Arthur mondar-mandir gelisah tidak karuan ketika sampai di halaman depan kampus, dekat parkiran VVIP yang cukup sunyi.
Tubuh dan tangannya gemetar bersamaan dengan mobil mewah datang ke arahnya. Mobil itu berhenti tepat di samping Arthur.
Seorang pria yang memakai kacamata hitam pun keluar dari mobil. Arthur pun mendekati dengan ragu-ragu.
"Tuan Zang…," panggil Arthur dengan wajah menunduk.
"Bocah tengil…, ternyata kau berani juga."
Sebenarnya apa salah dirinya? Arthur masih kebingungan dan tidak tahu sama sekali. Sehari ini adalah waktu yang sulit, di samping usaha sang ayah bangkrut, ia bertemu dengan orang yang berkuasa.
"Saya…," jawab Arthur dengan ragu, sedikit mendongak diiringi wajah terkejut. Siapa mengira kalau orang yang ditemui di pemakaman adalah Leo Zang?
"Nyalimu besar juga."
Aura mengintimidasi Leo sungguh membuat Arthur bak patung batu. Bergerak pun sulit apalagi bicara.
"Masih sehari, kau sudah begitu emosian."
Leo melipat kedua tangannya dengan santai, menatap penuh selidik dari Arthur.
"Aku akan bekerjasama lagi dengan hotel ayahmu, tapi ada syaratnya."
Arthur mendongak dengan pelan, memberanikan diri untuk menatap Leo. Apakah baginya hotel bintang lima itu seperti permainan?
"Apa maksud anda, Tuan?"
"Gampang, jangan mendekati Vania."
Bola mata Arthur melotot saat mendengar nama Vania.
"Jika kau terus bertindak, maka ayahmu akan dipenjara. Kau tahu artinya, bukan?"
Melawan Leo pun tidak ada gunanya karena dia berkuasa. Raja bisnis yang terkenal dimana-mana, bahkan sepak terjangnya mendunia.
"Kenapa harus Vania?"
"Kau tak perlu tahu itu. Pikirkan baik-baik dalam waktu sepuluh menit. Jika melebihi waktu itu, ayahmu akan diseret ke kantor polisi."
Leo tak ingin bicara terlalu lama kepada Arthur karena pria muda itu sangat mudah di atasi. Yang jadi pikiran adalah si kumbang yang baru saja masuk ke kampus ini.
Mobil Leo pun keluar dari parkiran dengan pelan, lalu berhenti sebentar karena melihat Vania sedang berjalan dengan Alice. Tentu Dennis berada di sekitarnya juga.
"Kumbang itu! Aku ingin membunuhnya!" geram Leo tertahan memukul stang kemudi berulang kali. Sayangnya niat itu tak bisa dilakukan sekarang. Terlebih lagi, dunia bisnis milik ayah Dennis sama hebatnya dengan dia.
"Aku tak akan menyerah begitu saja."
Leo mengirim pesan kepada seseorang. Tak lama kemudian, ada dua pesan masuk secara bersamaan.
"Halo…, aku menambah satu syarat lagi, awasi semua pria yang ada di dekatnya. Jangan lupa, buang jauh-jauh perasaanmu itu."
Arthur langsung jongkok setelah mendapatkan perintah dari Leo. Ingin rasanya ia mengumpat, tapi tak bisa karena martabatnya.
"Kenapa kau jatuh di dalam pelukan iblis, Vania?"
Arthur berjalan perlahan menuju ke kelasnya. Ia melewati satu mata pelajaran. Langkah kaki berhenti saat melihat Vania dan Alice sedang bersenda gurau. Tidak hanya itu, Dennis ikut bersama mereka.
Mata Arthur beralih posisi pada mobil milik. Leo. Ia yakin kalau iblis itu tengah menatap mangsanya untuk mengukir rencana demi rencana di masa depan.
"Aku tak boleh terlibat dengan mereka."
Sudah diputuskan, Arthur akan mundur dan lebih berhati-hati di masa depan, membuang jauh-jauh perasaan untuk Vania.
Sayang sekali, dia mudah menyerah hanya karena pangkat dan tahta. Ibarat piramida, dia tak mau berada di kelas bawah dalam waktu sekejap.
Mobil Leo pun pergi setelah menatap Vania dari jauh. Ia akan kembali ke kantor karena rapat mendadak, rapat antara dia dan ayah Dennis, Tuan Durent.
Sampai di kantor, Ben segera membuka pintu mobil itu.
"Tuan Durent menunggu anda di ruang rapat."
"Biarkan dia menunggu, karena aku ingin menyita waktunya."
Padahal Ben sudah tergopoh-gopoh karena Leo pergi tanpa kabar. Terlebih lagi, Tuan Durent adalah mitra bisnis bertahun-tahun Grup Zang.
"Tapi, Tuan," sela Ben memberanikan diri.
Langkah kaki Leo berhenti seketika, "Aku rasa telingamu tuli, Ben."
Perkataan itu penuh dengan tekanan, membuat Ben gemetar ketakutan.
"Maafkan saya, Tuan."
"Cih!" Leo pun melenggang pergi begitu saja, meninggalkan Ben dengan wajah kesalnya.
"Pasti ada yang membuat tuan kesal."
Mau tak mau, Ben kembali ke ruang rapat. Di dalam ruangan itu, Tuan Durent tampak kesal.
"Apakah tuanmu benar-benar belum kembali? Kenapa lama sekali?" tanya asisten dari Tuan Durent.
"Silahkan tunggu sebentar lagi. Saya akan menghubungi tuan lagi," dusta Ben dengan tenang.
Pria tua itu pun bergegas menuju ke ruangan Leo. Si tuannya malah bersantai ria sambil. Menghisap cerutu miliknya.
"Tuan…," panggil Ben sedikit enggan.
"Lima menit lagi. Aku masih lelah, Ben."
Leo berpikir mungkin terlalu kasar terhadap Ben yang seperti ayahnya sendiri. Pria tua itu sudah begitu ringkih, malah dibentak.
"Oke…, aku ke sana."
Cerutu itu dimatikan, lalu segera pergi ke ruang rapat. Begitu pintu terbuka, Tuan Durent memandangnya kesal.
"Apakah kau tak tahu waktuku sangat berharga, Tuan Zang?"
Suasana ruangan tampak tegang karena dua kubu yang saling berbenturan.
Keluarga Durent sangat kaya, karena memiliki tambang emas di mana-mana. Tidak hanya itu, dia juga seorang rektor di Universitas Vania berada.
Sementara itu, Vania dan Alice sudah berada di kafe. Mereka berdua terlihat kesal karena Dennis terus mengikuti tiada henti.
"Bagaimana cara mengatasinya? Mana bos berada di luar kota lagi."
"Aku risih dia terus menatap ke arah sini, Alice. Punggungku seperti berlubang."
"Abaikan saja dia."
Alice dan Vania memilih tidak mengurusi Dennis yang punya banyak waktu luang. Sampai akhirnya ada seorang malaikat datang membantu.
"Vania…!" panggil Raul sambil menenteng belanjaan. Tadi dia sedang membeli bahan dapur, sekaligus mampir ke kafe tempat Vania bekerja.
"Ada bujang tua," bisik Vania kepada Alice. Kedua gadis itu saling mengangguk satu sama lain.
"Ada apa?" tanya Raul mendekati mereka. "Haiya…, kau semakin cantik," puji pria itu dengan tulus.
Seperti biasa, Raul mengelus rambut Vania. Itu dilakukan setiap hari. Karena pagi tadi dia sedang berada di kamar mandi, pria itu tak sempat melakukan kegiatan rutinnya.
"Kakak Raul…," panggil Vania dengan manja. Tangannya meraih lengan Raul tanpa ragu sambil bersikap lemah lembut. Alice pun tersenyum lalu menatap Dennis yang terlihat marah.
"Berhasil," gumam Alice. "Lanjutkan saja."
"Apa yang." Hap, mulut Raul langsung dibungkam oleh Vania.
"Ada pria menyebalkan terus berada di sekitar kami. Kau harus melakukan akting dengan baik, Raul," bisik Vania.
Raul penasaran dengan pria yang dimaksud. Ia ingin melihat ke belakang, tapi dicegah oleh Alice.
"Oke…, tapi nanti kau yang memasak."
"Siapa takut," ucap Vania dengan penuh semangat.
Akhirnya sandiwara mereka bertiga pun dimulai. Tujuannya adalah untuk mengusir Dennis dari tempat itu.
Seperti pasangan pada umumnya, Raul dan Vania sedang bermesraan tiada henti, seolah dunia milik mereka berdua.
"Siapa sebenarnya pria itu?" geram Dennis tertahan. Amarahnya sudah mencapai puncak. Kenapa gadis incaran Arthur disukai banyak orang?
Dennis semakin penasaran dibuatnya, sehingga tak akan mudah menyerah begitu saja.
"Mataku sangat sakit," kesal Dennis berusaha mengabaikan. Tapi dia juga punya rencana untuk menghadapi mereka pasangan itu.
"Sebelum menikah, dia masih bisa menjadi milikku."
Mimpi saja, labelnya sudah tertulis milik Leo.