut tertawa tipis. Ia mulai menyesap teh melati yang sudah Reno buat, membuatnya cukup terkejut. "Aku pikir seorang dokter tidak bisa membuat teh."
"Astaga... Aku juga manusia. Masa iya sekedar membuat teh saja tidak bisa, tapi membedah perut orang sangat mahir. Aku hanya tidak bisa melakukan satu hal, Nadin."
"Apa itu?"
"Meluluhkan hatimu."
***
"Apa yang mau kamu bicarakan, Reno?" Tanya Nadin, mencoba untuk mengalihkan kecanggungan dari sebelumnya.
"Ini tentang kita berdua." Jawab Reno langsung pada intinya.
"Seberapa penting ini bagimu?. Kenapa kamu terus ingin membahasnya akhir-akhir ini. Kita ini baru bertemu, Reno. Kita belum terlalu mengenal satu sama lain."
"Karena itu aku mau membicarakannya sama kamu. Beri aku ruang untuk mendekatimu."