Faradina

2994 Kata
Bertemu sang mantan gebetan ternyata punya efek tersendiri bagi Farrel. Dari sekian kali bertemu Zakiya dan mengobrol dengan gadis itu, pasti ada sesuatu yang membekas dihatinya. Kadang membuatnya tanpa sadar bernostalgia masa SMA. Di mana ia terus melihat gadis itu. Kadang mengobrol seru dengannya. Meski lebih banyak ia yang mendengar celotehannya. Gadis itu ceria dan ramah. Bukan tipe bawel seperti Farras. Zakiya pandai menempatkan diri dan ia tahu kapan harus berbicara dengannya atau sekedar menjadi pendengar. Mungkin itu yang disukai Farrel dulu dari Zakiya. Karena Zakiya yang seolah bisa memahaminya. Walau yah, ternyata perasaannya tak berbalas sama sekali. Yogi sudah lama menikah. Ia memang tak hadir karena mendapat kabar dadakan juga. Entah dengan siapa Yogi menikah, ia tak pernah bertemu dengan perempuan itu. Tapi ia bersyukur jika bukan Zakiya yang menjadi istri dari sahabatnya itu. Ia bukannya cemburu. Menurutnya, Zakiya pantas mendapatkan lelaki yang lebih baik dari Yogi. Yang membuat Farrel kurang srek adalah cara Yogi yang berpacaran. Terlalu bebas dan terbuka. Lantas saat berpacaran dengan Zakiya? Entah lah. Farrel tak mau tahu. Dan mungkin itu juga yang membuat Farrel akhirnya melupakan Zakiya. Karena awalnya, Farrel berpikir kalau Zakiya adalah tipe perempuan yang menjaga diri dari hubungan dengan lelaki. Tapi ternyata, ia salah. Zakiya yang dulu sama saja dengan perempuan kebanyakan. Bahkan terlalu bucin alias b***k cinta. Lalu ingatan tadi membuat Farrel terbaring di atas tempat tidur. Mata menatap langit-langit kamar yang sudah gelap karena lampunya sudah dimatikan. Ia abai kan ponselnya yang terus bergetar karena telepon dari Shabrina. Haaaah hidupnya berubah sekali semenjak sukses menjadi pengusaha terlebih bertemu dengan Shabrina. Rasanya, dosanya bertambah kian hari gara-gara gadis itu atau memang kesalahan darinya lah? Haah. Entah lah. Ia pun bingung. Kalau ia ingat-ingat wajah Zakiya tadi, gadis itu tentu saja terlihat semakin dewasa. Wajah yang terlihat agak judes itu sebetulnya ramah. Dan sejak dulu, Zakiya bukan tipe perempuan centil. Walau tampak berbeda ketika jatuh cinta mengenang betapa agresifnya ketika mendekati sahabatnya kala SMA. Kini? Farrel tak tahu asmara Zakiya. Farrel juga tak berniat kembali pada gadis itu. Meski terlintas pikiran yang membuatnya berpikir ketika tak menemukan gadis yang membuatnya tertarik, ia akan memilih Zakiya. Aaaah! Farrel menepuk kening. Ia langsung terduduk lantas menyalakan lampu di atas nakas. Lalu mengambil ponselnya dan membuka percakapan terakhir dengan rekan kerja Bundanya. Ada nomor perempuan yang membuatnya tertarik kala itu hingga kesibukannya membuatnya hampir lupa tentang hal itu. Faradina, batinnya mengucap. Nama yang indah. Baru kali ini ia mendengar nama seperti itu. Kalau nama Farah kan ada banyak. Lah kalau ini? "Faradina," bisiknya. Ia membuka mbah Google kemudian berselancar di sana. Faradina dalam bahasa Arab artinya agama kegembiraan Itu yang tertulis di mbah Google. Masih belum puas, Farrel membaca tulisan dibawahnya. Sifat dan karakter nama Faradina Nama orang Faradina melambangkan orang yang cermat membuat rencana dan setia. Orang ini peduli dan dapat membuat orang sekitarnya merasa nyaman. Ia adalah seorang optimistis dan memiliki selera humor. Aaaah. Farrel mengangguk-angguk. Ia