Fadlan mengobrol sebentar dengan Marshall usai tarawih. Obrolannya tak jauh-jauh dari kegiatan selama ramadhan. Masjid di komplek perumahan ini pastinya selalu mengadakan kajian khusus tiap ramadhan. Juga belajar tilawah. Biasanya Farrel ikut bergabung untuk mengajar tapi ia absen tahun ini. Terlalu banyak event yang harus ia hadiri. Mulai dari acara resmi sampai acara seperti berbuka puasa bersama. Bahkan Farrel juga agak jarang berbuka puasa di rumah. Dan apakah Bunda mengomel karena hal itu? Tentu saja!
"Makanya, Bang, cari istri biar betah di rumah! Jadi Bunda juga gak ngomel-ngomel muluuuu!"
Itu omelan Farras. Adik perempuannya itu meski sudah punya rumah sendiri kadang suka nimbrung buka puasa di rumah. Apalagi disaat ia sedang ikut berbuka puasa di rumah dan itu seolah menjadi kesempatan Farras untuk memgomelinya. Bunda dan adik perempuannya itu memang sedang gencar mencari jodoh untuknya. Sudah banyak perempuan yang ditawarkan tapi berkali-kali ia tolak dengan alasan bisa mencarinya sendiri.
"Menikah itu kan untuk ibadah, Bang. Selain memang dapat menyenangkan hati. Papa kamu juga dulu rajin pulang ke rumah waktu awal-awal menikah," Bundanya lanjut mengomel. Tapi omelannya agak-agak menyerempet ke suaminya yang sudah tertawa kecil di sofa. Suaminya tau kalau ia juga sedang disindir keras karena terlalu sering buka puasa di rumah sakit pada ramadhan tahun ini. Anak perempuannya juga terkekeh. Sudah tahu lagu Bundanya. Kalau mengomeli satu orang di rumah ini pasti akan menyerempet ke yang lain. Baru puas kalau sudah mengomeli semuanya. Hahaha!
Tak lama, Fadlan pamit pulang bersama Farrel yang sudah sedari tadi menunggunya. Farrel sih hanya mengobrol sebentar dengan Ando. Tapi Ando sudah pamit pulang duluan ke rumah Bunda beberapa menit yang lalu.
"Duluan nak Farrel," pamit Om Irwan yang juga sedang mengobrol dengan Om-nya, Wira. Farrel hanya mengangguk. Ia biar kan lelaki tua itu pamit pulang dengan dibantu cowok yang katanya keponakannya. Farrel merasa pernah bertemu dengan cowok itu tapi ia lupa kapan bertemunya dan di mana bertemunya.
"Betul, Bang, gosip itu?" tanya Fadlan begitu berjalan berdampingan dengan anak sulungnya. Fadlan bertanya dengan senyuman kecil. Farrel? Ia malas ditanya soal itu. Ia juga tak tahu kalau beritanya akan jadi sebesar ini. Hanya gara-gara Shabrina memposting foto bersamanya dan Bunda kala itu di i********:, akun-akun dan berita gosip langsung membuat kabar fitnah soal kabar pacaran mereka. Sudah tiga minggu lalu terjadi sejak berita itu trending tapi hingga sekarang masih belum reda. Apalagi Shabrina tampak menikmatinya. Gadis itu makin sering menempelinya seolah mengiyakan berita besar itu. Farrel? Sialnya, ia mulai terbiasa dengan keberadaan gadis itu di sekitarnya. Tidak seperti saat-saat awal yang membuatnya gemetaran hebat tiap ditinggal berdua. Belajar dari sana, ia mengontrol diri dan semakin mendekatkan diri pada Allah. Ia sadar betul bahwa ia hanya lah manusia yang berlumuran dosa. Yang ia sadari ketika gemetar kala itu adalah rasa syukurnya karena tak pernah berpacaran. Karena mungkin kalau ia berpacaran, ia akan mampu melakukan hal-hal di luar batas yang tak bisa ia bayang kan. Ia jadi paham kenapa Allah tidak membuat Zakiya jatuh cinta padanya kala itu. Karena kalau Zakiya sampai jatuh cinta, ia mungkin akan memacarinya, melupakan syariat dan entah zina apa saja yang dilakukannya. Wallahu alam. Hanya Allah yang tahu. Tapi ya, begitu lah hikmah dibalik takdir buruk tentang patah hatinya saat itu. Karena ternyata, Allah hanya ingin menjaga kemurnian hatinya.
Fadlan menepuk-nepuk bahunya. "Perempuan memang begitu. Ada yang maunya mengejar, ada yang maunya dikejar. Gak apa-apa, Bang. Siapa tahu jodoh," tutur Fadlan. "Kita kan gak pernah tahu jalan jodoh itu seperti apa. Papa dulu juga mengejar Bunda begitu. Setelah sekian tahun ternyata dipertemukan lagi. Memang yang namanya jodoh itu tak akan ke mana. Tapi harus ada usaha juga untuk mendapatkannya. Nah, ini anggap saja salah satu jalan dari usaha itu. Meski bukan Abang yang usaha," tuturnya lantas terkekeh.
Fadlan bukannya mendukung, hanya mungkin bisa jadi jalan mencari jodoh untuk anak sulungnya ini. Kalau Icha kan betul-betul melarang hal itu. Wanita itu tidak suka dengan perempuan-perempuan itu. Sementara Fadlan berpikir, nanti anaknya akan bisa membimbing perempuan itu ke jalan yang benar. Begitu simpelnya pemikiran Fadlan karena menganggap anak sulungnya ini mampu. Sementara Farrel tak yakin akan bisa membimbing perempuan seperti itu. Ia saja kewalahan menghadapi diri sendiri. Boro-boro membimbingnya.
Farrel lebih memilih perempuan yang sedari awal sudah terjaga. Agar ia tak terlalu berat mendidiknya ketika sudah berumah tangga. Karena jujur saja, Farrel lebih memilih untuk memfokuskan diri membangun rumah tangga dengan dasar agama yang kuat juga saling mengajari anak-anak agar dapat mendidik anak-anaknya menjadi anak-anak yang soleh dan solehah. Ia ingin fokus ke sana. Bukan lagi mengajari istri dari nol tentang agama. Itu akan sulit sekali menurutnya. Mungkin orang lain menganggapnya mampu. Tapi ia tak merasa seperti itu.
Sementara itu, semakin dekat dengan rumah, semakin kencang suara Farras terdengar. Hal yang membuat Papanya terkekeh sementara Farrel menghela nafas. Ia tahu kalau akan diomeli lagi oleh Farras malam ini. Tiap bertemu Farras di mana pun, ia memang selalu diomeli sih. Omelannya memang tak jauh-jauh dari urusan perempuan.
"Abang!"
Tuh kan, cibirnya dalam hati. Farras itu kalau sudah mengomel, panjangnya lebih dari gerbong-gerbong kereta api. Lebih panjang lagi dari omelan Bundanya. Mana gak berhenti pula. Gak pakek titik dan koma lagi. Ando saja sudah mengeluh padanya selama beberapa hari ini dan ikut-ikutan menawarkan beberapa perempuan padanya agar ia segera menikah. Hal yang membuat Farrel mendengus. Ia ingin mencarinya sendiri atau barangkali Allah berkenan mempertemukan? Yaaa siapa yang tahu sih jalannya ketemu jodoh? Ada mungkin yang bertemu jodoh di jalan. Ada mungkin yang bertemu di bangku kuliah. Kalau ia? Farrel sih tak tahu akan bertemu di mana. Yang jelas, ia juga menunggu-nunggu hal itu terjadi.
"Abang tuh jangan iya-iya aja kalau sama perempuan. Kalau gak mau tuh ngomong, Baaaaang!" omelnya. "Perempuan itu kalau gak ditegasin jadinya ya begitu. Sekali-kali menolak kan gak apa-apa dari pada dikira suka! Itu malah bikin baper cewek-cewek tauk, Bang! Terus nambah-nambahin gosip yang gak bener lagi!"
Fadlan mengelus kepala anaknya yang sudah berasap penuh emosi itu. Ia terkekeh sambil menggelengkan kepala lalu duduk di sebelah istrinya.
"Kenapa lagi?"
"Itu loh, Pa, si Shabrina!"
Fadlan terkekeh. Ia merasa lucu melihat emosi anak perempuannya. Istrinya juga. Makanya istrinya sekarang males bicara karena agak ngambek dengan suaminya ini. Suaminya sama sekali gak membela sih.
"Ya kan anaknya baik, gak apa-apa."
Farras berdesis. Farrel lebih memilih kembali ke kamarnya dari pada ia pusing kepala mendengar omelan Farras yang tak penting.
"Baik aja gak cukup kali, Pa. Ras itu pengennya Abang itu dapet yang solehah!"
"Ya kan nanti bisa dibimbing Abangmu biar solehah."
"Iiissshhh!" Farras tambah kesal mendengarnya. Itu juga yang membuat Icha senewen setengah mati pada suaminya ini. "Ya kalo bisa dapet yang solehah kenapa harus yang kayak gitu?! Memang sih Ras gak berhak menghakimi seseorang dari penampilannya. Tapi siapa pun tahu, Pa, yang solehah itu yang kayak gimana. Apa solehah itu pakek baju terbuka? Yang sobek sana-sini? Pakek bikini dipamer-pamerin? Biar dibilang seksi gitu sama netijen? Enggak kaaan!"
"Ya kan tadi Papa bilang kalau Abangmu bisa bimbing," tutur Fadlan dengan santai. Ia sama sekali tak terpancing emosi anak perempuannya yang sangat menggebu ini.
"Iishh! Papa gak ngerti konteksnya deh!"
Fadlan terkekeh. "Terus yang bagaimana?"
"Ras itu maunya Abang nyari yang solehah. Yang mau nutup aurat karena cintanya sama Allah bukan cinta sama Abang. Yaaaa....Ras gak tahu sih ke depannya, siapa pun bisa berubah. Tapi menurut Ras, itu akan jadi tugas besar dan beban berat buat Abang kalau jadiin istri yang seperti itu! Gimana enggak? Emangnya Abang bisa menjamin kalau foto-fotonya yang tidak menutup aurat itu akan menghilang sempurna? Bisa jadi loh disimpan sama orang-orang yang mungkin nge-fans. Terus Abang mau gitu terus menanggung dosa itu sampai liang lahat nanti?"
Fadlan tertawa kecil. Ia berpindah ke sofa di mana Farras duduk lantas merangkulnya dengan hangat. "Abangmu bahkan belum memutuskan untuk menikah."
"Farras tauuu, Paaa! Cuma kan Farras pengennya Abang nyari yang solehah biar nanti waktu nikah, tugas Abang itu gak berat. Abang bisa fokus sama anak misalnya. Biar anak-anak turunannya jadi solehah dan atau soleh. Kan madrasah pertama bagi anak itu adalah orang tua, terutama ibu. Kalau ibunya saja masih belajar dari dasar tentang agamanya lantas bagaimana mau mengajar anaknya?"
Fadlan menepuk-nepuk bahu Farras. Ia bangga kok dengan kepahaman Farras. Sementara istrinya mengangguk-angguk kencang. Itu juga yang diinginkan Icha. Persis seperti omongan anak perempuannya ini.
"Ras, kita itu gak pernah tahu bagaimana tingkatan iman seseorang. Bisa jadi, yang menurut kita mereka banyak melakukan dosa, di waktu yang akan datang, imannya jauh di atas kita karena sekalinya tobat ia men--"
"Pa! Ada berapa banyak sih yang tobat dibanding yang enggak? Papa mau pakek perhitungan kemungkinan bakalan dapet hidayah gitu? Ya, Ras tau sih siapapun bisa berubah. Tapi kan perubahan itu dari keinginan diri bukan menunggu. Hijrah itu kita yang mencari dan menjemputnya bukan menunggu. Kalau dihitung dia sudah hidup 25 tahun dan masih begini saja, lantas ngapain aja selama 25 tahun ini? Apa gak pernah baca Quran dengan memahami artinya kalau menutup aurat itu wajib bagi setiap muslimah?"
@@@
Farras memang bebal kalau sedang keras kepala. Jadi semua dalih Papanya hanya akan dimentahkannya. Ya, Farras bukannya mau mendiskreditkan orang lain. Ia hanya mau Abangnya mendapatkan yang terbaik. Kenapa? Karena menurutnya, Abangnya lelaki yang baik-baik jadi sudah sepantasnya mendapat yang baik pula. Lalu Farrel?
Farrel sedang duduk di atas tempat tidurnya. Ia menyandarkan punggungnya sambil membuka buku yang baru saja dibelinya. Buku tentang pernikahan. Ia sedang mempelajari ilmu-ilmu tentang pernikahan dan bagaimana menjadi suami yang baik yang akan menuntun keluarganya ke surga. Lalu soal Shabrina?
Farrel belum tertarik dengan gadis itu. Selama ini, ia tak pernah tertarik dengan perempuan yang membuka auratnya. Kenapa? Karena alasan yang mungkin terdengar sepele tapi baginya, itu adalah hal yang sangat krusial. Apa? Karena ketika seseorang perempuan muslimah yang sudah baligh tapi tak kunjung menutup aurat yang ada dipikirannya adalah dua hal. Pertama, perempuan itu tidak tahu. Menurutnya perempuan yang seperti ini sangat menyia-nyiakan hidupnya. Kenapa? Yaa...kenapa ia tidak mencari tahu? Atau setidaknya belajar tentang agamanya? Tapi kebanyakan sudah tahu kalau mereka wajib menutup aurat. Namun masih belum dilakukan bukan? Naaah ini lah yang akhirnya memunculkan alasan kedua. Apa? Ya ..bebal dan menantang Allah. Bagi Farrel, hal sekecil apapun yang dilakukan jika itu bertentangan dengan Allah maka itu bukan masalah sepele. Coba bayangkan saja, perintah Allah saja tidak dijalankan apalagi perintah darinya?
Jadi, calon idaman Farrel itu sederhana sekali. Apa? Yang patuh pada perintah Allah. Sederhana bukan? Tapi susah dicari. Karena perempuan seperti itu laksana mencari mutiara di tengah luasnya lautan. Mungkin hanya ada satu dari sekian ratus juta perempuan yang ada di bumi ini. Lalu kamu? Iya, kamu. Mau memperbaiki diri biar bisa jadi perempuan idaman lelaki soleh seperti Farrel? Mau? Kalau mau, mari ubah niatnya. Perbaikilah diri bukan untuk si dia tapi untuk Dia yang Sempurna.
Hei, kamu yang dituliskan untukku. How are you?
@@@
Rel, Mama ngajak bukber bareng besok. Kamu bisa? Mumpung Mama ada di Jakarta.
Itu pesan dari Shabrina yang tak sengaja dibaca olehnya. Omong-omong sejak tersiar kabar dirinya pacaran dengan gadis ini, hanya tersisa Shabrina yang menempelinya. Perempuan-perempuan lain sudah mundur teratur. Ini membuatnya entah harus senang atau sedih. Walau jumlahnya hanya tersisa satu, tapi menangani Shabrina tidak lah mudah. Gadis itu tak pantang menyerah. Hal yang membuat Farrel kadang pusing kepala. Padahal pesannya tak pernah digubris Farrel. Seperti hari ini, ketika Shabrina kembali menanyakan kepastian untuk buka bersama. Gadis asal Riau itu memang keras kepala. Farrel cuma memijit-mijit kepalanya. Pusing.
"Bos!"
Aswin, sekretarisnya, baru saja membuka pintu ruang kerjanya. Ia mengangkat kepalanya. Kemudian berdeham sembari menatap sekretarisnya itu.
"Meeting dengan Pak Fadli diundur besok pagi jam 10, bos," lapornya.
Farrel mengangguk. Ia sudah tahu kaba ritu karena tadi, Om-nya menelepon langsung. Kemudian Aswin pamit tapi tak lama, lelaki itu kembali membuka pintu ruang kerjanya. Farrel mendongak. Ada apa lagi?
"Bos!" Aswin nyengir. Sadar betul kalau tampang bosnya terlihat kusut dan sepertinya terganggu dengan kelakuannya. "Aswin lupa bilang kalau besok, ada agenda untuk meninjau lokasi gedung baru. Tadi sekretarisnya Pak Adit melapor kalau mereka bisa melakukan survey bersama besok siang."
Farrel berdeham sebagai jawaban. Tapi sekretarisnya itu tak menyimak dehemannya itu. "Atur saja jadwalnya," titahnya. Aswin membalas dengan cengiran. Kali ini ia benar-benar menutup pintu ruang kerjanya Farrel dan tak membukanya lagi.
Farrel menghela nafas panjang. Perasaan hampa ini menderanya ketika sedang suntuk dengan berbagai pekerjaan. Papanya bilang, cara terbaik untuk melupakan perempuan adalah dengan tenggelam dalam pekerjaan. Tapi Farrel sangsi dengan kata-kata Papanya itu. Bagaimana mungkin Farrel bisa percaya kalau Papanya saja tak move on dari Bunda yang kala itu memilih meninggalkannya? Hihihi.
Dan saat mengalihkan matanya sebentar ke layar ponsel, ia mendapati pesan dari Bundanya. Padahal baru saja wajah Bundanya terlintas dibenaknya.
Bang, hari ini buka puasa di rumah?
Keningnya mengerut. Ia mengetik sesuatu untuk membalas pesan Bundanya. Apakah Bundanya berniat berbuka puasa berdua saja dengan Papanya?
Kenapa, Bunda?
Bunda lupa kalau ada acara sama temen-temen Bunda. Abang kalau mau pulang, buka puasanya di rumah Farras aja atau rumah Oma.
Farrel menghela nafas. Kalau adik perempuannya itu tak banyak mengomel sih, ia pasti akan memilih untuk menumpang buka puasa di sana. Taaapi, ia sedang malas meladeni Farras yang mulutnya tak berhenti berkicau tentang jodoh untuknya. Ia juga inginnya menikah kok. Beneran deh! Karena tak ada yang menghibur hatinya dikala suntuk begini...ihiy!
Farrel menghela nafas panjang lantas memejamkan mata. Ia jadi kangen jodoh euy! Hahahaha! Teruntuk kamu yang entah di mana dan sedang apa, Farrel ingin mengirim sebuah doa bernama cinta. Ihiy!
Namun beberapa detik kemudian ia dikagetkan dengan dering ponselnya. Masih dengan memejamkan mata, ia mengangkat telepon itu. Ia baru akan mengucapkan salam tapi suara bawel itu langsung menyemprotnya.
"Iiih! Ras kirim pesan dari tadi siang juga gak dibalas-balas!"
Farrel menghela nafas. "Assalamualaikum, Ras," sapanya yang sekaligus menyindir. Adiknya menjawab salamnya walau setelah itu mendengus.
"Udah baca pesan dari Ras belum?" tagihnya tapi Farrel tak menjawab. "Itu loh si Nina, yang kerja sama Farras di yayasan kan suka tuh sama abang. Mau gaak? Anaknya baik kan? Solehah juga! Abang juga udah kenal!"
Farrel cuma menghela nafas. Farras mulai lagi dengan beragam tawaran jodoh untuknya. Ia menolak berkali-kali pun percuma. Tak digubris sama sekali.
"Baaaaang!"
Farrel menghembuskan nafas panjang. Ia lelah juga menghadapi semua ini. "Abang mau solat dulu, Ras. Sudah ashar," pamitnya lantas mematikan telepon tidak penting dari adiknya itu. Farras tentu mencak-mencak di seberang sana. Tapi Farrel rak perduli lah. Ia malah beranjak ke toilet untuk mengambil wudhu. Biasanya, ia selalu solat berjamaah di masjid tapi kali ini ia ingin solat ashar sendirian. Ia berlama di dalam sujudnya. Dalam setiap sujud solatnya, ia memang selalu meminta sesuatu yang amat sangat ia ingin kan akhir-akhir ini. Doanya memang tak jauh-jauh dari jodoh. Usai solat, ia segera beranjak lagi dan kembali menatap laptop. Hampir satu jam berlalu, ia hanya fokus pada pekerjaannya hingga....
"Tuh, Ma, kerja terus," tutur gadis yang tadi membuat Farrel pusing. Gak cuma tadi tapi sampai sekarang. Farrel tentu saja kaget. Apalagi saat ia membuka mata, ia mendapati perempuan itu datang bersama Mamanya.
"Halo, nak Farrel," sapa perempuan cantik berkerudung ala-ala istri pejabat. Maklum lah, ia memang istri salah satu bupati di Riau.
Mau tak mau Farrel menyambut uluran tangannya. Ia tentu tak bisa bersikap tak sopan pada orang tua bukan? Lalu menawarkan wanita itu untuk duduk dan meladeni obrolannya. Yeah, hanya seputar pekerjaan dan keluarga. Farrel terpaksa menceritakan begitu banyak hal tentang keluarganya yang dibumbui oleh informasi tambahan dari Shabrina. Shabrina memang sudah banyak tahu tentang keluarga Farrel karena beberapa kali datang ke rumah dan rajin menghubungi Bundanya. Walau kadang Bunda malas menanggapinya. Farras apalagi. Tak satu pun pesan dari Shabrina yang dibalas Farras. Ya, Shabrina tahu sih kalau adik perempuannya Farrel itu tak menyukainya. Tapi ia sebodo amat. Toh, ia merasa niatnya baik kok. Kalau tak bisa mengambil hati Farras, ia tak masalah. Kan masih ada Bunda. Dan lagi, kalau jadi menikah dengan Farrel, Farras tak punya hak apa-apa untuk menolaknya dong.
Ibunya Shabrina tentu terkesan dengan Farrel. Lelaki nan rupawan dan juga kaya itu memikat hatinya. Apalagi beritanya santer sekali dengan anaknya. Kalau Shabrina sih tidak memperjelas apapun. Ia sengaja melakukannya biar semua orang berasumsi kalau ia memang kekasih Farrel. Hingga ibunya juga percaya kalau keduanya memang berpacaran. Ya lah. Siapa yang tak mau mempunyai Farrel sebagai menantu? Farrel mapan dan keluarganya adalah keluarga konglomerat. Menjanjikan bukan?
Satu jam kemudian Farrel sudah terjebak bersama ibu dan anak itu di sebuah restoran mewah. Farrel kembali menghampiri keduanya usai berjamaah di masjid. Ia juga bilang kalau tak bisa lama menemani karena mengejar tarawih. Hal yang membuat ibunya Shabrina semakin jatuh cinta. Shabrina? Hanya tersenyum bangga ke arah ibunya kalau ia tak salah memilih lelaki.
"Berarti Mama kamu sudah gak kerja lagi?"
Farrel mengangguk. Ibunya Shabrina ini juga berpikir yah, untuk apa bekerja sebagai dosen yang penghasilannya tak seberapa dibanding ayahnya Farrel yang memiliki banyak rumah sakit hingga luar negeri. Belum lagi properti keluarga besar Farrel. Berkat Farrel, nama Adhiyaksa naik pamor lagi setelah sempat menyurut selama sepuluh tahun terakhir. Punya menantu seperti Farrel tentu investasi yang sangat fantastis untuk masa depan. Ya kan?
Ia tak akan pusing tentang hidup anak perempuannya. Tak akan susah sampai tujuh turunan sekalipun.
"Usia kamu berapa, nak?"
"26, Bu," jawabnya singkat. Kalau hanya ditanya-tanya, memang jawabannya akan singkat. Dan Farrel memang malas memperpanjang obrolan. Ia hanya menghormati perempuan ini saja seperti hormat pada orangtua lainnya.
"Kalian hanya beda setahun," gumam ibunya. Wanita itu menatap serius ke arah Farrel. "Mungkin Shabrina akan lebih sibuk sampai menjelang Miss Universe nanti. Kamu harus maklum nak Farrel," tuturnya.
Shabrina tersenyum kecil sambil menyenggol lengan ibunya. "Farrel tau kok, Ma. Lagi pula yang lebih sibuk itu kan Farrel bukan Brina," tuturnya dengan senyuman tipis yang mengarah ke Farrel. Farrel? Hanya diam menyimak. Ia enggan nenatap Shabrina sedari tadi. Kenapa? Itu loh bajunya yang sedikit memperlihatkan belahan dadanya. Hanya sedikit tapi sudah membuat Farrel gemetaran dalam diamnya. Godaannya berat sekali ya Allah! Mana puasa! Haduuh!
"Mama kan hanya mengingatkan. Kamu sibuk dan Farrel juga sibuk. Kalian harus pandai-pandai membagi waktu biar hubungan tetap harmonis. Tetap langgeng. Komunikasi juga harus terhubung dengan baik," tuturnya yang berharap penuh pengertian pada Farrel yang sudah pasrah.
Tak lama, Farrel benar-benar pamit dan meminta maaf kalau tak bisa mengantar pulang meski itu hanya basa-basi. Farrel sebetulnya ingin mengatakan kalau ia tak punya hubungan apapun dengan anaknya pada ibunya perempuan itu tapi ia tak enak hati melakukannya.
@@@