Lega rasanya melakukan pekerjaan tanpa halangan pihak kedua. Sangat menyenangkan dan juga tenang.
Vania sudah berada di kafe bersama dengan Alice. Mereka melayani pengunjung kafe seperti biasa.
"Apa kau tak merasa kalau Arthur dan Dennis terlihat pendiam, Van?"
"Siapa yang peduli? Aku merasa tak dirugikan."
Vania mengintip ponselnya. Tidak ada panggilan dari Leo. Artinya dia sudah jera dan tak akan mengusiknya lagi.
"Menurutku, mereka sangat aneh," kata Alice lagi.
Vania mendengus kesal, "Jangan membahas dua orang menyebalkan itu."
"Bagaimana kalau membahas tetanggamu," pancing Alice blak-blakan.
"Aku mengira dia jera," kata Vania senang. "Dan tetanggaku itu tidak akan mengusik ketenangan hidup indah seorang Vania."
Alice tampak ragu meskipun itu membantu dari belakang. Dirinya tidak salah seratus persen karena hanya memberi tahu jalan tersembunyi tanpa sepengetahuan Leo.
"Ya sudahlah…, jangan membahas dia," ujar Alice sambil meracik kopi pesanan customer.
Saat hendak mengambil bali, ada hembusan angin menerpa ruangan. Seorang pria memakai masker dan juga topi berjalan menuju ke tempat pemesanan.
"Apa yang ingin anda pesan?" tanya Vania ramah. Pria itu menatapnya penuh selidik, menunjuk minuman dengan cepat.
Alice pun segera membuat minuman yang di maksud pelanggan.
"Terimakasih atas kunjungannya!" kata Vania dengan ramah. Pelanggan itu menghentikan langkahnya, lalu menoleh sebentar.
Alice merasa tidak ada yang beres dengannya, begitu juga Vania.
"Dia sangat aneh," ujar Vania mengawali pembicaraan mereka.
"Kalau dipikir, dia tak bicara sama sekali."
Seorang pelanggan yang tak mau bicara merupakan orang mencurigakan.
"Jangan-jangan…," tebak Alice menutup mulutnya sendiri.
"Kau terlalu berpikir negatif." Vania menaruh apron miliknya. "Aku akan pulang lebih awal karena menyatukan tugas kita yang dikumpulkan besok.
"Oke…, pulanglah…! Hati-hati dijalan!"
Vania tersenyum, menyambar tas miliknya. Hari masih senja, tapi dia sudah pulang.
"Kalau lewat jalan biasanya, pasti berpapasan dengan tetangga."
Jalan satu-satunya lewat jalan memutar, tapi jalan itu cukup sepi dan juga tak banyak orang lewat.
"Aku tak punya pilihan lain," kata Vania sambil melangkahkan kakinya. Gadis itu bersenandung ria, sampai tidak menyadari kalau ada orang yang mengikutinya.
Karena merasa aneh, Vania menghentikan langkah kaki. Ia memutuskan untuk menoleh ke belakang.
"Tidak ada apa-apa, mungkin hanya imajinasiku saja." Vania melanjutkan jalannya kembali.
Untuk kedua kalinya, ia merasa aneh lagi. Sontak langsung menoleh, dan tak ada orang sama sekali.
"Keluar!" teriak Vania cukup keras. Lama menunggu, tak ada orang yang datang. Apakah mungkin hanya imajinasinya saja. Gadis itu pun berlari cukup kencang, tanpa memperdulikan apapun.
"Terlalu nyata. Aku seperti diikuti!" Nafas Vania memburu saat sampai di ujung gang. Ada kelegaan di wajahnya ketika melihat ada orang melewati jalan yang sama.
"Hilangkan perasaan tak nyaman ini," gumam Vania mengambil nafas panjang. Dia mencoba untuk menenangkan diri, bahwa apa yang dirasakan bukanlah kenyataan.
"Lebih baik aku segera pulang." Karena perasaan Vania masih gelisah, ia berjalan cukup cepat menuju ke rumahnya.
"Sebentar lagi sampai," ujar gadis itu sangat gelisah.
Saat tangan menyentuh gagang pintu, seseorang menepuknya dari belakang. Vania pun tersentak kaget, langsung jongkok di tanah menutup kedua telinganya.
"Apa yang kau lakukan?" tanya seseorang yang suaranya amat dikenal oleh Vania. Gadis itu mendongak masih dalam kondisi wajah pucat pasi.
"Raul…!" Panggil Vania sambil bangkit, "Cepat buka pintunya!"
Raul melongo, tapi tangannya tetap bergerak membuka handle pintu. Begitu pintu terbuka, Vania menyerobot masuk ke dalam rumah begitu saja.
"Apa yang terjadi dengannya?" tanya Raul menoleh ke segala arah. Tak ada apapun, namun Vania seperti ketakutan. Benar-benar ketakutan yang memiliki alasan.
"Raul, kunci pintunya!" Vania duduk di sofa untuk istirahat, menetralkan laju jantungnya yang terus menggila.
"Aku sudah mengunci sebelum kau memberi perintah," kata Raul menaruh sepatu di rak. "Kenapa wajahmu ketakutan?"
"Ini gila!" pekik Vania meremas rambutnya sendiri. "Aku merasa di ikuti oleh seseorang. Tapi saat aku melihat ke belakang untuk memeriksa, tak ada orang sama sekali." Gadis itu memeluk tubuhnya sendiri.
Raul pun paham, lalu berjalan ke arah jendela untuk melihat sekitar rumah. Memang benar, tak ada orang sama sekali. Tapi tidak mungkin juga Vania parno? Kemungkinan apa yang dia rasakan adalah kebenarannya.
"Untuk keselamatanmu, kau akan aku antar ke kampus mulai besok," ujar Raul final.
"Tidak perlu! Aku akan berangkat dengan Alice seperti biasa."
Para gadis bisa histeris kalau melihat Raul. Mereka akan menjadi liar melihat sosok kakaknya.
"Oke…, oke. Aku tak akan mengusik ketenangan kalian berdua."
Raul mendengus kesal, pergi meninggalkan Vania yang masih duduk di kursi. Haruskah dia mengikuti apa yang diperintahkan Raul. Bisa jadi semua yang dirasakan hanya ilusi.
"Selama ini aku baik-baik saja. Pasti besok juga tak akan ada yang terjadi."
Gadis itu tak menyadari kalau yang dirasakan adalah sebuah fakta. Seseorang telah mengikutinya dari kafe hingga ke rumah. Dia adalah Willy, suruhan Ben atas perintah Leo. Pekerjaan penguntit yang dilakukan memang hanya pekerjaan mudah, tapi resikonya besar.
"Hanya demi anakku," kata Willy keluar dari pohon besar, mengamati rumah Vania. Bayangan gadis yang sedang berada di ruang tamu ditatap tanpa henti.
Pertama kali Willy melihat potret Vania, ada perasaan bersalah muncul. Seorang gadis cantik yang tampak polos disukai oleh pria yang merupakan tuan dari Tuan Ben.
"Iblis yang mendapatkan malaikat, sungguh tidak masuk akal." Willy bergegas pergi meninggalkan tempat itu karena pekerjaannya telah usai. Seperti perintah Ben, dia langsung menghubungi pria tua itu dan memberitahu situasi yang ada.
"Katakan padaku, Ben!" titah Leo sambil menatap ke arah jalan raya.
"Nona Vania tampak ketakutan saat Willy mengikutinya."
"Jadi, dia sudah pulang ke rumah," tebak Leo di angguki oleh Ben.
Oh, sepertinya memang benar, sehari tak akan cukup untuk membuat Vania benar-benar ketakutan.
"Biarkan dia merasakan apa itu rasa takut dan bergantung padaku." Seringaian di wajahnya terlihat jelas. Ben melirik ke kaca depan, sambil mengambil nafas beberapa kali.
Akhirnya terjadi juga, cara licik untuk mendapatkan seorang malaikat seperti Vania.
Karena dengan kelembutan, kesabaran tidak mempan, maka cara yang dilakukan Leo adalah cara seperti itu.
Jika cara licik tak mempan, cara apa yang dilakukan pria itu? Ben tidak bisa membayangkan sesuatu di masa depan yang membuat hidup Leo jungkir balik hanya karena seorang gadis.
"Ben…, laju mobilnya dengan cepat!"
Leo tak sabar ingin melihat Vania dalam kegelisahannya. Itu semua adalah harga yang harus dibayar karena berani memberi harapan palsu.
Sampai di rumah, Leo keluar mobil. Vania yang berada di kamar membuka jendela kaca. Kedua mata mereka bertemu satu sama lain.
Leo tampak dingin dan acuh, seolah tidak terjadi apa-apa. Di saat bersamaan, Vania merasa merinding karena tatap tak biasa itu.
"Apakah dia marah padaku? Jiah…, aku tak punya urusan dengannya." Vania menutup jendela dengan kasar, mengabaikan Leo yang masih berdiri di depan rumahnya.
"Lihat saja, kau akan memohon padaku, Vania," kata Leo tersenyum tipis. Senyum itu membuat semua orang yang melihatnya akan merasa takut luar biasa.
Itulah sosok Leo, semua yang diinginkan harus didapat, termasuk manusia sekalipun. Dia iblis, iblis berkedok manusia. Bukan tanpa alasan melakukan hal itu, tapi karena hatinya telah mati.