39. Amarah Besar Leo

1066 Kata
Alice sengaja mematikan ponsel setelah membalas pesan Vsnis karena tidak ingin Leo menghubunginya. Gadis itu ingin menebus rasa bersalah dengan membantu Vania secara diam-diam. Makanya satu-satunya cara adalah membuat ponselnya mati. Alasan itu nanti akan dijadikan alasan kuat apabila Leo menghubungi untuk meminta penjelasan. Sekarang Alice sedang berada di perpustakaan bersama Dennis dan Arthur. Dia melirik sekilas ke arah dua pemuda yang sangat pendiam saat ini. Mereka sedang menunggu kedatangan Vania yang masih berada di kamar mandi. Setelah Vania masuk, mereka bertiga mulai mengumpulkan bahan-bahan bagian dari kesepakatan kelompok. "Alice akan menggabung tugas dirumahku," kata Vania duduk di samping Alice. Kedua pria itu saling pandang satu sama lain, lalu bangkit bersamaan. "Kalau begitu, kami pergi dulu," panit Arthur merangkul bahu Dennis. Sejak kapan mereka akur? Kedua gadis itu hanya bisa bertanya di dalam hati, sambil melihat punggung yang semakin jauh. Arthur yang sedang merangkul Dennis, saat sampai di luar perpustakaan pun melepas begitu saja. "Kau berubah," kata Arthur menebak. "Aku hanya ingin berpikir saja." Dennis berjalan mendahului Arthur. "Karena apa yang dikatakan kakak Vania benar adanya." Ah, Arthur tertegun mendengar perkataan Dennis. Seorang pria malam sepertinya mau bertobat. Sangat tidak masuk akal. "Aku rasa, dia kerasukan jin," gumam Arthur. Pria itu menatap layar ponsel karena ada pesan masuk. "Sangat aneh, kenapa dia bertanya seperti itu?" Karena tugas itu, Arthur pun menjawab pesan sejujur-jujurnya. Begitu sampai pada seseorang, wajah gelap pun terukir jelas. Raya yang jadi penonton sambil memilah berkas merasa tercekik. "Sialan!" geram Leo tertahan. Ponsel lama rusak, jadi pria itu ambil ponsel yang lain. Memang orang kaya. Leo marah karena Vania berbohong padanya. Gadis itu harus diberi pelajaran agar bisa patuh. Semakin dia mengelak, maka ia akan menjeratnya. "Raya! Keluar…!" Raya keluar ruangan dengan cepat sampai tidak sengaja menabrak Ben yang sedang berjalan. Melihat dia berkeringat dingin, pria tau itu tahu kalau mood Leo sangat buruk. "Beristirahatlah…, kau cukup frustasi," kata Ben sambil mengajak orang asing. Dia cukup sangat di mata Raya karena banyak tato di sana sini. Wajah itu pun persis seperti penjahat kelas kakap. Tidak mau berurusan dengan kepribadian Leo, Raya memilih pergi untuk mengumpulkan energinya kembali. Sementara Ben mengetuk pintu, masuk dengan tenang. "Saya sudah membawa orang untuk rencana tuan." Leo balik badang, menatap orang yang berdiri di samping Ben. Tatapan seperti ular dan singa itu membuat pria tersebut merinding, tapi dia tetap profesional berdiri tegak. "Cukup memuaskan," kata Leo sambil berjalan mendekat. Mereka berdua pun saling berhadapan satu sama lain. Pria bermarga Zang itu mengamati orang yang ada di depannya. "Kau siap kerja denganku," ucap Leo dengan dingin. "Siap, Tuan. Apapun perintahnya, akan saya lakukan." Leo balik badan, mengambil foto Vania yang ada di atas meja. "Tapi, jangan sampai kau menyukai targetmu." Si pria bertato itu mengangguk pelan. Namun bukan berarti Leo percaya padanya. "Ini dia orangnya," tunjuk Leo kepada pria itu. "Buat dia takut. Kau harus menguntit nya seperti stalker. Jika dia lapor polisi, jangan sampai tertangkap." Pria itu menerima foto Vania melihat wajah cantik gadis tersebut, ada perasaan bersalah datang. Sebenarnya dia bukan penjahat atau pun preman. Dia hanyalah orang biasa yang butuh uang untuk menghidupi keluarga. Terlebih lagi anaknya masuk ke rumah sakit. "Saya akan melakukan nya, Tuan," kata pria itu mantap. Leo mengangguk, "Ben, berikan berkas