Gadis Cantik Brukat Navy

2917 Kata
Biasa, Rel. Restoran tahun kemarin. Itu pesan dari Yogi. Sahabatnya dikala SMA. Ia hendak berangkat untuk acara berbuka puasa bersama dengan teman-teman laki-laki di SMA-nya dulu. Mereka selalu membuat acara ketika bulan ramadhan tiba begini. Acara berbuka puasa bersama dikala kesibukan masing-masing. Waktu memang begitu cepat berlalu hingga tanpa sadar, ia sudah lama sekali lulus dari SMA-nya. Farrel menaruh ponselnya di atas nakas kemudian berjalan masuk ke kamar mandi. Ia sudah berjanji untuk ikut berbuka puasa lagi ditahun ini. Meski mungkin hanya sebagian kecil dari geng pertemanan mereka yang masih sendiri. Seperti dirinya. Hihihi. Yogi, sahabatnya yang sekaligus mantan dari mantan gebetannya Farrel, sudah lama menikah bahkan memiliki anak perempuan yang berusia enam tahun. Farrel teringat terakhir dikala Yogi melakukan pengakuan dosa. Meski Farrel bilang untuk tak menceritakan aibnya tapi sahabatnya itu tak bisa. Semenjak masuk kuliah di Bandung, Yogi salah memilih teman. Teman-temannya di sana hobi mabuk-mabukan dan main perempuan. Yogi kala itu sudah putus dengan Zakiya. Ya, Zakiya, perempuan yang pernah ditaksir Farrel kala SMA. Tapi saat awal-awal perkuliahan, Zakiya masih mengejar Yogi dan berkali-kali mengajak balikan. Lantas keduanya balikan? Tentu saja. Tapi Zakiya diselingkuhi. Yogi punya pacar juga di kampusnya di Bandung. Ia hanya berpacaran dengan Zakiya ketika kembali ke Jakarta. Kejadian itu berlangsung selama setahun pertama kuliah. Memasuki tahun kedua, Zakiya sepertinya sadar kalau diselingkuhi. Bahkan ketahuan ketika Zakiya dengan sengaja datang ke Bandung dengan alibi mengunjungi abangnya, Andra yang memang kuliah di sana. Andra kan kuliah di Universitas Padjajaran. Yogi kuliah di Universitas Pasundan. Kedua kampus itu masih sekitaran Bandung dan tak jauh-jauh amat letaknya sehingga Zakiya tentu bisa memantau Yogi. Tapi sebelum Yogi kepergok selingkuh oleh Zakiya, Andra sudah tahu duluan. Andra lah yang seolah memberi kode pada adiknya kalau Yogi punya pacar di sana. Lantas putus? Tidak. Zakiya masih bodoh kala itu. Ia terlalu buta akan cintanya hingga mau-mau saja mengemis pada Yogi agar mereka tetap bersama. Namun satu bulan kemudian, Yogi tiba-tiba memutuskan Zakiya. Alasannya? Lelaki itu hanya bilang kalau ia bosan pada Zakiya. Zakiya tentu merana. Bahkan beberapa kali bolak-balik ke Bandung untuk menyusul Yogi. Tapi hasilnya? Yogi dipukul Andra. Karena sudah menangisi adiknya dan membuatnya terluka. Yogi tetap pada keputusannya kala itu untuk tetap putus dan Zakiya....patah hati parah. Beberapa bulan kemudian, tiba-tiba Zakiya mendapat kabar kalau Yogi sudah menikah. Farrel yang juga mendengar kabar itu tentu kaget bukan kepalang. Pasalnya, saat itu memang hubungan Yogi dan Farrel renggang karena urusan dengan Zakiya. Yogi kan marah karena Farrel tak pernah bilang jika punya perasaan pada Zakiya. Lelaki itu lebih memilih persahabatan dibanding urusan percintaan. Semua anak SMA di angkatan mereka tentu bertanya-tanya dengan pernikahan Yogi. Pasalnya, posisi mereka masih kuliah semester tiga. Dan lagi, mereka tahunya kalau Yogi berpacaran dengan Zakiya. Ketika dikonfirmasi apakah Zakiya yang dinikahi Yogi? Ternyata bukan. Yogi menikahi pacarnya yang satu kampus dengannya. Perempuan itu dihamili Yogi dengan tidak sengaja. Karena ulah teman-teman Yogi yang mencecokinya dengan alkohol juga obat perangsang. Beberapa bulan kemudian, Yogi tiba-tiba menghubungi Farrel dan menceritakan segalanya. Farrel agak marah saat itu karena ia merasa tak perlu mendengar cerita aib itu. Tapi Yogi bilang kalau ia menceritakan itu karena rasa bersalah menjauhinya selama hampir dua tahun. Farrel tak masalah dan sudah melupakan kasus kerenggangan di antara mereka. Namun rasa bersalah itu lah yang selalu mengintai perasaan Yogi. Kini sahabatnya itu sudah banyak berubah. Bahkan seringkali mencandai Farrel agar cepat menikah saja. Farrel hanya berdeham mendengarnya. Tapi ia senang dengan perubahan hidup Yogi.  Usai mengingat kejadian lalu itu, Farrel beranjak keluar dari kamar mandi. Hanya dengan mengenakan handuk, ia bercermin. Ia mengatur rambutnya kemudian membuka lemari baju. Keningnya mengerut, mencari-cari kemeja yang hendak ia kenakan. Meskipun sudah membuka seluruh pintu lemari, ia tak menemukan kemeja itu. Sementara di ruang keluarga sana.... "Rejeki, jodoh, anak kan Allah yang atur, yang," tutur Fadlan sambil merangkul erat istrinya yang matanya memerah memikirkan perasaan anak perempuannya. Walau Farras tak menunjukan kesedihan tapi Icha tahu rasanya. Ia teringat kala terakhir meminta untuk hamil lagi pada suaminya tapi suaminya ini tak mau. Makanya hingga sekarang, anaknya yaa hanya tiga orang ini. "Doain aja anak kita biar bisa hamil. Atau si abang suruh nyusul aja kalo kebelet kepengen cucu," tambahnya yang membuat istrinya tersenyum kecil. Sejujurnya Icha tahu kalau semua itu sudah diatur. Hanya saja, orang tua mana yang tidak risau? Dan benar kata suaminya, doakan saja. Toh Allah tahu yang terbaik. Mungkin saat ini, anak perempuannya nasib dididik untuk dapat menjadi ibu yang baik bagi cucu mereka. Sekarang masih diminta sama Allah untuk belajar dan agar lebih dekat dengannya. "Buuun!" Suara anak sulungnya terdengar. Icha mendongak ke atas. "Kenapa, Bang?" "Liat kemeja Abang gak, bun?" "Yang mana?" tanya Icha sambil beranjak. "Yang putih, Bun." Icha berjalan menaiki tangga. Ia menghampiri anak sulungnya. "Ada di lemari, Bang," tuturnya. Ia ingat karena terakhir, ia yang menaruhnya di dalam lemari. Farrel mengikuti gerakan tangan Bundanya yang gesit mencari kemejanya. "Mau sampai kapan Bunda terus yang cariin kemejanya, Bang?" nyinyir perempuan itu sambil mengambil kemeja putih dan menyerahkannya pada Farrel yang kini garuk-garuk tengkuk. Bundanya ini, dikit-dikit nyindir jodoooooh mulu. Kalau sudah ketemu, ia juga tak akan menunda kok. Pasti diajak ta'aruf. Hihihi! "Jangan lama-lama loh, Bang. Jangan kayak Papamu itu," tutur Bundanya sambil keluar dari kamar. Farrel tersenyum kecil. Ia biar kan Bundanya keluar sementara ia mengancingkan kemejanya di depan cermin. Ia sih tidak mematok usia untuk menikah. Ia tak menargetkan itu. Tapi ia selalu mempersiapkan diri kalau-kalau suatu saat Allah mempertemukannya dengan jodohnya. Ia kan tak tahu kapan waktu yang indah itu datang. Yang penting, ia siap kan segalanya. Mulai dari finasial dan ilmunya. Jadi ketika ia menemukan perempuan yang membuatnya tertarik, ia akan langsung mengajaknya ta'aruf. Jika lancar, ia tak akan menunda untuk menikahi perempuan itu. Uhuy! "Ke mana lagi, Bang?" sergah Bundnaya begitu melihatnya sudah rapi ketika baru keluar dari kamar. Farrel menjawab sembari mekipat lengan kemejanya hingga siku. "Abang ada acara bukber sama temen-temen SMA, Bun," tuturnya sekaligus pamit kemudian segera berjalan menuju mobilnya. Ia mengendarai mobilnya menuju restoran di sekitar Depok. Janjian dengan apa sahabatnya memang tak jauh. Ia tiba di sana dua puluh menit kemudian. Sahabat-sahabatnya sudah mengacungkan tangan kemudian bertoss ria dengannya. "Gue denger-denger, ada yang lagi deket sama Puteri Indonesia niih!" ledek Heri selaku mantan ketua kelas mereka dulu. Farrel hanya berdeham saja. Enggan menanggapi. Aedari ia datang tadi pun, ia sudah diledek habis-habisan persoalan gosip-gosip tidak penting itu. "Bener, bro?" tanya Yogi usai menyenggol lengan bahunya. Farrel hanya menghela nafas dan itu membuat Yogi terkekeh. "Gue kira lo masih suka sama si Zakiya," ungkitnya. Farrel sih sama sekali tak memikirkan Zakiya. Cinta yabg sudah lalu ya biar lah berlalu saja. Tak perlu diungkit-ungkit lahi karena perasaan siapa saja bisa berubah. "Gue dengar-dengar dari anak-anak si Zakiya makin keren sekarang. Sering jadi pembicara di seminar hijrah juga. Bahkan terakhir, gue dengar dia mau nyalonin diri jadi anggota DPRD." Sebelah alis Farrel terangkat. Ia baru mendengar kabar yang satu ini. Politikus? Ya melihat Zakiya yang memang jago bicara juga debat itu sih tidak heran. Malah cocok. Kalau pun kabar itu benar, ya bagus sih. "Gue pikir nih ya, melihat keadaan lo yang udah mapan begini, lo bakalan datang melamar Zakiya. Eh ternyata....," Yogi masih menyerocos dengan delikan-delikan yang meledek Farrel. Ia kira kalau Farrel banyak berubah. Apalagi dengan berita yang sangat santer itu. Tapi Yogi memaklumi sih. Karena Farrel kan lama di luar negeri. Mungkin perubahan gaya hidup, pikirnya. Toh, siapa saja bisa berubah. "Tapi benar gak sih lo sama cewek itu?" Farrel hanya mendengus begitu mendengarnya. Yogi tertawa. Mulai paham arti dengusan itu. "Lumayan kali, bro! Cakep begitu!" Farrel menghela nafas.panjang. Cewek cantik di mana-mana itu banyak. Yang cantik lagi solehah ini mungkin yang susah dicari. @@@ Kalau kemarin-kemarin, Farras sibuk sekali menawarkan Zakiya padanya, kini Ando yang menawarinya perempuan untuk dinikahi. Ia memijit keningnya ketika Ando mengirimkan CV ta'aruf perempuan yang katanya masih sepupunya Izzan, suami Tiara. Ternyata sepupunya Izzan itu pernah melihat Farrel ketika Tiara dan Izzan menikah. Saat itu, ia belum berani karena masih kuliah. Kini setelah dua tahun lulus kuliah, ia mencoba menawarkan diri. Ando diminta Izzan untuk menyampaikan CV ini pada Farrel yang kini menghela nafas. "Amanah," tutur Ando kala itu. Tapi tatapan Ando seperti sedang meledeknya. "Nanti telepon ya, Bang, kalau mau," lanjut adik iparnya itu sebelum pamit. Kini Farrel menghela nafas. CV itu sama sekali tak ia buka. Pertama, ia memang tak tertarik. Kedua, ia memang lebih ingin mencari sendiri. Meski ia sudah pernah mengatakan itu pada Ando tapi Ando tak enak hati pada Izzan jika menolak dimintai tolong. Makanya, Ando tetap menyampaikan amanah itu. Setidaknya ia aman dengan urusan amanah itu dan apakah tawaran ini akan diterima atau tidak oleh Farrel itu urusan nanti. Yang penting ia sudah menyampaikan. Baru hendak fokus lagi pada pekerjaannya, ia diganggu oleh panggilan telepon dari.... Om Wira? Keningnya mengerut. Walau tak urung diangkat dan ia langsung menyahut salam dari Om-nya itu. "Ada