8. Pria Tak Berhati

1225 Kata
"Kalau kau memang menyayanginya, maka perlakukan dia dengan baik. Sayangi dia. Cintai dia. Bahagiakan dia" *****   "Mom, lihat Arsenia tidak?”, tanya Edwin. Elena mengernyit menatap Edwin. "Kau tidak tau? Arsenia pamit pulang, ia terkena flu wajahnya pucat dan tubuhnya tampak lemas”, jawab Elena. Edwin merasakan sesuatu yang mengganjal dihatinya. Ia sedikit merasa bersalah dengan gadis itu. "Kenapa ia tidak memberitahuku?", protes Edwin. "Kenapa kau tak tau tunanganmu sakit? Kau bersamanya sejak tadi. Kalian bertengkar?", selidik Elena. "Ti.. tidak, hanya sedikit salah paham saja mom. Kami tidak bertengkar kok mom”, ujar Edwin berbohong. "Mommy ingatkan jangan sampai mengulangi kesalahan yang sama seperti kakakmu dulu. Kalau kau memang menyayanginya, maka perlakukan dia dengan baik. Sayangi dia. Cintai dia. Bahagiakan dia. Mommy tidak mau mendengar alasan apa pun kalau sampai kau menyakitinya”, tegas Elena. Edwin tersentak mendengar ketegasan Elena. Sungguh ia kaget. Ia tak pernah melihat ibunya marah dan mengintimidasi seperti ini. "Ya mom, aku tidak akan menyakitinya”, ucap Edwin. "Bagus, mom pegang kata-katamu sebagai seorang pria yang harus menjaga komitmennya”, jawab Elena lalu berlalu pergi meninggalkan Edwin yang tergugu. Mom, batinnya. ***** Arsenia Tok.. tok.. tok.. Keningku mengerut mendengar ketukan pintu rumahku. Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam, siapa yang bertamu malam-malam begini ya? Jangan-jangan maling! Eh.. mana ada maling ketuk pintu. Aku berjalan menuju pintu yang diketuk, dengan pelan aku membuka sedikit pintunya dan terkejut melihat siapa yang datang. "Ed? Mau apa kau kesini? Ini sudah malam”, tanyaku. Jujur saja, aku masih marah dengannya. Aku bukan w************n seperti yang ia sangka. Ia berdeham. Aku tau ia gugup. "Ekhem.. anu.. tadi.. kudengar dari mommy kalau kau sakit. Apa kau sudah ke dokter?”, tanyanya. "Sudah, sekarang kau bisa pulang”, ketusku seraya hendak menutup pintu namun gerakanku tertahan ketika Edwin menahan doronganku. "Mau apa lagi, Ed?", kesalku. "Kau tidak mau mempersilahkan aku masuk? Kau menatapku seperti aku akan membahayakanmu saja, Ar”, protesnya. Kau kan memang berbahaya! "Ini sudah malam, aku sudah akan tidur jadi untuk apa kau masuk?”, balasku. Ia menggaruk tengkuknya yang terlihat sekali tidak gatal, sejenak aku menahan senyumku did depannya. "Ada yang ingin kubicarakan, bolehkah aku masuk?”, pintanya. Aku mengernyit. "Tentang apa?”, tanyaku. "Tentang kita”, jawabnya mantap. Sontak pertahananku lemah, jawabannya membuat kerja jantungku tak karuan, hatiku juga merasa penuh bunga mekar. Tapi aku tetap memasang wajah kesal. Aku pura-pura menghela nafas kesal dan melebarkan pintu untuk memberinya izin masuk. Aku kembali bingung melihat Edwin yang terpaku di tempatnya dan menatapku aneh. Aku berdecap kesal. "Ck! Kau mau masuk atau tidak? Aku sudah membuka pintu untukmu tapi kau malah mematung di tempat”, ujarku. "Kau.. ehm.. kau.. ah lupakan, aku masuk”, ujarnya lalu melangkah masuk ke dalam rumahku. Ih! Dasar aneh! Aku duduk berhadapan dengannya di sofa ruang keluarga rumahku. "Jadi apa yang ingin kau katakan?”, tanyaku memulai pembicaraan. Ia terlihat gugup. Aneh. Apa yang terjadi dengannya sampai-sampai salah tingkah seperti ini? Pakaiannya tetap sama dengan acara pembukaan kantor tadi. Apa ia belum pulang dari siang? "Kau.. ehm.. tak mau duduk di sini?”, tanyanya canggung seraya menepuk tempat kosong di sebelahnya. Aiih.. jangan buat aku GR gak bisa ya? "Memang apa bedanya di sini maupun di situ?”, tanyaku. "Beda.. aku tidak ingin bicara terlalu keras”, jawabnya. Aku mendengus. "Aku sudah pernah mendengar bicara keras itu”, sindirku. Kulihat wajahnya memerah, entah malu atau marah. Aku tak mengerti. "Kumohon duduklah di sebelahku, Ar”, pintanya dengan tatapan memohon. "Hhh... ya sudah aku pindah”, jawabku seraya berdiri melangkah untuk duduk di sampingnya. Ia sudah duduk menghadap ke arahku. Ia menatapku dari atas sampai bawah. Aku sedikit malu ditatapnya seperti itu. Aku memang sudah mengenakan kimono karena tadi bersiap akan tidur. Sungguh aku lelah setelah berjam-jam keliling mall. Dan... yah memang aku tak memakai bra sekarang, bukan maksud menggoda. Tapi itulah kebiasaanku saat tidur. Dianya saja yang datang dengan waktu tidak tepat. "Kau mau menatapku terus atau mulai bicara?”, kesalku. "Ah.. ya, aku ingin minta maaf dengan ucapanku tadi siang. Aku bukan orang yang suka memandang fisik”, ucapnya. Aku memandangnya datar. "Dimaafkan, ada lagi?”, jawabku singkat. Ia makin tampak salah tingkah dengan jawabanku. "Euhm.. ya, kau tidak akan memutuskan pertunangan ini kan?”, tanyanya penuh harap. Mataku memicing  curiga. Pasti ada yang menekannya. "Memang kenapa kalau aku memutuskan pertunangan ini? Kau juga tidak menginginkannya kan?”, pancingku. "Tidak! Jangan! Kumohon jangan!”, serunya. "Kau ini kenapa sih, Ed!?",seruku. "Jangan, kumohon jangan putuskan pertunangan ini dulu. Kondisi mommy belum terlalu stabil, aku takut ia kenapa-kenapa. Jika kondisi mom sudah stabil baru kita akhiri pertunangan ini segera”, jelasnya. Sakit. Hatiku sakit. Kupikir ia akan mempertahankanku, ternyata... Aku beranjak dari tempat dudukku. "Kalau sudah selesai, pintu keluar di sebelah sana kalau kau lupa”, ucapku datar. Ia beranjak dari duduknya dan menatapku intens. Aku tak mau kalah, aku balas tatapannya dengan datar. Tiba-tiba tangannya terulur menarik tubuhku. Kepalaku membentur d**a bidangnya karena tidak siap saat ia menarikku. "Ed, apa yang..." Ucapanku terhenti saat tangan kanannya menyentuh wajahku dan mengarahkan wajahku ke arahnya, dan saat itu pula bibir kami telah bersentuhan. ***** Arsenia membelalak mendapati bibirnya telah menyatu dengan bibir Edwin. Tanpa berpikir panjang Edwin melumat bibir Arsenia dengan lembut. Tangannya terulur merengkuh pinggang lebar Arsenia untuk lebih mendekatkan tubuhnya dengan Edwin. Ibu jari tangan kanan Edwin mengusap lembut pipi bulat Arsenia, perlahan mata gadis itu menutup merasakan kelembutan bibir Edwin di bibirnya. Edwin yang merasa Arsenia telah menerimanya menurunkan ibu jarinya yang mengusap pipi Arsenia menuju dagu wanita itu. Ia menarik dagu bawah Arsenia agar terbuka dan memberi akses untuk Edwin memainkan ciuman itu. Terdengar lenguhan tertahan kala lidah mereka bermain dengan agresif. Edwin menggapai kedua tangan Arsenia dan mengarahkan tangan tersebut ke pundaknya, entah dorongan dari mana Arsenia membelai pundak Edwin dan hal itu memberikan sensasi asing yang disukai Edwin saat ini. Pria itu semakin memperdalam ciumannya, tangannya membelai punggung Arsenia dengan sangat lembut, sontak Arsenia mendorongnya ketika tangannya hendak menyentuh Alleta. "Sudah malam, sebaiknya kau pulang”, ucap Arsenia dengan suara serak. "Ya aku pulang sekarang. Aku hanya mengingatkan bahwa tunangan ini akan tetap berlanjut. Sebagai tunangan aku punya hak untuk menciu..." "Berisik, kalau mau pulang ya pulang saja sana, aku mau tidur!', kesal Arsenia. Edwin terkekeh melihatnya. "Yaa.. baiklah, hati-hati di rumah. Good night",ucap Edwin seraya mengecup singkat bibir Arsenia yang telah bengkak akibat ciuman sebelumnya. Baru berjalan dua langkah Edwin berhenti dan berbalik dengan seringai nakalnya. "Anyway, bibirmu seksi kalau bengkak seperti itu. Apalagi aku yang membuatnya bengkak”, celetuknya. "Pergi yang jauh sana!”, teriak Arsenia yang disaut dengan tawa Edwin yang terbahak-bahak. Dasar, pria tak punya hati! Pikir Arsenia sambil menangkup wajahnya yang terasa sangat panas. ***** Pria itu tersenyum. Bukan tersenyum seperti yang selalu ia tunjukan untuk karyawan atau orang lain maupun keluarganya. Senyum ini berbeda. Ada sesuatu yang asing menggelitik relung hatinya. Ia tak tau apa itu, yang jelas rasa ini baru ia rasakan pertama kali. Matanya masih fokus pada jalanan di depannya. Tangan kanannya menyentuh bibir yang tadi berciuman dengan panas. Bibirnya semakin melengkung ke atas. Ia mendengus geli mengingat kejadian yang baru saja ia lalui. Dia lucu juga, pikirnya *****   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN