10. Menemui Vania

1087 Kata
Suasana kafe yang sedikit sepi membuat Dennis mengetahui pembicaraan Vania dan Raul. Mereka saling memadu kasih, layaknya pasangan harmonis. Raul yang dewasa dan tampan sungguh membuat pria lain iri. Auranya juga tak kalah dari pengusaha muda lainnya. Wajar saja, dia adalah keturunan Anderson yang bisnisnya juga pernah mencapai puncak kejayaan. Namun bisnis mereka merosot karena ulah Tetua Zang. Dalam. Waktu singkat, seluruh bisnis Anderson lumpuh total dan bangkrut. "Raul…, berusahalah lebih keras lagi," ujar Vania sambil mencubit lengan pria itu. Sialan, batin Raul meringis kesakitan. Akhirnya Raul mengecup pipi Vania dengan lembut. Sementara Dennis syok melihatnya. Ending, dia segera angkat kaki dari kafe itu. "Dia pergi!" sorak Alice penuh semangat. Vania dan Alice bertos ria karena berhasil mengusir Dennis. "Cubitanmu sangat sakit." Raul mengusap lengannya dengan lembut agar rasa panasnya hilang. "Maafkan aku. Karena kau kurang agresif, Raul." Vania malah tertawa sambil terus mengejek Raul tiada henti, bahkan mengatai bujang tua. "Aku pulang!" kata Raul dengan sewot. Dia terlihat marah membuat Vania terdiam. "Sepertinya aku keterlaluan, Alice," kata Vania merasa bersalah. "Sudahlah…, minta maaf saja kalau sudah sampai rumah." Vania mengangguk dengan lesu, lalu segera menghampiri pelanggan yang baru masuk kafe. Setelah dia benar-benar sibuk, Alice segera memberikan laporan kepada Leo. Notif pesan pun muncul di layar ponsel milik Leo saat rapat berlangsung. "Sepertinya, kita akhiri pembicaraan ini," kata Leo sambil menyerahkan berkas. "Aku setuju dengan kerja sama kita. Tapi jangan sampai kalian menyinggungku. Aku rasa, menambah klausa kontrak sangat diperlukan." Pria itu meninggalkan ruang rapat begitu saja. Sisanya akan di urus Ben. Melihat tingkah arogan dari Leo, Tuan Durent sudah naik pitam. "Jika bukan karena Tetua Zang, bocah busuk itu tak akan berdiri di sini!" "Kendalikan emosi anda, Tuan. Kerja sama ini sangat penting," kata asistennya. Ben menghela nafas panjang, "Saya harap, Tuan bisa bersabar karena anda bijak." Ben undur diri, meminta salah satu bawahannya untuk mengantar mereka berdua keluar kantor. Setelah mereka benar-benar pergi, Ben bergegas menuju ke ruangan Leo. "Tuan…, jika anda seperti ini terus bisnis akan hancur." Leo tak peduli karena asyik dengan ponselnya. Pria itu seolah menganggap Ben tidak ada. "Tuan…, haruskan saya meminta Nona Vania bekerja di sini?" Kegiatan Leo pun berhenti, "Meskipun aku kehilangan Durent, aku tak akan jatuh." Durent menang bukan lawan yang mudah, tapi bukan berarti Leo tak bisa menaklukkannya, justru mereka adalah tantangan dalam hidup pria itu. "Kirim data semua keluarga Durent, termasuk saudara jauhnya. Oh iya…, jangan lupa jalin kontrak kembali dengan hotel milik Petrucci." "Baik, Tuan. Saya undur diri sekarang." Leo melirik sekilas, lalu membuka ponselnya kembali. Banyak foto Vania yang dikirim Alice kepadanya. "Dia sangat cantik. Haruskah aku datang berkunjung?" Leo bangkit dari kursinya, berjalan mondar-mandir tidak karuan. Perasan gugup pun didera. Anehnya, dia juga berkeringat dingin. "Huh, aku benar-benar kacau." Leo tak tahan, langsung menyambar kunci mobil di atas meja. Oh tidak, dia menaruh kunci itu kembali, memilih memakai taxi untuk pergi ke kafe. Menggunakan kendaraan umum seperti taxi mengingatkan kencannya dengan Vanya. Makanya sepanjang perjalanan menuju kafe yang dilakukan hanya menatap lalu lalang kendaraan. "Tuan…, sudah sampai," ujar sang sopir membuat Leo sedikit tersentak. Pria itu keluar mobil, merapikan jasnya untuk memastikan kalau dia terlihat tampan. Wajar karena sedang apel pujaan hati. Saat Leo masuk ke kafe itu, semua arah pandang berpusat padanya. Wajah para kaum hawa bersemu merah, saling bisik karena melihat pria tampan yang sedang berjalan bagaikan model. Sungguh berdamage. Karena keheningan yang mendadak itu, Vania langsung mencari sumbernya. Kebetulan sekali Alice sedang berada di kamar mandi, sehingga ia sendiri yang bertanya keperluan pelanggan. Tapi, niat itu di urungkan saat melihat pria yang dikenalnya masuk ke dalam kafe. Vania langsung bersembunyi, "Hais, kenapa dia ada di sini? Pasti hanya kebetulan saja." Alice yang keluar dari kamar mandi menendang kaki Vania cukup keras hingga meringis kesakitan. "Kau mau membuatku cacat!" desis Vania tertahan. "Apa yang kau lakukan di sini? Mengendap-endap seperti pencuri." "Ada orang yang ku kenal. Dia orangnya?" tunjuk Vania menuju ke Leo yang sedang duduk. Alice kaget bukan kepalang. Gadis itu bergegas mengambil buku pesanan, lalu berlari menuju ke Leo dengan perasaan takut. "A-apa yang bisa saya bantu, Tuan?" Leo enggan menjawab karena tujuannya adalah untuk bertemu dengan Vania. "B-baik, saya tahu." Alice pergi menuju ke Vania. "Kau yang ambil. Alih. Aku mau ke kamar mandi lagi." "Hey…! Tunggu…! Sialan, dia benar-benar ingin menjebakku." Mau tidak mau, Vania menghampiri Leo. Mencium aroma yang familiar dihidungnya, pria itu lantas mendongak. Wajah mungil berseri, dengan make up ala kadarnya. Sungguh membuat jantung Leo menggila. "Apa yang Anda pesan, Tuan." Bahkan suaranya terdengar merdu, seperti candu. Ah, Leo terpesona dan tanpa sadar menatap takjub ke arah Vania. Ini orang aneh, kenapa diam saja? Atau jangan-jangan dia tidur sambil jalan. "Tuan…!" panggil Vania sedikit membungkukkan badan. Kedua mata mereka bertemu satu sama lain. Debaran demi debaran muncul di pusat kehidupan milik Leo. Untuk kedua kalinya, dia merasa hidup kembali. "Kau rupanya," kata Leo dengan tenang. Vania pura-pura tak kenal dan berusaha melayani Leo dengan baik. Mana mungkin dia tak kenal dengan paman m***m. Pria itu adalah Krish, mantan kekasih aunty-nya. Kenapa dia bisa tahu kalau ia bekerja di tempat ini? "Saya masih banyak kerjaan. Tolong pesan yang anda inginkan." Leo malah mengetuk jemarinya beberapa kali, menatap lekat ke arah Vania. Meskipun masih ada jarak, aroma tubuh gadis itu tak berubah sama sekali. "Aku selesai." Tanpa pesan makanan ataupun minuman, Leo pergi begitu saja. Sungguh tak sopan. "Hah…, apakah aku diabaikan? Tidak mungkin dia dulu kekasih aunty." Vania marah sekali, ibarat gunung pasti siap meletus. Bagaimanapun pelanggan adalah raja. Jadi gadis itu harus berbesar hati. Setelah keluar dari kafe itu, Leo segera bersandar di tembok sambil memegang dadanya yang terus berdetak tiada henti. Cuping telinga miliknya terlihat merah meskipun samar. "Aku berusaha tenang, tapi tetap tak bisa. Sepertinya aku harus latihan." Bertemu dengan Vania harus mempersiapkan segalanya. Untuk itu, Leo harus berusaha keras mengatur segala ekspresi di depan gadis itu. Di waktu yang sama, Vania terlihat kesal. Karena tingkah paman m***m itu, perubahan moodnya tidak baik sama sekali. "Aku kira dia lupa denganku, ternyata tidak. Semoga kami tidak bertemu kembali. Sangat menjengkelkan." Vania bergumam tiada henti sambil berjalan hingga bertabrakan dengan Alice. "Alice/Vania!" teriak mereka berdua bersamaan. Tawa keduanya pecah seketika setelah benturan kecil itu. "Bagaimana dengan tuan yang tadi?" "Paman itu aneh, dia tak pesan apapun malah melenggang pergi." Alice diam sejenak. Mungkin kedatangan Leo hanya untuk bertemu dengan Vania. "Emmm… aku urus pelanggan dulu," kata Alice melenggang pergi begitu saja. Dahi Vania berkerut ketika melihat reaksi tak biasa dari Alice. Pasti ada yang disembunyikan oleh gadis itu, pikirnya berulang kali.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN