Bab 1: Ancaman

930 Kata
*** Di dalam klub yang gelap dan penuh warna ini, suasana terasa sangat hidup. Musik elektronik berdentum keras, menggema di setiap sudut ruangan, menciptakan getaran yang membuat setiap pengunjung merasakan aliran energi. Langit-langitnya tinggi, dihiasi dengan lampu-lampu neon yang berkilauan, bergerak mengikuti irama musik. Di dance floor, kerumunan orang bergerak dengan bebas, tubuh mereka bergerak seolah-olah menjadi satu dengan musik. Beberapa orang mengenakan pakaian mencolok, berkilau dengan glitter dan aksesori terang yang menambah kesan glamor. Suara tawa dan teriakan kegembiraan bercampur dengan dentuman bass, menciptakan simfoni kebebasan dan kesenangan. Di tengah keramaian, seorang wanita dengan tubuh sintal menarik perhatian. Dia mengenakan gaun pendek berkilau yang menempel sempurna di tubuhnya, memantulkan cahaya sekeliling saat dia bergerak. Gerakannya lincah dan penuh percaya diri, seolah-olah dia adalah bintang di atas panggung. Rambutnya yang panjang dan berombak tergerai indah, bergetar mengikuti setiap goyangan. Di meja bartender, seorang pria berusia 31 tahun duduk dengan sikap santai. Sorot matanya tajam dan penuh ketertarikan saat dia mengamati wanita itu. Dia mengangkat gelas berisi koktail, menyesap perlahan sambil tetap memperhatikan setiap gerakan si wanita. Namun, dalam sekejap, rahangnya yang tegas bergemeretak saat ia melihat seorang pria mendekat dan memeluk wanita yang sedang menari dari belakang. Pria tersebut melingkarkan salah satu tangannya di pinggang ramping wanita itu, sementara tangan lainnya merambat naik, menangkup salah satu buah dadanya dan meremasnya dengan nakal. “f**k!” Umpat pria yang duduk di bar, terengah-engah. Napasnya semakin memburu, dan rasa panas membakar dadanya saat ia menyaksikan adegan tak senonoh itu terjadi di depan matanya. Dalam sekejap, ia segera berdiri dari duduknya dan melangkahkan kaki panjangnya dengan tegas menuju dance floor. Sang wanita terlonjak kaget, merasakan tangan kurang ajar itu di dadanya. Dengan cepat, ia menepis tangan lelaki tersebut dan berteriak, “Apa yang kau lakukan?!” Suaranya berusaha keras menembus dentuman musik yang menggelegar di sekelilingnya. “What?!” balas lelaki itu dengan wajah bingung, tidak mengerti mengapa sang kekasih marah hanya karena ia meremas dadanya. Namun, detik berikutnya, suasana menjadi semakin tegang... BUG! Sebuah pukulan kuat mendarat tepat di wajah lelaki itu. Ia terhuyung ke belakang, berjuang keras untuk mempertahankan keseimbangan tubuhnya. Suasana mendadak kacau. Para pengunjung di area dance floor histeris, terkejut dengan situasi yang tiba-tiba berubah menjadi konflik. Kerumunan mulai berdesak-desakan, sementara beberapa orang berusaha menenangkan suasana yang semakin memanas. Sang wanita memekik kaget melihat kekasihnya menerima kekerasan fisik. Dalam sekejap, ia beralih menatap pelaku dengan mata yang terbelalak lebar. “S-Stefan?” gumamnya, mengucapkan nama pria yang sedang menatap tajam ke arah kekasihnya. Ia berusaha untuk mendekat, namun… “Stefan…!” suaranya terputus saat situasi semakin memburuk. BUG! Sang wanita kalah cepat. Pukulan kedua mendarat dengan keras di wajah kekasihnya. Kali ini, pukulan itu tidak hanya membuatnya terhuyung, tetapi juga tersungkur ke lantai dengan darah segar mengucur dari hidungnya. “Stefan, apa yang kamu lakukan?!” teriaknya, menyentak lengan kekar pria itu sambil menengadahkan wajah, menatap marah padanya. Ia tidak terima kekasihnya diperlakukan dengan begitu kasar. “Pulang! Ayo, kita pulang!” Pria itu menarik paksa lengan sang wanita, berusaha menyeretnya keluar dari kerumunan. “Lepaskan aku! Aku tidak mau!” sang wanita melawan, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman pria itu. “Yakin tidak mau?” Pria itu tiba-tiba mengeluarkan sebuah revolver dari balik punggungnya dan diacungkan ke arah kekasih sang wanita yang terkulai di lantai, membuat suasana semakin menegangkan. Mata wanita itu membelalak, menatap ketakutan pada senjata api yang kini mengarah ke lelaki yang merupakan kekasihnya. “Pulang atau aku ledakan kepalanya?” ancamnya dengan nada yang tak main-main. “Dasar b******k kamu! Aku benci padamu!” desis sang wanita dengan suara bergetar, kemarahan dan ketakutan bercampur menjadi satu. Ia kemudian berbalik dan melangkah pergi. “Sein!” seru salah satu teman wanita itu, memanggilnya dengan panik. “Sein, tas kamu ketinggalan!” teriak salah satu temannya, tetapi wanita itu tidak menghiraukannya. Ia terus melangkah pergi, air mata mengalir deras di pipinya. Pria itu menjauh dari keramaian di dance floor. Sebelum keluar dari klub, dia mengambil tas wanita tersebut yang tertinggal di meja, lalu melangkah lebar menuju mobilnya yang terparkir. “Masuk!” perintahnya dengan nada tegas setelah membuka pintu mobil. Suaranya dingin, sedingin tatapannya pada wanita itu. Dia seolah tak peduli meskipun melihat dengan jelas air mata mengalir di pipi sang wanita. Meskipun dengan enggan, wanita itu akhirnya masuk ke dalam mobil, merasa terpaksa untuk pulang semobil dengan pria yang baru saja melukai kekasihnya. Stefan Anderson, namanya. Berusia 31 tahun, ia diasuh, dididik, dan dibesarkan dengan penuh kasih sayang oleh pasangan suami istri Leon Sanders dan Maureen Sanders sejak ia berusia tujuh tahun. Di sisi lain, Sein Fransiska Sanders, wanita yang kini duduk di sampingnya, adalah putri kandung Leon dan Maureen, berusia 23 tahun. Dulu, ketika Stefan dan Sein masih anak-anak, mereka sangat dekat. Mereka saling menyayangi satu sama lain, dengan Stefan yang selalu perhatian dan melindungi Sein layaknya seorang kakak. Namun, seiring berjalannya waktu, perasaan yang berbeda mulai tumbuh di hati Stefan. Ia mulai memandang Sein bukan hanya sebagai adik, tetapi sebagai seorang wanita. Perasaan itu membingungkan Stefan. Meskipun tidak ada yang salah jika mereka menjalin hubungan, ketakutan akan keselamatan Sein selalu menghantuinya. Ia tahu bahwa cinta bisa membawa kebahagiaan, tetapi juga bisa berujung pada bahaya, dan ia tidak ingin wanita yang dicintainya terjebak dalam situasi berisiko. Dalam pikirannya, berhubungan dengan Sein hanya akan membawa wanita itu pada masalah yang lebih besar, dan Stefan bertekad untuk melindunginya, meskipun dengan cara yang salah. Ketika mobil melaju menjauh dari klub, ketegangan di antara mereka terasa jelas. Stefan berjuang dengan perasaannya yang rumit, sementara Sein menatap ke luar jendela, berusaha menahan air matanya yang terus mengalir di pipi. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN