Pagi-pagi sekali Alice harus berkunjung ke rumah Vania karena perintah dari Leo. Pria itu ingin tahu mengenai kabar gadisnya.
Sampai di rumah Vania, Alice harus bersusah payah membangunkan gadis itu.
"Percuma kau ketuk pintu sampai beberapa kali, dia tak akan bangun." Raul melintas sambil menguap menuju ke dapur.
"Apakah tadi malam terjadi sesuatu?"
Raul menoleh, "Aku tidur lebih awal."
Akhirnya, Alice membuka pintu kamar Vania. Suara dengkuran halus terdengar jelas. Gadis itu pun berjalan menuju ke jendela untuk membuka gorden. Leo sudah berdiri di ujung sana, siap memantau aksi Alice.
Sampai kapan aku harus seperti ini? batin Alice sambil menelan ludahnya kepayahan.
"Vania…," panggil Alice seraya menggoyangkan bahunya.
"Emmm," jawab Vania singkat.
"Apakah kau akan tidur terus? Kita masuk pagi."
"Aku ijin."
Jujur Vania malas bertemu dengan Dennis karena mereka satu kelompok.
"Kau yakin mau mendapatkan nilai F," bujuk Alice lagi. Vania langsung membuka kedua matanya dengan sangat lebar.
"Aku tak mau gagal dalam mata kuliah ini." Dia bergegas menuju ke kamar mandi.
Melihat Vania baik-baik saja, Leo merasa sangat lega. Pasalnya tadi malam perilaku buruk dari para wanita itu pasti membuat jarak mereka berdua kain menjauh.
"Ben…, apakah mereka sudah keluar dari hotel?"
"Sudah, Tuan. Sebentar lagi saya yakin kalau mereka akan minta pertanggung jawaban dari anda."
Karena sudah lega melihat Vania yang baik-baik saja, Leo memutuskan untuk ke kantor. Tentu saja melakukan drama menarik yang akan membuat kehebohan.
"Kita ke kantor hari ini," titah Leo berjalan mendahului Ben. Langkah kaki pria itu berhenti, lalu matanya memandang ke arah kamar Vania.
Suara gadis itu cukup keras sehingga Leo bisa mendengarnya dengan baik.
"Aku rasa dia baik-baik saja." Leo masuk ke dalam mobil. Perlahan mobil itu meninggalkan rumahnya.
Mendengar deru mesin berjalan menjauh, Vania mengintip ke arah jendela. Paman itu sudah pergi melakukan aktivitas seperti biasa.
"Ada apa?"
"Tidak ada. Nanti aku akan menceritakan semuanya."
Mereka berdua keluar kamar, mengoceh tiada henti. Saat di meja makan pun keduanya berceloteh ria.
"Sudahi bicara. Makan dengan benar!" Raul menyodorkan segelas s**u untuk Vania.
"Jangan mengganggu pembicaraanku dengan Alice, Raul."
Vania terlihat sewot, membuat Raul sampai menganga lebar.
"Sudah berangkat sana!" usir Raul dengan kesal. Vania langsung bangkit menyeret Alice untuk pergi meninggalkan Raul.
"Jangan marah pada Raul," ujar Alice menasehati.
"Hais…, aku hanya kesal."
"Apa yang terjadi semalam?" Tidak lupa Alice menghubungi Leo dengan sembunyi-sembunyi.
"Tadi malam aku datang ke rumah tetanggaku. Yang ada aku malah dihina. Mereka orang kaya sama saja."
"Apakah kau marah?"
"Tidak! Hanya tersinggung."
Meskipun marah juga tak akan membuat kastanya naik. Dalam piramida sosial, Vania merupakan kelas rendah.
"Aku tahu statusku, Alice," ucang Vania sambil tersenyum. "Meskipun aku miskin, setidaknya mereka menghargaiku."
Mendengar perkataan itu, Leo mengepalkan tangan dengan sangat kuat.
"Ben, percepat laju mobilnya." Pria itu tak sabar ingin sekali membuat mereka membayar perbuatan semalam.
Sampai di kantor, para bawahan berbaris rapi menyambut Leo. Beberapa pegawai pria melirik dengan penuh kebencian, sebab rumor yang beredar.
"Tuan…," panggil Ben dengan hati-hati.
"Biarkan mereka mengoceh, aku akan menunggu dengan senang hati."
Baru kali ini, Leo tidak memiliki emosi saat menghadapi masalah. Mengenai rumor, dia acuh saja karena tak merasa melakukannya.
Namun mereka tidak tahu, bahwa penyebar rumor akan mendapatkan konsekuensi yang harus ditanggung.
"Ben…, catat semua orang yang telah menyebarkan rumor tak jelas itu!" titah Leo sambil duduk dengan santai.
"Baik, Tuan." Ben segera melaksanakan tugas, sementara Leo menunggu para bawahannya bertindak.
Benar saja, seseorang mengetuk pintu perlahan.
"Tuan…, diluar ada kegaduhan."
"Suruh mereka masuk!"
Akhirnya beberapa orang telah masuk ke dalam ruangan, termasuk lima wanita yang telah dieksekusi oleh Leo tadi malam.
"Kami minta keadilan!" ujar salah satu pria yang merupakan bawahan dari Leo.
Satu hal yang perlu diketahui, mereka sama sekali tidak mengenal Leo. Karena pria itu mengendalikan perusahaannya dari jauh.
"Raya…," panggil Leo. Raya tersentak lantas mendekat. "Aku tahu namamu Raya, ambilkan air untuk mereka."
Raya yang tak lain adalah sekretaris Leo di perusahaan untuk pertama kali disuruh olehnya.
"B-baik, Tuan."
Setelah beberapa waktu, Raya kembali dengan membawa minuman. Mereka yang sedang meminta pertanggung jawaban sedang duduk dengan wajah gelisah.
"Apa yang harus aku pertanggungjawabkan?"
Disini, drama mulai beraksi. Semua wanita itu menangis karena merasa ternoda.
"Kau telah merenggut kesucian ku," ujar salah satu wanita memberanikan diri.
"Apakah tuan mau tanggung jawab? Dia masih tersegel rapi?" ujar kekasihnya yang tampak kecewa.
"Sepertinya kau kecewa karena dia sudah ternodai oleh orang lain."
Semua orang langsung diam, tapi tidak dengan pria berkemeja kotak-kotak.
"Lalu, bagaimana dengan istri saya?"
Ternyata wanita yang meminta Vania pertama kali membawa tas adalah istri dari bawahannya.
"Raya…!" panggil Leo lagi.
"Iya, Tuan."
"Pasang USB ini ke televisi!"
Akhirnya Raya memasang USB yang diberikan Leo. Ada beberapa video yang ada di sana, sontak wanita itu pun menekan monitor televisi.
Betapa terkejutnya mereka setelah melihat apa yang terjadi. Mereka merasa terhina dan malu.
Bahkan adegan itu tidak hanya berada di dalam ruangan Leo, melainkan di seluruh perusahaan.
"Kalian semua aku pecat!"
Suara Leo menggema di udara, membuat para bawahannya langsung terduduk lemas tak bertenaga. Para wanita itu pun merasa sangat malu karena adegan tak pantas itu.
"Tapi, apa kesalahan kami?" tanya salah satu dari mereka.
"Beraninya kalian menghinanya?" Leo marah mengingat kejadian semalam.
Semuanya pun terduduk lesu karena tidak mengira akan mendapatkan tamparan keras seperti itu.
Hanya karena sikap arogan pasangannya, kesalahan ditagung oleh mereka juga.
"Ingat…, aku bisa melakukan hal lebih dari ini!" ancam Leo membuat semua orang yang ada di dalam ruangan merinding ketakutan.
"Tuan, kami bisa memperbaikinya," kata pegawainya seraya memohon.
Leo diam, menatap mereka dengan aura membunuh. Jelas sekali apapun yang dilakukan tidak ada harapan sama sekali. Siapa yang menyangka pembalasan Leo begitu kejam, lebih kejam daripada pembunuhan. Mereka memohon ampun, tapi Leo tidak menggubrisnya sama sekali. Ben pun datang membawa petugas keamanan untuk mengusir mereka.
Sisanya penyebar rumor pun juga dipecat tidak hormat. Dalam hitungan menit, perusahaan milik Leo memecat puluhan orang.
Raya yang menjadi saksi atas kejadian itu mewanti-wanti dirinya agar tidak melewati batas. Bisa saja Leo bertindak lebih keras dari pembalasan yang diberikan kepada para wanita itu.
Disamping kehormatan direnggut, martabat pun terkikis habis.
Itulah Leo, seorang manusia yang berhati dingin dan kejam. Dia tak memiliki belas kasihan sama sekali untuk orang lain. Siapa pun yang berani menyakiti orang terkasih, maka pria itu akan membalas berkali lipat. Sungguh mengerikan.
"Ben…, apa jadwalku hari ini?"
"Tuan akan ada meeting dengan Tuan Petrucci untuk membahas kontrak baru."
"Aku akan pergi ke kampus Vania."
Leo mengambil kunci mobilnya dengan cepat. Ben tidak bisa mencegah karena tak ingin membuat suasana hati Leo memanas.
"Saya akan menghandle semuanya, Tuan."
"Aku percaya padamu."
Leo melenggang pergi, berjalan keluar kantor. Semua orang tak berani menatapnya karena mereka tahu seperti apa Leo. Lagi pula, mereka tak ingin berakhir sama dengan orang-orang yang tak bisa menjaga mulutnya.
Diwaktu yang sama, Vania sangat enggan duduk sekelompok dengan Dennis. Bahkan Arthur juga ada di dalam satu kelompok.
Anehnya, Arthur sedikit pendiam, tak banyak bicara.
"Aku akan pergi dengan Vania," ujar Dennis mengajukan diri.
"No, Vania pergi denganku." Alice tak akan membiarkan Vania bersama dengan Dennis.
Vania hanya diam, karena tak ingin bicara dengan mereka berdua. Punggungnya sangat panas sebab tatapan tajam dari para gadis di belakangnya.
Sialan, sampai kapan aku harus bertahan? frustasi Vania di dalam hati.