kembali men-scroll informasi itu hingga ke bawah. Nama Faradina dapat digunakan pada Nama Depan misalnya: Faradina Chandra Yulita, Faradina Himas Mustika, Faradina Nur Fitriansyah, Faradina Sofea. Nama Faradina juga dapat digunakan pada Nama Tengah misalnya: Liora Faradina Aulia, Zalfa Faradina An Najma, Dyah Faradina Putri. Nama Faradina juga dapat digunakan pada Nama Akhir misalnya: Zalfa Faradina. Farrel terkekeh sendiri dengan beragam temuannya ini. Ia mencoba menebak-nebak nama panjang dari gadis itu. Tapi dari nama-nama di atas, sepertinya belum ada yang cocok untuk menggambarkan perempuan yang menurutnya solehah itu. Kira-kira apa nama panjang dari gadis itu? @@@ Farrel menimbang-nimbang. Ia sudah berpikir sejak pagi untuk menghubungi gadis itu. Namun ia masih ragu dan agak-agak takut menganggu. Walau ia memang punya urusan yang jelas. Ia perlu membicarakan lebih dalam tentang project itu sekaligus mempelajari hal-hal terkait carbon capture itu. Ia belum sangat memahami tentang mekanisme kerjanya jadi belum ada bayangan untuk mengembangkan rencananya. Ia gelisah sedari pagi. Kadang bengong. Kadang menguatkan diri. Ketika sudah kuat, ia mencoba mengetik sesuatu untuk dikirim pasa gadis itu. Tapi berkali-kali ia hapus. Ia merasa tak cukup puas dengan gaya kenalannya yang kaku seperti tulisan-tulisan di bawah ini.... Assalamualaikum, Fara. Saya Farrel yang waktu itu. Masih ingat? Assalamualaikum. Fara, ini Farrel yang waktu itu ketemu kamu di kampus kamu..... Assalamualaikum. Ada yang mau saya tanyakan sama kamu, Far. Ada waktu? Ini Farrel yang wak.... Itu hanya tiga dari ratusan kata-kata yang akhirnya ia hapus. Ia masih bimbang dan bingung cara memperkenalkan dirinya pada gadis itu. Maklum lah, Farrel kan belum pernah menghubungi cewek seperti ini. Jadi kikuk gimana gitu. Rasanya pun aneh. Farrel merasakan debaran keras dijantungnya. Sementara di bawah sana, Bundanya yang sedang sibuk dengan tanaman dikejutkan oleh kehadiran mobil yang memasuki pekarangan rumahnya. Wanita itu berdiri karena mobil yang tak asing, yang akhir-akhir ini sering datang ke rumahnya. Bahkan kini sang pengendara mobilnya baru saja keluar dengan wajah girang. "Bundaaaa," panggilnya yang membuat Icha terkekeh. Gadis cantik nan modis itu langsung menghampiri Icha dan memeluknya. Ah ya, namanya Latisya, dipanggil Lala. Gadis itu adalah salah satu mahasiswa bimbingannya yang kebetulan sudah lulus tiga tahun lalu. Tapi kadang suka datang ke rumahnya. Niatnya? Tidak ada niat terselubung. Tentunya hanya berguru pada Bunda. "Sendi--" Ucapan Icha terpotong seiring dengan pintu disamping kemudi yang terbuka. Sosok gadis cantik lain keluar. Latisya terkekeh. Ia juga membawa saudari sepupunya yang lebih tua darinya 2 tahun. Kebetulan juga kenal dengan Bunda. "Itu kakak sepupu Lala, Bun. Lagi di Jakarta, tinggal di rumah tante Lala. Bareng Lala juga." "Apa kabar, Bu?" sapa gadis itu lantas menyalami Bunda. Icha menganga saat gadis itu mendekat ke arahnya. Ia mengenal gadis itu sebagai mapres alias mahasiswa berprestasi yang mewakili fakultasnya dan berhasil memenangkan kejuaraan sebagai mahasiswa berprestasi di kampus beberapa tahun silam. Saat Icha masih mengajar dan kala itu, ia yang membimbing gadis ini untuk mendapatkan juara kala itu. Jadi tentu saja ia masih ingat. Apalagi gadis ini cukup populer di kampus sebagai gadis solehah yang banyak di lamar para ikhwan kampus. "Ya ampun, apa kabar kamu, Far?" Gadis itu terkekeh. Ia dipeluk oleh Icha. Lama tak berjumpa dengan salah satu dosen tercantik di kampusnya. "Sudah lama sekali rasanya gak ketemu kamu. Sudah berapa tahun lulus nya, Far?" Gadis itu terkekeh. "Ada lima tahun kayaknya, Bu." Icha tersenyum kecil. Rasanya sudah lama sekali dan mahasiswa-mahasiswinya berkembang sepesat ini tentu saja menjadi hal yang menyenangkan baginya. Setelah basa-basi sebentar, Icha memaksa keduanya untuk masuk ke dalam rumah. Kalau Lala sih niatnya datang untuk berguru pada Icha. Gadis itu bekerja di konsultan lingkungan yang baru dibangun omnya dan perlu bimbingan. Sementara kakak sepupunya ini hanya kebetulan ikut karena Lala menjemputnya dari kampus tadi. Ia memang sering berkunjung ke perpustakaan kampus UI yang di Depok. Perpustakaannya kan besar dan asyik pula nongkrong di dekat danaunya. Adem dan segar seketika. "Duduk dulu ya, Bunda ganti baju dulu," pamit Icha pada dua gadis yang sudah duduk di sofa ruang tamu. Keduanya mengiyakan saja dan mengambil duduk di sofa. Latisya sibuk membuka catatan yang harus ia diskusikan bersama Icha. Sementara sepupunya hanya diam dan kalem saja. Matanya tertarik melihat tanaman-tanaman di halaman depan rumah yang menurutnya cantik. Apalagi tadi, dosennya yang mengurus sendiri tanaman-tanaman itu. "Iiih! Ada kakak cantiiik!" Si Adel muncul, baru keluar dari kamar Farras. Belum mandi sore dan masih bau khas bangun tidur siang. Belum cuci muka juga tapi sudah menyapa Latisya dengan girang. Latisya terkekeh. Ia sudah kenal dengan Adel karena pernah bertemu sebulan lalu di rumah ini. "Hai, Adeeeel!" sapa gadis itu. "Iih! Adel pengen nanya deh!" seru gadis kecil itu. Ia baru teringat sesuatu ketika melihat wajah Latisya. Sepupunya Latisya yang duduk, memerhati Adel. Adel lucu sih, gemesin, badannya berisi lagi tapi gak mau dibilang gendut. Mulutnya bawel dan kadang terlihat sangat centil. Mukanya penuh ekspresi pula. Hal yang membuat gadis itu terkekeh. "Nanya apa?" Adel menjinjit, berupaya berbisik ditelinga Latisya yang sedang duduk di sofa. "Kakak udah punya pacar belum?" Latisya terkekeh. "Emangnya kenapa?" "Soalnyaaaaaa--" Farras yang baru selesai membenahi halaman belakang, muncul dari dapur dan melirik ke arah ruang tamu. Ia merasa mendengar suara perempuan dan benar saja.... "Kak Farras!" Lala langsung menyapa dengan melambaikan tangan. Fokusnya teralihkan pada Farras yang muncul dari dapur. Farras terkekeh. Ia langsung datang menghampiri. Omong-omong Farras suka dengan gadis ini karena bawel dan berniat juga untuk menjodohkannya dengan abangnya. Tapi saat Farras tanya pada gadis ini, ia menolak. Padahal Bunda juga setuju kalau gadis ini dengan Farrel. Gadis ini menolak karena tak tertarik dengan Farrel. Farrel bukan tipenya, katanya. Latisya kan suka cowok yang lucu gitu. Humoris. Farrel? Jauh sekali dari itu. "Main, La?" "Iish! Kakak Farras! Adel kan lagi nanyain Kakak Lala!" protes Adel. Gadis itu kesal karena obrolannya terganggu oleh kedatangan Farras. Farras terkekeh. Dasar si bawel, pikirnya. "Mau nanyain apaan sih emangnya?" tanya Farras dengan gemas. Ia mencubit pipi Adel. Gadis itu masih fokus menatap Latisya. "Adel itu mau nanya kakak Lala udah punya pacar atau beluum!" Farras menarik pipinya lagi dengan gemas. Pertanyaan gak mutu. Untuk apa pula si Adel nanya-nanya soal itu? "Mendingan juga Adel mandi gih. Nanti keburu Abinya jempuut!" titahnya sambil mencoba menarik tangan Adel tapi gadis kecil itu malah berdecak. Latisya dan sepupunya terkekeh. "Iiish! Adel mau nanya kakak Lala duluuu!" teriaknya lantas berkacak pinggang dengan muka kesal. "Kakak Lala udah punya pacar beluum?" "Buat apaan sih, Del?" Farras heran. "Iiih! Siapa tahu kan mau sama abang Ardan!" serunya. Farras terbahak. Ternyata Adel mikirin jodoh Ardan juga. Kirain cuma Adeeva. "Ardan siapa?" tanya Latisya sambil tertawa. "It--" "Manusia, La," potong Farras dan Adel hendak mengomel andai ia tak mendengar suara Abinya di depan sana. "Anaknya Abi ayoo pulang!" "Iiissh!" gadis kecil itu masih berdecak. Ia mendengus walau tak urung pamit pulang juga. Farras masih terkekeh. Ia melihat Adel yang menghilang begitu masuk ke dalam mobil Om-nya, Akib. Kemudian kembali mengalihkan tatapannya ke Latisya hingga ia tak sengaja melihat ada perempuan lain yang duduk tak jauh dari Latisya. Ia baru sadar kalau ada tamu lain di rumah ini. Ia kira hanya Latisya yang datang. Gadis itu kan memang sering datang sendirian. "Ini siapa?" Gadis yang kini ditatap Farras itu tersenyum lantas mengulurkan tangan. Sejujurnya, ia sudah tersenyum sedarit adi ke arah Farras. Tapi Farras belum menyadari kehadirannya di sini. "Faradina." Dan suara yang menyebut nama itu langsung membuat Farrel terkesiap. Lelaki itu langsung keluar dari pintu kamar hingga pintu kamarnya terbanting dan membuat gaduh. Kepalanya muncul dari atas yang membuat tiga orang di bawah sana mendongak ke atas. "Abang kenapa?" tanya Farras yang terheran-heran. Ditanya begitu, Farrel tersenyum kikuk sambil menggaruk tengkuk kepalanya. Latisya malah melambai-lambai pada Farrel. Omong-omong ia jarang bertemu dengan lelaki itu. Sementara Faradina? Agak kaget. Ia tak tahu kalau ini rumahnya Farrel dan ternyata lelaki itu adalah anak dari dosennya. Ia mana pernah memerhatikan dengan detil kalau foto-foto Farrel bersama wanita selain Shabrina adalah dosennya? Dan lagi, ia tak peduli dengan apapun yang terkait lelaki itu. Ia memang pernah kagum akan prestasi lelaki itu. Tapi ia tak merasa perlu tahu hal yang lain bukan? Termasuk pacar lelaki itu yang beritanya memang sangat santer. Ah, terserah lah, pikirnya. Toh bukan urusannya juga. @@@ "Nah, kenalin nih anak Bunda," tutur Icha pada Fara. Gadis itu hanya menganggukan kepala. Fara kan sudah kenal. "Farrel." Farrel malah tersenyum. Tadi diajak Bundanya untuk ikut bergabung dengan obrolan mereka. Sementara Farras mulai menggunakan insting intelijennya. Ia tak berhenti mengamati perilaku Abangnya yang diam-diam mencuri pandangan ke arah.....Faradina? Mata Farras mengerjab-erjab. Ia tak salah lihat kan? "Anak bimbingan Bunda juga kayak Lala?" tanya Farras pada Faradina. Ia jadi kepo deh. "Bukan. Tapi pernah diajarin Bunda beberapa kali," jawabnya lembut. Farras mengulum senyum mendengar jawaban itu kemudian tanpa sadar melirik abangnya yang menggaruk tengkuk. Fara yang ditanya kenapa abangnya yang malu? Aneh deh! "Dulu Fara ini, Kak. Pernah jadi mapres ya, Far? Lalu pernah juara juga tilawah di kampus. Juara satu," pamer Bunda. Bunda memang hapal sederet prestasi anak didiknya ini. Seperti yang diketahui, Fara memang cukup terkenal di kampus karena prestasi-prestasinya itu. Bahkan banyak dosen yang membicarakannya. Fara cuma menggigit bibir. Malu kalau dibicarakan segamblang itu. Ia merasa bukan apa-apa dan siapa-siapa. "Fara umur berapa?" tanya Farras. Farras tentu kepo karena melihat Abangnya tampak tertarik dengan gadis ini. "Kamu dulu masuk kuliah tahun berapa, Far?" Si Bunda juga menikung pertanyaan. Fara tersenyum kecil. "Tahun 2012, Bunda. Sekarang masih 26." "Sama doong!" sahutnya yang membuat Bunda terkekeh. Latisya malah geleng-geleng. Farras kan emang orangnya ramah dan rame. Jadi banyak tanya. Makanya Latisya gak sungkan datang sendirian ke rumah ini apalagi kalau ada Farras. Obrolannya jadi panjang dan kadang tak berkesudahan. Bahkan Farras sering memintanya untuk menginap di sini tapi kan Latisya gak enak kalau melakukan itu. "Kok baru dibawa ke sini sih La, punya kakak Sepupu yang secantik ini," ucapnya pada Lala yang terkekeh. Fara? Agak malu dibilang cantik sama orang yang menurutnya lebih cantik. Fara sebetulnya takjub dengan tampang cantiknya Farras ini. Walau ia tak heran karena wajah Farras memang seperti duplikat wajah dosennya itu. Cantik sekali. Bagai pinang dibelah dua. "Iih. Kan kebetulan, Kak. Tadi Lala jemput Kak Fara di kampus." "Oh?" Bunda kaget. "Kuliah lagi, Far?" "Iya, Bunda, di SIL," tuturnya yang sedari tadi mengubah panggilannya pada Icha dari Bu menjadi Bunda. Soalnya perempuan itu juga menyebutkan diri sendiri dengan sebutan Bunda. Latisya juga memanggilnya dengan itu. Walau yah, anak-anak di kampus yang menjadi bimbingan Bunda juga pasti memanggilnya dengan sebutan Bunda. Maklum lah, Bunda memang salah satu dosen favorit di fakultasnya. Saat Bunda memutuskan berhenti mengajar di kampus, mahasiswa satu fakultas membuat acara khusus untuknya. Hal yang membuat Bunda sangat terharu karena ternyata ia begitu dicintai mahasiswa-mahasiswanya. Makanya, ia agak berat meninggalkan kampus. "Aaaah," Bunda mengangguk-angguk. "Sudah semester berapa, Far?" "Dua, Bunda." Bunda menganggukan kepala lagi dengan tak sengaja melirik anak lelaki di sampingnya yang mirip cacing perut. Kadang garuk-garuk kepala, garuk-garuk tengkuk, lalu menangkupkan tangan diantara kedua kakinya sambil menunduk. Farras yang sudah memerhatikan sejak tadi menahan tawa. Ada apa dengan Abangnya ini? Apa instingnya benar? "Omong-omong, Bun, Lala mau nanya soal yang Lala kirim ke Bunda itu loh," Latisya mengingatkan maksud dan tujuannya ke sini. Icha langsung teringat. Tadi perhatiannya teralihkan dengan kehadiran Fara dan tingkah laku anak sulungnya yang tak biasa itu. Icha langsung menjelaskan mengenai strategi untuk mengembangkan konsultannya untuk lebih besar, menggaet pelanggan dan dokumen-dokumen lingkungan yang bisa disusun Latisya. Ada banyak pertanyaan dari Latisya mengenai hal-hal yang belum ia mengerti. Sementara Fara menyimak karena ia juga tertarik. Toh Om-nya juga mengajaknya bergabung agar dapat membantu. Sementara Farrel sesekali menatap ke arah perempuan yang tampak serius menyimak penjelasan Bundanya itu. Farras? Menyimpul senyum lantas menyenggol lengan Abangnya ketika hendak beranjak dari sofa. Mungkin namanya cinta? Ah, Farrel bagai lelaki remaja yang baru pertama kali jatuh cinta. Jujur saja, sikap Fara yang sebetulnya biasa-biasa saja itu tampak luar biasa dimatanya. Apalagi sesekali tertawa mendengar candaan Bunda. Senyum manisnya itu yang memikat. Tawanya bahkan terdengar begitu syahdu. Tak lama obrolan berganti membicarakan climate change, khususnya carbon capture. Hanya saja, Bunda kurang tahu alhasil malah ikut berdiskusi dengan Farrel yang mulai menjelaskan apa yang ia tahu dengan sepatah-patah karena grogi. Fara hanya menambahkan apa-apa yang kurang dan itu membuat Bunda senyum-senyum misterius sambil melirik anak sulungnya. Insting Bunda benar kan ya? "Kalau begitu kenapa gak coba ke Swiss langsung, Bang? Kan ada industrinya di sana. Melihat-lihat dengan mengadakan study tour begitu barangkali diizinkan," usul Bunda. Tapi Fara tentu keberatan menilik biaya ke luar negeri itu mahal. Apalagi ke Swiss, perlu VISA juga. Untuk seukurannya, ia merasa terbebani. "Iya kan, Far? Ya paling banyak 10 orang gitu bareng anak-anak S1. Sistemnya dipilih. Hasilnya nanti harus dipresentasikan oleh pesertanya. Untuk biayanya kan Abang bisa cari sponsor. Pasti banyak itu yang bersedia jadi sponsornya. Apalagi kalau nama abang yang dibawa!" Farrel mendadak gagu. Ia bisa saja melakukannya tapi bagaimana dengan perempuan yang duduk di seberangnya itu. Apakah akan setuju dengan rencana Bunda? "Eung....," Fara terdiam. Ia sebetulnya sih setuju. Apalagi bisa dapat pembelajaran langsung di Swiss kan kece tuh. "Ya sih, Bunda. Tap--" "Gak usah tapi. Coba aja kalian susun, urusan biaya Farrel yang urus. Iya kan, Bang?" tutur Bundanya lantas mengedipkan mata. "Tauk ih! Paling banyak juga biayain 15 orang selama 3-5 hari. Masa gak ada sih? Buat beli rumah aja mampu," nyinyir Farras dari dapur. Bunda terkekeh mendengarnya. Latisya ikut tertawa. "Gimana, Far?" Farrel memastikan sekali lagi. Fara yang terpojok tentu saja mengiyakan. Setelah itu, dilanjutkan dengan membicarakan kegiatan masing-masing. Kalau Latisya kan memang sudah berhenti bekerja di kantor sebelumnya dan fokus membantu om-nya. Kalau Fara sibuk dengan kuliah dan jurnal-jurnal dosen. Bunda banyak sekali menanyakan jurnal-jurnal yang ditulisnya sehingga obrolan kedua orang itu tampak asyik. Mengabaikan Farrel yang tak bisa ikut dalam obrolan. Lala? Izin ke kamar mandi sebentar sementara Farras sibuk di dapur untuk menyiapkan makanan berbuka puasa. Tak lama kedua orang itu pamit. Bunda sudah menawarkan untuk berbuka puasa bersama di sini. Tapi keduanya kompak menolak. Tentu saja tak enak hati. "Sering-sering loh mampir ke sini. Bunda senang karena ada yang nemenin," tutur Icha usai cipika-cipiki dengan kedua gadis itu. Keduanya kompak tertawa kecil. Bunda ini memang sudah populer di kalangan mahasiswa karena bisa diajak ngobrol ala anak gahul begitu deeeh! "Iya, Bunda," jawab Fara. Ia bingung harus menjawab dengan kata apalagi. Latisya cuma nyengir. Ia sih memang sering mampir ke sini. Sementara Farras berdeham kuat saat kedua gadis itu masuk ke dalam mobil. Farras melirik Abangnya yang menghela nafas tak rela melihat Fara pulang. Lalu tak lama, mobil itu melaju pesat keluar dari pekarangan rumah mereka. Berganti dengan mobil Fadlan yang baru pulang dari rumah sakit. "Ada siapa?" tanya lelaki itu begitu keluar dari mobil. "Si Lala." "Yang waktu itu?" Farras langsung menyahut. "Iya, Pa! Yang mau Ras jodohin sama Abang tapi dianya gak mau dan Abang juga gak mau," terang Farras yang membuat Papanya tertawa. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN