***
Keduanya terdiam dalam ketegangan yang kian terasa di antara mereka. Sein, dengan emosinya yang berkecamuk, mengalihkan pandangan dari luar jendela ke arah Stefan, kakak angkatnya yang kini tampak sangat fokus menyetir.
“Kamu ada masalah apa sebenarnya?” tanya Sein, suaranya mencerminkan rasa frustasi yang mendalam.
Stefan menghela napas, tetap tak mengubah fokusnya dari jalan yang membentang di depan.
“Setiap kali aku bersama kekasihku, kamu selalu mengganggu kami. Apakah kamu sebegitu tidak ada kerjaan, sehingga mengganggu kesenangan orang lain jadi hobimu sekarang?” seru Sein, suaranya sedikit terengah-engah.
Stefan hanya terdiam. Ia mendengarkan tanpa berniat membalas, tetapi ketidakpeduliannya justru membuat Sein semakin kesal. Ia ingin berteriak, meluapkan semua perasaannya yang terpendam.
‘Kenapa kamu selalu seperti ini?’ pikir Sein dalam hati. Ada sesuatu yang aneh tentang Stefan. Seolah-olah pria itu tidak rela melihatnya bersama pria lain. Namun, di sisi lain, Stefan juga menjalin hubungan dengan wanita lain, membuat Sein semakin bingung.
Dengan mendesah kasar, Sein melanjutkan, “Kamu tidak ada bedanya dengan pria b******k!”
“Jaga bicaramu, Sein!” hardik Stefan, melirik tajam ke arahnya.
Sein membalas tatapan itu dengan penuh keberanian. “Kenapa? Kamu tidak terima disebut b******k? Apa yang aku katakan itu, benar ‘kan?”
“Aku seperti ini karena kau terlalu liar!” bentak Stefan, menatap Sein dengan intens sebelum kembali memperhatikan jalan.
“Liar? Lalu, apa hubungannya sama kamu?” Sein memicingkan mata, suaranya penuh provokasi. “Mau aku jadi liar, binal, atau murahan, itu urusanku! Tidak ada kaitan dengan kamu!”
“Jelas ada urusan denganku karena aku adalah kakakmu! Keselamatanmu adalah tanggung jawabku!” Stefan menjawab dengan tegas.
“Oh ya? Benarkah begitu?” Sein membalas dengan nada mengejek. “Tapi kenapa yang aku lihat justru berbeda?”
Stefan terdiam sejenak, menatap Sein dengan bingung. “Apa maksudmu?” tanyanya.
Sein mendengus jengah, enggan memberikan penjelasan lebih lanjut tentang maksudnya tadi. Dia menarik wajahnya dari Stefan dan beralih menatap ke luar jendela, berusaha menghindari tatapan kakak angkatnya.
‘Apa maksud dia? Apa jangan-jangan… dia menyadari sikapku selama ini?’ pikir Stefan dalam diam, gelisah dengan pertanyaan yang berputar di kepalanya.
“Munafik!” desis Sein, suaranya pelan namun cukup jelas untuk didengar oleh Stefan. Dia tidak memperdulikan reaksi Stefan, tetap fokus pada pemandangan di luar kendaraan.
“Kau mengataiku munafik, Sein?” tanya Stefan dengan nada menahan geram, mencoba mengekang emosinya.
“Sein Fransiska Sanders!” panggil Stefan dengan tegas, menyebutkan nama lengkap wanita itu sebagai bentuk peringatan.
Namun, Sein tetap tidak menggubrisnya, sengaja menulikan pendengarannya dari kata-kata kakaknya.
“Tidak punya sopan santun. Tidak punya kelebihan sedikit pun. Cantik tidak, kurang ajar iya! Kasihan Dad dan Mom, pasti sedih punya anak macam dia ini!” sindir Stefan, berusaha menyentuh sisi emosional Sein.
Ternyata, sindiran itu berhasil menarik perhatian Sein. “Apa kamu bilang?!” teriak wanita itu, suaranya menggelegar di dalam mobil, menatap Stefan dengan mata melotot.
Stefan hanya menatap lurus ke depan, enggan memberi reaksi. Jangankan menjawab, bahkan menatapnya pun tidak.
“Aku, biarpun tidak cantik tapi setidaknya nggak seperti pacar kamu, si Tai! Sama sekali tidak menarik!” cela Sein pada kekasih Stefan yang bernama Taylor.
“Namanya Taylor,” ralat Stefan tanpa menoleh, suaranya datar, seolah tidak terpengaruh dengan ejekan Sein.
“Yeah, dan aku beri nama dia Tai! Kamu mau apa?!” tantang Sein, mengangkat dagu dengan percaya diri, jelas menantang Stefan tanpa rasa takut.
Dengan wajah dingin namun tampan, Stefan melirik Sein tajam. Namun, tatapan itu tidak membuat wanita itu ciut. Sebaliknya, semakin berani menantang Stefan, seolah menunggu reaksi selanjutnya.
“Jangan berpikir aku akan mundur hanya karena kamu kakak angkatku. Aku punya hak untuk memilih siapa yang ingin aku temui!”
Stefan tersenyum sinis, menatap Sein dengan intens. “Dan aku punya hak untuk melindungimu dari pilihanmu yang buruk,” ujarnya.
**
Di tempat lain, di dalam Mansion Sanders yang megah, seorang wanita berusia sekitar 40 tahun tampak penuh perhatian saat merawat kedua mertuanya yang sudah lanjut usia. Wanita itu adalah Maureen Hailey Sanders, Ibu dari Sein.
“Sisa satu, Mom,” ujar Maureen sambil menyodorkan satu butir obat yang diletakkan di atas telapak tangan kanannya kepada mertuanya, Sarah.
“Terima kasih, sayang,” balas Sarah dengan senyum lembut yang menghiasi wajah keriputnya. Ia mengambil butir obat itu dan memasukkannya ke dalam mulutnya.
Maureen segera mendekatkan gelas berisi air ke bibir Sarah. “Sama-sama, Mom,” ucapnya dengan senyum tulus. Setelah Sarah meneguk air, Maureen dengan hati-hati menjauhkan gelas dari bibir mertuanya dan meletakkannya di atas nakas samping ranjang.
Dengan lembut, Maureen mengatur selimut di tubuh Sarah, memastikan ia merasa nyaman. “Dad, mau sesuatu?” tanya Maureen setelah beralih menatap Ayah mertuanya, Nick, yang tengah berbaring di samping Sarah.
Nick mengulas senyum hangat. “Tidak, Nak, terima kasih,” jawabnya. Namun, ada sedikit kerutan di dahinya. “Oh iya, Sein belum pulang?”
“Belum, Dad. Sepertinya malam ini dia pulang agak larut,” jawab Maureen dengan nada tenang.
“Siapa yang menemaninya?” tanya Nick, nada suaranya terdengar khawatir. Ia memang sangat posesif terhadap cucu perempuannya yang cantik itu.
“Leon sudah memberitahu Stefan. Aku yakin, Stefan pasti memantau keadaan di sekitar adiknya. Jangan khawatir, Dad, selama ada Stefan, cucu kalian pasti baik-baik saja,” Maureen meyakinkan, menatap kedua mertuanya dengan tatapan lembut.
“Iya, Nak. Terima kasih,” balas Nick dan Sarah secara bersamaan, terlihat lebih tenang setelah mendengar penjelasan Maureen.
Maureen tersenyum dan mengangguk pelan sebagai tanggapan. “Ya sudah, kalian istirahat ya. Jangan banyak berpikiran negatif,” ingatnya dengan lembut, sebelum beranjak keluar dari kamar mertuanya.
Setelah menutup pintu dengan hati-hati, Maureen melangkah menuju ruang kerja suaminya. Ia tahu Leon masih berada di sana, tenggelam dalam tumpukan dokumen seperti biasanya.
“Sayang, sudah jam 11,” panggil Maureen setelah membuka pintu ruang kerja. Ia berdiri sejenak di ambang pintu, memandang suaminya yang tampak serius, fokus pada pekerjaannya di meja yang dikelilingi berkas-berkas.
Leon segera menarik pandangannya dari salah satu berkas yang dipegang, beralih ke arah pintu. Senyum hangat menghiasi wajahnya saat melihat Maureen berdiri di ambang pintu.
“Satu berkas lagi, Baby,” ujarnya, sambil mengangkat berkas yang tersisa di tangannya dengan nada ringan.
Maureen menghela napas pelan, kemudian melangkah masuk ke ruangan. Ia mendekati meja kerja suaminya dengan langkah yang lembut, seolah tidak ingin mengganggu ketenangan malam.
“Kalau Stefan tahu Daddynya bekerja hingga larut malam begini, dia pasti akan mengomel,” ucap Maureen sambil mengulum senyum.
Maureen kemudian mendaratkan bokongnya di pangkuan Leon setelah pria itu menggeser kursi yang diduduki. Leon terkekeh pelan mendengar ucapan istrinya, seakan semua beban dokumen yang menumpuk di mejanya sejenak terlupakan. Ia mengalihkan perhatian dari berkas-berkas penting itu dan memeluk pinggang Maureen dengan mesra.
“Salah sendiri dia tidak mau mengganti posisiku di kantor,” balas Leon. “Anak itu sangat keras kepala, padahal Glenn sekarang masih berusia 20 tahun.”
“Coba saja kalau dia jadi menantu kita, dia pasti tidak akan menolak menjadi Direktur Utama di perusahaan,” kata Maureen, menggoda dengan senyuman yang lebar.
Mendengar itu, Leon terdiam sejenak. Ekspresinya tiba-tiba berubah, seolah sebuah pikiran berat menekan hatinya.
Dalam hal ini, Leon tidak sependapat dengan Maureen yang menginginkan Stefan menikahi putri mereka. Ia merasa bahwa hubungan antara Stefan dan Sein lebih cocok sebagai saudara daripada pasangan.
“Mereka tidak cocok menjadi pasangan, mereka hanya cocok menjadi saudara,” kata Leon dengan suara serak, menekankan keyakinannya.
Kali ini, Maureen terdiam. Ia menatap lekat wajah suaminya yang masih terlihat tampan meskipun kini usianya mendekati 60 tahun. Garis-garis halus terlihat di wajahnya, tetapi tubuhnya masih sangat bugar, mampu mengimbangi istrinya yang lebih muda.
Maureen mengangguk pelan, menatap Leon dengan penuh pengertian. “Ya, meskipun aku berbicara seperti tadi, itu tidak akan mengubah apapun. Stefan tetap tidak mau bersama Sein. Dan aku rasa, bukan karena dia tidak tertarik pada Sein, tapi karena dia tahu kamu tidak setuju,” ujarnya dengan nada yang tenang.
“Apakah kita akan berdebat lagi tentang permasalahan ini?” tanya Leon, mencoba menjaga suasana tetap santai.
Maureen menggelengkan kepala. “Kamu terlalu percaya diri,” jawabnya sambil melontarkan sindiran yang mengundang tawa. Dalam sekejap, suasana yang tadinya tegang itu mencair.
“Lagipula, mereka sama-sama sudah memiliki kekasih. Artinya, mereka bahagia dengan kehidupan masing-masing,” kata Leon, berusaha mengalihkan perhatian dari topik yang bisa memicu perdebatan.
“Ya, kamu benar,” jawab Maureen, mengangguk setuju. “Ayo, kita ke kamar. Besok saja lanjutkan pekerjaanmu.”
“Ke kamar? Ngapain?” tanya Leon, mengangkat alisnya. Maureen terdiam sejenak, wajahnya merona.
“Bercinta? Di sini juga bisa, Baby. Sudah sering ‘kan kita lakukan di sini?” Leon menggoda, senyum nakal menghiasi wajahnya.
Seketika, Maureen tertawa sambil mencubit gemas pipi Leon. “Tidak pernah berubah! Justru semakin kamu tua, semakin genit,” ujarnya, masih dengan tawa.
“Daddy Gamal juga begitu,” balas Leon, menyebut nama mertuanya dengan nada bercanda.
“Tidak ya! Daddy itu sangat setia, dia tidak pernah nakal selain kepada Mommy,” Maureen menjawab, berusaha mempertahankan argumen sambil tersenyum.
“Aku juga begitu, tidak pernah nakal selain kepada istriku,” timpal Leon dengan penuh percaya diri.
“Jangan lupa, Anda seorang duda dulunya, Tuan Leon,” sarkas Maureen, melirik suaminya dengan mata memicing.
“Duda perjaka! Aku sangat bangga dengan status itu,” balas Leon, dan tawa mereka berdua kembali mengisi ruangan, penuh dengan kehangatan dan cinta.
***