Kejujuran Sierra

1282 Kata
Selamat membaca! Alex dan Sandra kini sudah berada di dalam kamarnya kembali. Hari ini mereka memiliki sebuah rencana untuk berkunjung ke rumah Harry, menjenguk ibu dan adiknya. Setelah selesai mandi dan berpakaian, keduanya melangkah secara bersamaan menuruni anak tangga. Namun, tiba-tiba langkah Alex terhenti, ia mengingat sesuatu yang tertinggal, membuatnya kembali menaiki anak tangga menuju kamar. Sementara Sandra, ia tetap melangkah mendekati Chris dan Grace yang tampak sedang bersantai di ruang keluarga. "Selalu saja pelupa," gerutu Alex yang sudah berada di dalam kamar. Pria itu kini langsung menuju sebuah nakas untuk mengambil barang kesayangannya yang tertinggal. Alex memang tipe pria yang tidak bisa jika pergelangan tangannya kosong tanpa memakai jam tangan, rasanya sangat tidak nyaman baginya. Kini Alex mulai membuka satu persatu laci dari bagian yang paling atas. Nakas yang merupakan tempat Sandra menyimpan sebuah gelang yang ia temukan di halaman rumah. "Di mana aku menyimpan jam tangan itu?" Alex semakin bingung karena masih belum menemukan apa yang dicarinya setelah membuka empat laci pada bagian atas. Alex pun tak menyerah. Pria itu terus mencari sampai pada bagian tengah, ia memulainya dari yang paling kiri. Selesai itu, Alex kemudian membuka laci yang berada di sisi kanan. Laci tempat di mana Sandra menyimpan gelang milik Sierra. Namun, tiba-tiba saja dering ponsel berbunyi, membuat Alex mengurungkan niatnya untuk membuka laci yang di dalamnya terdapat gelang kaki milik Sierra yang disimpan oleh Sandra di sana. Alex langsung mengambil benda pipih itu dari dalam saku celana, ia menatap pada layar ponsel barisan nomor yang tak dikenalnya dengan mengernyitkan dahi. "Siapa ini?" Alex enggan untuk menanggapi panggilan telepon yang menurutnya tidak penting untuk dijawab. Ia kemudian membiarkan panggilan itu terputus dengan sendirinya dan kembali mencari keberadaan jam tangan yang belum juga ditemukan. Alex mulai membuka laci dengan perlahan, tatapannya tiba-tiba menajam, saat kedua matanya menemukan benda yang sedari tadi dicarinya. Namun, Alex malah membuka laci yang lain hingga gelang kaki milik Sierra tak bisa dilihatnya. "Ini dia, dasar. Susah sekali aku menyimpannya." Alex menutup kembali laci yang baru saja dibukanya setelah mengambil jam tangannya. ()()()() Di sebuah hotel, tampak seorang pria sudah sekarat dengan berlumuran darah di sekujur tubuhnya. Pria yang tidak lain dan tidak bukan adalah Albert Kaylee. "Kenapa tidak diangkat Tuan Alex? Kalau begini aku tidak bisa memperingatkanmu," batin Albert yang juga mencemaskan Sandra. Tiba-tiba suara langkah kaki terdengar mendekat, Albert dengan cepat langsung menyembunyikan ponselnya dengan melemparnya ke bawah ranjang. Namun, sebelum itu ia sempat menulis sesuatu pada layar ponselnya, walau tidak benar-benar utuh. Hanya sebuah inisial huruf HA yang baru sempat ditulisnya. "Kau lebih baik mati, karena kau sudah tidak berguna dan kematianmu bisa aku manfaatkan untuk rencanaku berikutnya!" Pria itu menyodorkan sebuah pistol yang digenggamnya ke arah kepala Albert yang sudah tidak berdaya dan tampak pasrah. Tanpa belas kasihan, pria itu kemudian menarik pelatuk pada pistolnya dan menghujamkan peluru itu hingga menembus kepala Albert. Seketika Albert langsung tak bernyawa dengan darah yang mengalir dari luka tembaknya. Pria itu berlutut dan meraih tangan Albert yang sudah tak berdaya, ia menulis sebuah kata dengan menuntun jari telunjuk Albert yang sudah dipenuhi oleh darah. Sebuah kata yang bertuliskan nama Alex kini tertera pada lantai. "Tinggal kau tunggu saja Chris kejutan dariku karena aku tidak usah bersusah payah membunuh anakmu, istrinya sendirilah yang akan membalaskan dendamku." Pria itu terkekeh puas sambil terus melangkah meninggalkan kamar hotel. Suara tawa yang penuh kemenangan. Ia kini menyeringai licik, seolah menyiratkan sebuah rencana yang sangat menakutkan sedang dijalaninya. ()()()()() Kembali kepada Alex dan Sandra, kini mereka sudah berada di perjalanan menuju rumah Harry. Laju mobil saat itu tidak terlalu cepat. Namun, sudah cukup membuat Sandra meminta Alex untuk memperlambatnya. "Alex, jangan terlalu cepat aku takut." Alex pun sejenak menoleh ke arah istrinya. Raut yang penuh dengan rasa takut, hampir tak ada senyuman yang tersisa di wajahnya dari saat mereka pamit dengan kedua orang tua Alex. "Kamu kenapa sayang? Apa kamu sakit? Aku kan hanya memacu mobil ini dengan kecepatan 80 km, tidak lebih sayang." Sandra mengesah kasar. Ia tak ingin menceritakan masa lalunya kepada Alex. Namun, untuk menjelaskan kondisinya saat ini, ia merasa Alex harus mengetahuinya. "Aku trauma Alex, ibuku meninggal saat mengendarai mobil dengan kecepatan yang sama seperti sekarang ini dan aku saat itu bersamanya, aku selamat tapi Ibuku tidak." Sandra dengan lirih menceritakan bagian paling kelam dalam hidupnya, ia sampai menekan dadanya kuat-kuat. Namun, seberapa pun ia mencoba untuk tegar, bulir kesedihan seketika lolos begitu saja dari kedua sudut matanya. Kesedihan Sandra membuat Alex seketika memperlambat laju mobilnya. Ia merasa bersalah karena telah membuat Sandra menangis dan mengingat masa lalunya. Alex menepikan mobilnya sejenak. Ia membuka sabuk pengaman yang menyilang di tubuhnya, lalu mulai menangkup kedua sisi lengan Sandra untuk menghadapnya. "Sekarang tidak ada yang perlu kamu takuti lagi! Aku sudah bersamamu dan akan selalu menjagamu." Alex mengulas senyuman di wajahnya, tatapan mata yang teduh membuat Sandra menjadi jauh lebih tenang dari sebelumnya. Sandra mengangguk dengan perlahan. Ia mulai mengusap air matanya, dibantu jemari Alex yang ikut berada di pipinya. "Terima kasih ya Alex. Semoga kamu bisa selalu ada untukku." Sandra menggenggam tangan suaminya, lalu mencium punggung tangannya dengan lembut. Melihat raut wajah istrinya yang mulai tenang, Alex pun mengusap pucuk rambut Sandra, kemudian kembali memasang sabuk pengaman untuk melanjutkan perjalanan mereka. ()()()()() Sebuah cafe yang letaknya berada di sudut kota Paris, bagian terjauh dari tempat terakhir mereka bertemu dengan Oscar. Evans terlihat sudah duduk dengan kursi kosong di seberangnya, meja itu menghadap ke arah jalan. "Aku sudah tenang karena Sierra mau mendengarkan aku untuk pergi dari kota Paris ini," gumam Evans masih memegangi bagian perutnya yang terasa paling sakit di banding dari bagian tubuh lainnya. Tak berapa lama kemudian, Sierra tampak hadir di sana bersama Mauren yang mengekor di belakangnya. Pandangan wanita itu langsung mencari sosok pria yang sejak semalam begitu dirindukannya, entah kenapa pikiran Sierra tak pernah lepas dari Evans. Mungkin karena semua pengorbanan yang Evans lakukan, membuat hatinya luluh hingga ia berani memeluk tubuh Evans dengan erat. Sebuah dekapan yang membuat pria itu terkesiap. Bahkan seketika rasa canggung mulai hadir menyelimutinya. Namun, di kedalaman hatinya, kini mulai timbul rasa bahagia atas apa yang Sierra lakukan padanya. "Aku ingin pergi, tapi kau harus ikut. Kita pergi berdua, kita bersama-sama memulai kehidupan kita yang baru," pinta Sierra masih memeluk tubuh Evans, walau pelukannya terlampau erat hingga membuat Evans mengerang kesakitan. Mendengar erangan dari Evans, membuat Sierra dengan cepat melepas pelukannya. Raut wajahnya sudah benar-benar cemas saat ini, ia khawatir dengan kondisi Evans yang dari raut wajahnya terlihat begitu kacau. Bagaimana tidak, beberapa luka lebam di wajah juga sudut bibirnya, benar-benar membuktikan bahwa Oscar tak main-main ingin menghabisinya. "Tapi sebelum itu kita harus ke rumah sakit, aku ingin kamu diobati dulu, Evans." "Tidak perlu Sierra, aku kuat kok," jawab Evans menolak permintaan Sierra. Sierra bersedekap kesal. "Yakin kamu kuat?" tanya Sierra dengan menautkan kedua alisnya. Evans berkacak pinggang, mencoba menutupi rasa sakit di sekujur tubuhnya. Sampai akhirnya, pukulan pada perut Evans yang tiba-tiba, membuat pria itu tak sanggup lagi menutupi rasa sakit pada bagian yang tengah mendera tubuhnya. Evans meringis dengan kedua mata yang membulat sempurna. "Aku memukulmu tidak menggunakan tenaga, tapi kamu sudah kesakitan seperti ini. Aku tidak ingin kamu menolak lagi, kita harus ke rumah sakit terlebih dahulu, baru kita ke bandara dan pergi ke Amsterdam." Evans pada akhirnya hanya menggaruk kepalanya yang padahal tidak terasa gatal sama sekali, ia menutupi rasa malunya karena sandiwaranya sudah dapat dibaca oleh Sierra. Mauren yang sejak tadi memerhatikan keduanya kini mulai menampilkan senyuman di wajahnya. Ia ikut bahagia atas apa yang dirasakan oleh sahabatnya karena pada akhirnya, Sierra sudah menemukan pria yang tepat untuk pendamping hidupnya. "Aku turut bahagia. Semoga Evans dan Sierra bisa hidup bahagia, walau tidak di kota Paris," batin Mauren tersenyum masih menatap keduanya. Bersambung✍️
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN