Waktu berlalu dengan sangat cepat, sehingga membuat Vania merasa gelisah. Beberapa kali, gadis itu menengok ke arah jendela kaca.
Raul yang duduk di sofa pusing melihat gadis itu mondar mandir tidak jelas.
"Pusing aku…," gumam Raul melirik sekilas ke arah Vania.
"Minum obat," jawab Vania dingin.
"Kau kenapa? Duduk! Aku tak suka melihatmu membuang energi tak jelas."
"Raul, maksudku… anu, Kak."
Raul memicingkan mata seolah tahu tipu muslihat Vania.
"Apa yang kau inginkan? Jangan bicara lembut seperti seorang putri raja."
"Aku di undang oleh tetangga sebelah. Acara pindahan."
"Bagus…, bukannya kemarin kau ingin kue," ujar Raul menutup majalahnya. "Pergi saja! Aku mau tidur."
Jika saja Raul tahu kalau tetangga selalu rumahnya adalah Leo. Dia pasti tidak akan memperbolehkan Vania datang berkunjung.
"Apakah kau yakin?"
"Tentu saja! Pergi sana!" teriak Raul di dalam kamarnya.
Vania mengambil nafas panjang, menyahut jaket hoodie lalu dipakai.
"Apakah penampilanku layak?"
Gadis itu bercermin, berputar seratus delapan puluh derajat. Dilihat bagaimanapun pakaiannya memang biasa. Celana pendek selutut seperti berada di rumah.
"Aku tak peduli." Ia memutuskan untuk datang ke rumah Leo. Tujuannya jelas, yaitu menikmati makanan.
Saat berada dihalaman rumah Leo, beberapa mobil berdatangan. Gadis itu memilih menyingkir untuk memberi mereka ruang.
"Ini rumahnya," kata salah satu wanita yang sangat seksi keluar dari mobil, disusul oleh seorang pria berjas.
"Kau pembantu di sini?" tanya wanita itu sembari memberikan tas. "Bawa tas itu ke dalam rumah."
Beberapa wanita yang berada di dalam mobil lain juga melakukan hal yang sama.
Hah, Vania tak habis pikir, apakah dia seburuk itu sampai dikira babu.
Karena kesal, tas semua wanita itu dijatuhkan di tanah.
"Apa yang kau lakukan?" teriak salah satu wanita yang mengetahui tindakan Vania. Hoodie yang dikenakan gadis itu dibuka begitu saja olehnya, sontak mereka tertegun melihat wajah gadis itu. Dia sangat cantik dan mempunyai kulit bagus.
Leo yang mendengar teriakan salah satu tamunya bergegas keluar rumah.
"Aku bukan pembantu!"
Suara gadis itu cukup keras, tentu saja Leo juga merasa terhina. Pria itu segera melayangkan tamparan keras kepada wanita yang ada di hadapan Vania.
"Siapa yang melakukannya? Jawab aku!"
Pesta yang seharusnya meriah malah menjadi tegang. Si wanita yang pertama kali melakukannya tidak berani mengaku.
"Cih, ternyata kedatanganku merusak acaramu."
Leo tertegun, "Kau salah paham."
Awalnya Vania tidak ingin datang, tapi karena izin dari Raul ia jadi berkunjung ke rumah Leo.
"Vania…, kau adalah tamu spesialku," ujar Leo dengan lembut.
Vania menatap semua orang satu-persatu. Tidak ada yang selevel dengannya. Dan ia sadar akan hal itu.
"Kalau begitu, permisi!" Mundur bukan berarti kalah, tapi karena merasa terhormat. Leo yang berada ditengah halaman pun sudah di ambang emosi dan menatap mereka semua cukup tajam.
Tujuan diadakan pesta adalah untuk Vania. Sekarang rencananya gagal sudah.
"Pergi dari rumahku!" teriak Leo menggelegar cukup keras.
Awalnya, Leo ingin mengadakan pesta hanya berdua dengan Vania. Karena gadis itu menolak, ia jadi mengundang beberapa orang. Siapa yang mengira kalau dia akan datang, malah dihina begitu saja.
"Ben…! Usir mereka!"
Sementara itu, Vania masuk ke dalam rumah dengan nafas memburu karena marah. Bisa-bisanya mereka mengira seorang gadis ini adalah babu.
Dia tak habis pikir dengan etitut orang kaya seperti mereka yang sama sekali tidak menghargai orang lain.
"Aku tak akan berhubungan dengannya di masa depan."
Kelasnya dengan Leo berbeda jauh. Ibarat piramida, gadis itu berada di kelas bawah. Kelas yang tidak memiliki apapun, yang ada hanya status sebagai warga biasa.
"Menyesal aku datang ke rumahnya."
Vania pun duduk di sofa, mengambil nafas panjang untuk menetralkan emosi. Percuma saja marah karena membuang energi.
Gadis itu memilih bersandar dipunggung sofa. Telinganya mendengar beberapa mobil dinyalakan.
"Aku tak peduli sama sekali."
Vania bangkit menuju ke kamarnya. Sumpah hari yang seharusnya menyenangkan jadi kekesalan tiada akhir.
Setelah semua mobil pergi, Leo masuk rumah dengan wajah dingin dan suramnya. Ben tidak berani mendekat karena tak mau jadi sasaran.
Benar saja, pria itu langsung membanting beberapa barang dan makanan yang belum disentuh sama sekali.
"Pecat mereka semua, Ben! Dasar tak tahu di untung!"
Rencana Leo untuk menyenangkan Vania jadi gagal. Dan malah membuat mereka memiliki jarak yang cukup jauh.
"Baik, Tuan."
Ben tidak punya pilihan lain, selain meninggalkan Leo yang sedang mengamuk. Dicegah pun dia akan terkena imbasnya.
Malam itu kesempurnaan yang dibayangkan Leo jadi berantakan.
"Aku akan membuat kalian semuanya menderita!"
Satu demi satu sudah terekam jelas siapa saja wanita yang berani menghina Vania. Senyum semirik pun terukir jelas di sudut bibir itu.
"Kalian telah berani menghina gadisku. Lihat saja, hidup kalian akan aku hancurkan."
Sisi iblis itu mulai muncul. Dan Leo sekarang benar-benar akan menggunakan cara keji untuk membuat para wanita itu menyesal.
"Ben…!" teriak Leo.
Ben yang masih menghubungi seseorang untuk menyelesaikan permintaan Leo bergegas datang.
"Ada apa, Tuan."
"Siapkan kendaraan. Kita pergi ke klub malam. Undang para wanita yang berani menghina Vania."
Leo melenggang pergi melewati Ben yang berdiri tak jauh darinya.
"Sepertinya kalian sudah membangunkan sisi iblis tuanku."
Akhirnya Ben kembali menggunakan ponselnya. Kali ini untuk meminta para wanita berkumpul di klub malam elit.
Ben pun bergegas keluar rumah. "Saya akan mengantar anda, Tuan."
"Tak usah. Susul aku saja nanti."
Leo pergi dengan mengendarai mobil sendirian. Tidak lama setelahnya, dia sampai di klub malam elit yang cukup megah.
Seorang pria pun datang mendekat saat melihat Leo.
"Wow…! Apa yang membawamu kemari?"
"Jangan menyentuhku! Aku tak suka!"
"Bos…, jangan berlebihan."
"Michael…!" geram Leo sambil menatap Michael dengan tajam.
"Okey…, aku tak akan menggodamu. Mari masuk ke dalam."
Michael menuntun Leo masuk ke dalam klub malam.
Mata Leo memicing tak suka karena suasana yang sangat meriah. Bunyi alunan musik disko dan beberapa orang yang menari sambil meneguk minuman keras seperti orang ngefly.
"Kita sampai…!" teriak Michael sambil membuka pintu ruangan.
Meskipun mereka lewat jalur rahasia, tapi Leo masih bisa melihat orang menari di ruang utama.
"Aku tahu kau tak bisa bersama dengan orang-orang itu. Jadi, aku menyiapkan tempat khusus untukmu sesuai permintaan Ben."
Michael menjentikkan jari, lalu beberapa pelayan seksi masuk membawa minuman.
Ekspresi wajah dingin Leo yang semakin dingin membuat Michael berpikir keras.
"Kalian kembali dan bawa botol itu!"
Setelah semuanya keluar, Michael langsung mendekati Leo.
"Apa perintah mu? Aku akan melakukannya? Maafkan aku yang tidak peka."
Michael tak mau bisnisnya hancur karena kemarahan Leo. Sepertinya kedatangan dia kali ini akan melakukan sesuatu yang besar.
"Siapkan obat perangsang dan beberapa pria pilihan."
Mendengar perkataan itu, Michael tercengang. Kali ini, siapa yang sudah mengusik iblis berwajah tampan itu?
Kasihan sekali mereka harus berurusan dengan orang seperti Leo.
Siapapun itu, semoga kau selamat, batin Michael berharap banyak.