Vania untuk dia!" Pria itu mengusir mereka berdua dengan menggunakan tangan, seolah malas berurusan atau terlibat dengan orang yang dibawa Ben. "Apakah pekerjaan ini cukup sulit untukmu?" tanya Ben setelah keluar ruangan. "Saya berterimakasih kepada Anda telah memberikan pekerjaan ini," ujar pria itu dengan sopan. Ben bertemu dengan pria yang ada disampingnya karena rekomendasi dari salah satu anak buah kepercayaan. Pria tua itu tak ingin terjadi sesuatu hal buruk terhadap Vania. "Lakukan seperlunya. Jangan membuat nona terluka. Satu hal lagi, aku harap kau melaporkan setiap kejadian yang ada disekitarnya," kata Ben dengan wajah tegas. "Sekarang, kau harus ikut aku ke ruangan sebelah, Willy." "Baik, Tuan." Mereka berdua pergi menuju ke ruangan sebelah untuk mengambil berkas mengenai Vania. Karena mengetahui target adalah dasar dari penguntit. "Aku harap kau bekerja dengan baik." Ben menyerahkan berkas itu. "Mulailah bekerja malam ini." Willy mengangguk, pamit undur diri setelah mendapatkan berkas dan sejumlah uang. Ben yakin bahwa Vania akan merasa ketakutan dengan adanya dia yang selalu mengintai. "Aku khawatir, tapi juga tak bisa mengabaikan keinginan tuan," ujar Ben menghela nafas panjang. Sudah banyak kejadian berat yang dilalui hari ini. Terlebih laglag8a, para karyawan yang tidak bersalah juga terkena imbasnya. Mereka pulang dengan wajah sembab karena di PHK dari perusahaan. Ben melihat para karyawan pulang satu-persatu melalui jendela kaca. Melihat mereka menangis, perasaan pria itu kurang nyaman. Lantas ia keluar ruangan untuk menemui Leo lagi. "Tuan…," panggil Ben dari luar pintu. Tidak ada jawaban dari tuannya. Maka dari itu ia masuk begitu saja. Leo sedang berdiri di depan jendela sambil menikmati anggur di siang hari. Beberapa berkas berserakan. Ada benda pecah, bekas dilempar ke lantai. Leo yang tidak bisa konsentrasi akan melakukan hal itu untuk melampiaskan amarahnya. Dulu, dia memiliki kepribadian baik, tapi semenjak sepuluh tahun lalu, hatinya sudah mati rasa. "Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" Mau tidak mau, Ben mengurungkan niat bicara mengenai pemecatan karyawan. Ben, apakah aku kurang menawan? Kenapa Vania yang jelas-jelas mulai menyukaiku, mengingkari janjinya." Tatapan Leo sendu mengingat kesedihan saat Vania membuatnya menunggu. Padahal, dari pagi ia sudah menyiapkan segalanya, memasak untuknya. Namun, semua yang dilakukan sia-sia. Hati gadis itu dari awal tidak tergugah sama sekali. "Kali ini, aku tidak akan membiarkan dia bertindak sesuka hati, Ben." Kilatan mata biru tajam sangat jelas di mata Ben. Kali ini, pria tua itu tak bisa berkomentar apa-apa, lebih memilih mendengarkan keluh kesah kehidupan cinta Leo. "Aku benar-benar tidak ingin kehilangan dia. Aku bisa gila, Ben," kata Leo menoleh ke arah Ben. Mata itu satu, sedih bercampur marah. Meskipun kecewa, dia tetap ingin memiliki gadis itu. "Apapun itu, dia harus jadi milikku!" geram Leo tertahan, meremas gelas anggur hingga pecah. Ben langsung bertindak mengobatinya. Tapi Leo malah tertawa saat melihat darah segar mengalir jatuh ke lantai. Suara tawa itu menggelegar, membuat Raya yang ada di ruangan merinding. Tadinya ia ingin masuk karena ada berkas yang harus diurus. Sekarang tidak jadi karena takut setengah mati. "Aku akan beristirahat sesuai perintah Ben." Tidak mau stres, Raya berjalan menuju ke ruangan istirahat. Selama perjalan, ia mengingat kejadian demi kejadian bekerja dibawah Leo. Fakta mengenai gadis pujaan hati yang bernama Vania, Raya sangat tahu betul. "Aku yakin hanya Nona Vania yang bisa mengontrol iblis itu," gumamnya dengan lirih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN