Selamat membaca!
Mobil yang dikendarai oleh Oscar sudah terparkir di lobi rumah sakit. Chris melangkahkan kakinya dengan tergesa, menuju ruang rawat Sandra yang berada di lantai 10 kamar VVIP dengan menggunakan lift. Sementara Oscar, mendapatkan perintah darinya untuk berjaga di depan lobi.
"Aku tidak akan memaafkan siapapun yang berani mengusik kehidupan keluargaku," gumam Chris dengan geram sambil menunggu pintu lift terbuka.
Tak berapa lama kemudian, pintu lift terbuka setelah sampai di lantai 10. Chris segera menyusuri lorong rumah sakit untuk menuju ruang rawat Sandra. Setelah tiba di depan ruangan, tanpa membuang waktu Chris langsung masuk ke dalam. Kedua matanya membulat sempurna saat dirinya tak menemukan sosok Sandra berada di sana. Ia hanya menemukan secarik kertas yang tergeletak di atas ranjang.
Chris mengambil kertas itu, membaca kalimat yang tertulis di sana. Kedua matanya menatap tajam dengan amarah yang seketika merayap naik ke dalam pikirannya.
~ "Datang ke dermaga tua tempat transaksi terakhir bawa semua senjata yang telah kau beli dariku dengan harga murah!"
Chris meremas kertas dengan kuat. Amarahnya kian memuncak dengan gurat kebencian yang tampak pada wajahnya.
"Rudolph! Aku akan membunuhmu jika kau sampai menyakiti calon menantuku!" Chris melangkah cepat menuju lift. Pikirannya kala itu hanya satu, sesegera mungkin pergi menyelamatkan Sandra. Tak peduli harus bagaimana, ia bersikeras menyelamatkan Sandra dan tidak akan membiarkan putranya kembali kehilangan calon istrinya seperti dulu.
Tanpa membuang waktu, setelah tiba di dalam mobil, Chris langsung memerintahkan Oscar untuk mengendarai. Tujuannya adalah sebuah dermaga tempat di mana Alex melakukan transaksi dengan Rudolph. Kebetulan, Oscar memang mengetahui tempatnya karena ia juga ikut datang ke sana setelah Evans memintanya untuk menyusul.
Pikiran Chris terus di usik oleh rasa cemas yang kian mengganggu. Namun, ia sangat yakin bahwa Rudolph tidak akan menyakiti Sandra, sebelum apa yang diinginkannya berhasil ia dapatkan. Sampai akhirnya, Chris teringat Alex yang juga sedang menuju ke rumah sakit. Dengan cepat, pria paruh baya itu menyambar ponsel miliknya yang berada di atas dashboard. Jemarinya kini mulai menekan beberapa angka untuk menghubungi putranya.
"Halo, Alex." Telepon pun tersambung. Suara bariton Chris terdengar jelas oleh Alex yang langsung menjawabnya.
"Iya Dad, ada apa kau meneleponku?" jawab Alex diakhiri dengan sebuah pertanyaan.
Chris pun mulai menceritakan semua yang terjadi di rumah sakit, termasuk surat yang telah dibacanya. Secarik kertas yang berisi ancaman dan meminta Alex mengembalikan seluruh senjata-senjata yang didapatnya dari Rudolph. Hal yang membuat putranya ikut tersulut amarah sama seperti dirinya.
"Sekarang yang terpenting kau ambil semua senjata-senjata itu di rumah, baru kau datang ke dermaga!" titah Chris kepada putranya.
Panggilan telepon pun terputus. Pandangan Chris kini melihat ke luar jendela dengan rencana yang mulai dipikirkannya. Sebuah rencana untuk menyelamatkan calon menantunya.
Beberapa menit kemudian, Chris yang sejak tadi hanya berkutat dengan pikirannya, dikejutkan dengan suara Oscar yang memanggilnya. Chris seketika menoleh, menatap anak buahnya yang sedang memberitahu bahwa mereka telah tiba di tujuan.
"Tuan kita sudah tiba. Apa sebaiknya kita tidak menunggu kedatangan Tuan Alex saja?" tanya Oscar kepada Chris memberi ide.
"Parkirlah mobilmu di sini dan tunggu Alex, aku akan masuk terlebih dahulu!" titah Chris dengan raut wajah tegas ditambah sorot mata yang tajam membuat Oscar ragu untuk perintahnya.
"Tapi Tuan apa tidak sebaiknya kita menunggu Tuan Alex saja?" Oscar tetap bertanya karena ia tak ingin tuannya menjadi korban atas misi penyelamatan ini.
Seolah memiliki sebuah rencana, Chris menarik sebelah sudut bibirnya dengan sorot matanya yang tajam. Ia pun mulai beranjak dan membuka pintu mobil untuk keluar. Oscar hanya dapat melihat kepergiannya yang semakin jauh tak terlihat.
"Tuan besar selalu keras kepala. Sebaiknya aku mengikutinya." Oscar juga turun dari mobil dan bergegas menyusul Chris yang sudah terlebih dulu menyelinap masuk ke dalam dermaga yang memang sudah tidak terpakai lagi.
Sebuah dermaga yang tampak usang dan memiliki satu bangunan tua yang menjadi tempat di mana transaksi jual beli ilegal sering terjadi di sana.
Setelah berada di dalam dermaga, mata elang Chris mulai meneliti setiap inci yang ada di sana. Mulai dari menghitung jumlah anak buah Rudolph, sampai melihat Sandra yang saat ini tengah menggantung dengan tali yang terikat di kedua tangannya.
"Jika Sandra jatuh dari ketinggian itu, dia bisa mati!" batin Chris semakin cemas memikirkan situasi Sandra.
Chris pun dengan hati-hati mulai melangkahkan kakinya untuk mendekati satu orang yang berada di sisi kiri. Chris melangkah dengan sangat perlahan. Setelah berada di belakang pria itu, ia langsung membekap dan menarik tubuhnya ke arah dalam ruangan agar orang lain tak dapat melihat. Setelah itu, Chris dengan cepat mematahkan leher pria malang itu dengan kedua tangannya yang membuat pria itu mati seketika.
"39 orang lagi, Rudolph memang menyusahkan," gumam Chris tampak kesal.
Chris melanjutkan langkah kakinya, menuju ke arah satu orang lagi yang berada tidak jauh dari tempatnya. Namun, kali ini pria itu melakukan beberapa perlawanan setelah berhasil lepas dari dekapannya, pria itu pun memukul wajah Chris. Akan tetapi, dengan mudah berhasil dipatahkan olehnya, setelah pukulan tidak berhasil mengenai Chris, pria itu kini melayangkan sebuah tendangan keras, tetapi lagi-lagi serangannya gagal karena dengan mudah berhasil di tepis oleh Chris.
Kini Chris melakukan serangan balik. Ia mulai dengan memukul leher pria itu, membuatnya kesakitan seperti tersedak. Berikutnya, sebuah pukulan lagi tepat mengenai bagian perut pria itu yang membuatnya meringis dan merunduk. Saat pria tersebut sedang merasakan sakit, Chris langsung menarik tubuh pria itu dan menempelkan ujung pistol pada pelipisnya. Tanpa ragu, Chris menembak hingga pria itu pun langsung mati seketika dengan bersimbah darah.
Pistol dengan peredam suara yang dimiliki oleh Chris, tanpa mengeluarkan bising ketika peluru dimuntahkan, sangat cocok dengan tipikal bertarung Chris yang sunyi tanpa suara.
"38 orang lagi." Chris kembali menyusuri lorong bangunan tua itu untuk mengurangi jumlah anak buah Rudolph yang berjaga di lantai atas sebelum transaksi pertukaran senjata dengan Sandra terjadi.
()()()()()
Sementara itu, Alex masih berada di dalam perjalanan. Raut wajahnya kini tampak menampilkan rasa penyesalan yang mendalam. Ia beberapa kali menghentakkan tangannya ke arah pintu mobil dengan keras.
"Seharusnya aku membunuh si tua bangka itu!" kecam Alex mengingat kejadian beberapa hari saat dirinya tak membunuh Rudolph.
"Tidak perlu cemas, Tuan. Nanti kita akan habisi mereka semua, sepertinya Rudolph tidak tahu saat ini dia sedang berurusan dengan siapa." Evans coba menenangkan Alex yang terlihat gamang karena mengetahui Sandra harus menjadi tawanan.
"Kenapa aku berlebihan seperti ini mencemaskan wanita itu? Apa jangan-jangan aku sudah mulai," batin Alex tanpa melanjutkan perkataan yang terasa aneh bila harus dilanjutkan.
Alex mengesah kasar dengan segala perasaan yang membuatnya menjadi sangat kalut.
"Awas kau Rudolph, kali ini aku pasti akan membunuhmu!" Alex mengepal tangannya kuat-kuat, disertai dengan sorot mata yang tajam.
Beberapa menit telah berlalu, kini mobil mulai memasuki area dermaga. Alex pun memerintahkan salah satu anak buahnya yang bernama Aaron untuk terus melajukan mobil yang dikendarainya masuk ke dalam bangunan tua. Alasannya adalah karena senjata-senjata yang diinginkan Rudolph berada di dalam bagasi mobil tersebut.
Setelah kedua mobil berhenti di dalam bangunan tua tempat di mana keduanya pernah mempecundangi Rudolph, Alex dan Evans berserta anak buahnya yang lain segera keluar dari dalam mobil. Mereka melihat ke sekelilingnya dan raut wajah Alex seketika tercengang saat melihat Sandra sedang terikat dan menggantung di ketinggian dalam keadaan tak sadarkan diri.
"Kurang ajar kau Rudolph!" geram Alex begitu kesal.
Di saat amarah Alex kian memuncak. Tiba-tiba suara Rudolph dari atas tepatnya di lantai dua, mulai terdengar.
"Selamat datang Alex." Dengan lantang dan merasa menang, pria paruh baya itu menyapa Alex.
"Sudah jangan banyak bicara kau tua bangka! Cepat lepaskan dan turunkan wanita itu, jangan sampai kesabaranku habis!" ancam Alex memerintahkan Rudolph.
Rudolph pun terkekeh geli mendengar ancaman Alex.
"Apa kau tidak tahu siapa yang saat ini memegang kendali Alex? Berani sekali kau mengancamku! Apa kau ingin anak buahku memotong tali itu agar calon istrimu jatuh dan mati seketika?" kecam Rudolph yang diakhiri dengan suara kekehan penuh kemenangan.
Situasi yang membuat Alex terdesak. Ia tak punya pilihan lain, selain mengikuti permainan dari pria paruh baya itu.
"Sial, saat ini aku tidak bisa berbuat apa pun selain menuruti keinginannya," batin Alex sangat kesal saat dirinya terlihat lemah karena seorang wanita.
"Sekarang cepat buang semua pistol yang kalian pegang itu ke depan kalian sejauh-jauhnya!" titah Rudolph bak seorang raja dari atas singasananya.
"Mereka pasti akan membunuh kita semua jika kita menuruti keinginannya." Evans mulai cemas dengan situasi yang ada.
Sampai akhirnya, sebuah ide muncul dan dengan cepat Evans menyelipkan satu pistol di balik celananya.
"Ayo Alex cepat buang pistol kalian atau wanita itu akan mati!" Ancaman Rudolph terdengar begitu nyata. Membuat Alex terdesak seakan tak punya pilihan lain. Baginya, situasi saat ini sama saja antara menyerahkan hidupnya atau menolak patuh, tetapi Sandra pasti akan mati.
"Inilah yang paling aku benci saat seorang wanita mulai dapat melemahkanku!" batin Alex merasa kesal akan situasi yang dihadapinya.
Bersambung ✍️