apa, Om?" tanyanya. Seingatnya, urusan pekerjaan dengan Om-nya sudah beres. Eh? Atau urusan rumahnya? Ia baru inhat lagi kalau ia memang sudah membeli rumah bekas yang rencananya akan direnovasi dalam waktu dekat. "Material yang kamu pesan terakhir masih belum ada, Rel." Aaah. Benar ternyata perkiraannya. Urusan material bangunan. Ia mengangguk-angguk. "Gimana? Mau cari dari yang lain saja? Om ada banyak kenalan kalau mau." Farrel berdeham. "Dari Om saja. Farrel gak terburu-buru kok, Om." "Beneran kamu?" Farrel mengiyakan. Toh ia memang ingin merenovasinya secara total nanti. Tapi kan nanti. Entah satu atau dua bulan lagi pun ia tidak mematok kapan waktu tepatnya. Mungkin ketika tiba-tiba jodohnya tiba baru ia akan merenovasi rumah itu dengan cepat. Hihihi! Kalau sekarang kan memang tidak darurat amat. Ia masih lebih suka tinggal di rumah Papanya dari pada tinggal sendirian. "Baik lah kalau begitu, Rel." Om-nya berdeham. Belum niat untuk menutup pembicaraan. "Sudah ada calon, Rel?" Rasanya Farrel ingin sekali menepuk kening. Kemarin, Om Regan juga menanyakan hal yang sama. Ketika ia bilang tidak ada calon, laki-laki itu juga menawarkan seorang perempuan padanya. Sebetulnya Wira juga sama. Ingin menawarkan perempuan pada Farrel. Karena pesan yang ingin ia sampai kan pada Farrel ini kan amanah. Meski ya, menurutnya yang lebih darurat jodoh itu anaknya sendiri. Tapi mau bagaimana lagi? Si perempuan itu katanya menyukai Farrel bukan anaknya. Ia bisa apa? "Belum, Om." Farrel menghembus nafas. Ia bosan san san san karena terus menjawab pertanyaan yang sama dari banyak orang. Bukan hanya Om-nya yang bertanya persoalan ini tapi juga rekan-rekan kerja Papanya. Meski sekarang agak-agak sepi. Mungkin efek pemberitaannya yang terlalu santer dengan Shabrina. Bahkan teman-teman SMA-nya saja percaya kalau ia memang punya hubungan khusus dengan gadis itu. "Kebetulan ada teman Om yang menawarkan. Kamu pasti kenal, Rel. Pak Tanjung. Anak bungsunya kan belum menikah. Mungkin seusia kamu juga sekarang dan mungkin kamu juga sering bertemu dengannya?" Farrel menggaruk-garuk tengkuknya. Tentu saja ia mengenal perempuan yang juga punya startup sendiri. Bahkan beberapa minggu lalu sempat menjadi bintang tamu bersama dengannya di sebuah acara nasional. Kadang kalau diundang ke Istana Negara, perempuan itu juga selalu hadir. "Eung, Om..." "Ya, Rel?" "Farrel cari sendiri aja," tolaknya secara halus. Kemarin ia juga mengatakan ini pada Om-nya, Regan. Wira menghela nafas di seberang sana. Ia memahami keputusan Farrel. "Gak apa-apa, Rel. Lain kali saja kalau begitu," tuturnya lantas tak lama dari itu, ia pamit. Farrel menghela nafas lega usai menaruh ponselnya di atas meja. Sementara di lantai satu gedung kantornya sudah heboh dengan kedatangan Puteri Indonesia. Meski mereka amat sering melihatnya datang ke kantor ini menilik lelaki yang katanya kekasihnya adalah pemilik gedung ini. Sore ini ia mengenakan baju brukat berwarna navy yang berpotong lurus, membentuk lekuk badan montoknya. Brukat bunga-bunga itu tampak cantik dan membuatnya terlihat anggun. Lengan bajunya panjang hingga siku. Panjang bajunya sampai pertengahan betisnya. Ia dapat bocoran dari Mas Dava yang bilang kalau Farrel tak ikut buka bersama dengan gengnya karena ada acara buka bersama keluarga besar. Hal yang membuat Shabrina bertanya-tanya kenapa lelaki itu tak mengajaknya. Padahal menurutnya, hubungan mereka sudah dekat. Kadang Farrel menanggapi obrolannya meski lebih banyak diamnya. Kadang Farrel membalas pesannya meski hanya membalas hal yang penting saja. Teleponnya? Tentu saja tak pernah diangkat. Telepon ibunya juga jarang diangkat. Alasannya sibuk. Dan ibunya memahami itu. Lalu apa yang membuat Shabrina masih bertahan padahal ditanggapi dengan begitu dingin? Karena Farrel tak terlihat tertarik dengan perempuan lain lah yang membuatnya percaya diri. Asumsi kalau Farrel itu gay ia buang jauh-jauh. Dari yang ia amati, Farrel itu rajin beribadah jadi tidak mungkin gay, pikirnya. Hanya mungkin Farrel belum terbiasa dengan keberadaannya. Dan itu terbukti menurutnya. Kini ia tak melihat Farrel gemetaran lagi ketika ada ia di sekitarnya. Maka kini adalah saatnya meluluhkan hati Farrel. Ia selalu tersenyum pada siapa pun yang menyapanya atau sekedar ikut tersenyum padanya di sepanjang jalan menuju ruangan Farrel. Ia paham kalau mereka semua ini adalah karyawannya Farrel. Dan barangkali, ia akan menjadi nyonya di sini? Yuhuu! Membayangkannya sudah membuatnya tersenyum lebar. Gimana enggak? Lelaki yang dipuja-puja banyak perempuan akhirnya jatuh kepadanya. Tentu saja ia sangat bahagia. Ia cinta mati pada lelaki itu dan ia akan memastikan kalau suatu saat nanti, Farrel akan masuk ke dalam pelukannya. Semua hanya perlu waktu dan kesabaran. Ia tahu untuk mendapatkan sesuatu yang terbaik memang perlu usaha yang ekstra dan kesabaran yang luar biasa. Toh ia akan untung sekali kalau mendapatkan lelaki ini. Sudah ganteng, cerdas, tajir pula. Paket sempurna bukan? "Win!" panggilnya. Ia sudah akrab dengan lelaki yang menjadi sekretarisnya Farrel itu. Ia juga banyak mengorek jadwal kerja Farrel dari lelaki itu. Kadang juga bertanya soal perempuan-perempuan lain yang mungkin menggoda Farrel yaa melalui Aswin ini. Lantas apakah Aswin membocorkan? Hahaha. Tentu. Karena kadang Aswin terlalu polos menanggapi Shabrina dan berkali-kali ditipu gadis itu. "Farrel ada?" Aswin mengangguk dengan senyuman. Ia tentu mengagumi perempuan ini. Siapa yang tak tertarik? Cantik, pintar, Puteri Indonesia, dan...seksi? Woho! Lihat saja bentuk tubuhnya. Meski tak memakai baju yang seksi tapi gaun itu sukses membentuk tubuhnya yang menonjol disana-sini. Lelaki mana pun pasti suka. Parasnya juga cantik lagi. "Saya lihat dulu ke dalam, Bu," tuturnya yang diangguki Shabrina. Sementara Aswin masuk ke ruangan Farrel, Shabrina disapa beberapa karyawan Farrel yang lewat. Ia mengangguk sambil tersenyum tipis. Matanya dengan tak sabar melirik ke dalam ruangan Farrel. Kadang susah sekali menerobos masuk ke dalam ruangan itu. "Nungguin Pak Farrel ya, Mbak Shabrina?" tanya salah satu dari mereka. Ia tersenyum tipis. "Iya nih." "Duuh, senangnya Pak Farrel bisa ketemu pacarnya yang sibuk," tuturnya kemudian. Shabrina terkekeh sementara mereka pamit balik ke ruangan untuk bekerja.  Farrel mendongak saat sekretarisnya mengetuk pintu ruangannya. Aswin, sekretarisnya itu mengulurkan kepala dibalik pintu. Setengah badannya sudah masuk. Tak ada gunanya ia menjulurkan kepala seperti itu. "Ada Bu Shabrina, bos," tuturnya yang membuat Farrel mendesah. Ia paling tidak suka jika ada perempuan yang mendekatinya seperti ini. Kesannya seperti perempuan murahan. "Bilang saja saya masih sibuk," tuturnya yang diangguki oleh Aswin sambil nyengir. Ia sudah tahu sih kalau bos mudanya ini akan menolak. Ia kan sudah kerja di sini satu tahun. Awalnya, ia agak kaget dengan lelaki model Farrel ini. Ternyata masih ada lelaki yang begitu menjaga dirinya dari perempuan-perempuan. Disaat yang lain malah terlena. Ah, tapi kini ia berpikir kalau Farrel sepertinya sudah membuka diri pada Shabrina. Menurutnya sih gak salah. Normal malah. Wong Shabrina secantik itu. Cowok mana yang mau menolak? Omong-omong, ini perusahaan aplikasinya Farrel. Dalam satu gedung yang memiliki 15 lantai ini, semua adalah miliknya. Ia menggabungkan beberapa kantor dalam satu gedung ini. Berbagai macam bisnisnya ada di gedung ini dengan posisi di lantai yang berbeda-beda. Meski masih banyak lantai yang kosong, ia sedang memikirkan bisnis apalagi yang akan dikembangkannya. Urusan rumah sakit? Ia atur dari sini. Papanya tak keberatan toh lelaki itu pun masih mengawasi rumah sakitnya sendiri secara penuh. "Bukannya sebentar lagi jam pulang?" tanya wanita cantik itu. Gadis itu cantik sekali tapi Farrel sama sekali tak tertarik. Ya iya lah, Puteri Indonesia. Meski gadis itu sibuk kesana-kemari, ia masih sempat kan waktu untuk menemui Farrel. Kece kan tuh? Aswin garuk-garuk tengkuk. Ia melirik jam tangannya diam-diam. Instingnya mengatakan kalau bosnya tak akan selamat hari ini. Mana bosnya itu harus segera berangkat ke rumah Opanya. Ia ingat jadwal Farrel hari ini. Bosnya ini kan masih menghindar. "Ndo? Di mana?" Farrel yang diam-diam gelisah, akhirnya memilih menelepon Ando. Ando kebetulan sedang menyetir dan hampir sampai di rumah Opa. "Rumah Opa, Bang," jawabnya sambil membelokan mobilnya masuk pekarangan rumah opa yang sudah ramai dengan banyak mobil. Keningnya mengerut karena begitu ramai. "Ada apa, Bang?" Farrel menghela nafas. Ia gagal. "Oke," tuturnya lalu mengucap salam. Diam-diam ia berupaya mengirim pesan kepada Aswin agar lelaki itu mengalihkan perhatian Shabrina. Sehingga ia bisa keluar dan pulang. "Gue masuk aja ya? Masa masuk aja gak boleh sih?" tuturnya dan langsung berjalan membuka ruangan. Aswin ternganga dan terlambat menghentikan langkah gadis itu. Disaat itu pula, Farrel yang baru beranjak dari bangkunya itu terkaget melihat Shabrina sudah berdiri di pintu. "Susah banget ketemu kamu," tuturnya dengan senyuman cantik yang memukau. Lelaki mana pun pasti akan meleleh. Sayangnya Farrel tidak. Farrel menghela nafas. Ia mempercepat gerak tangannya dan segera memberesi barang-barangnya. Ia tak mau terjebak dengan perempuan ini di ruangan begini. Sementara Aswin sudah meringis di dekat pintu. Ia terlambat menghentikan gadis yang kini sudah duduk di sofa sambil melihat-lihat ruangan Farrel. Ruangan Farrel memang tak berubah meski ia sudah beberapa kali datang. Setidaknya ia tidak menemukan foto perempuan lain selain Bunda dan Farras. "Rel!" panggilnya saat sadar kalau Farrel malah ingin keluar. Ia mulai gelisah kalau hanya ada Shabrina dan dirinya di ruangan ini. Ia sedang puasa hari ini dan tak ingin menghancurkannya hanya gara-gara satu perempuan. "Aku tuh ke sini buat ketemu kamu." Farrel menghela nafas. Ia baru saja membuka pintu demi lari dari perempuan ini. "Sorry, Shab, ada hal lain yang lebih penting." Shabrina langsung berdiri. "Aku tau kamu mau ke mana, ke rumah Opa kan? Ikut ya?" @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN