Savannah [8]

1834 Kata
Ruangan ballroom hotel di sulap menjadi dekorasi resepsi pernikahan yang mewah. Malam ini Sava menghadiri sebuah acara resepsi pernikahan salah satu temannya yang bernama Zia. Mereka merupakan teman satu sekolah menengah atas. Sava juga datang bersama Risa.   “Seharusnya Dafa datang tapi sayang dia harus menyelesaikan pekerjaannya. Padahal ini bisa dijadikan referensi konsep pernikahan kita nanti.” Celoteh Risa saat sudah bersalaman dengan pengantin dan berfoto bersama.  Sava mendengarkan agak sedikit iri dan sedih. Wajar saja ia dan Risa sudah berteman hampir seumur hidup mereka. Dan ketika Sava mengetahui Risa akan meninggalkannya menikah lebih dulu, Sava jadi merasa kehilangan. Setelah acara lamaran tempo hari, dari kedua belah pihak bahwa tanggal pernikahan Risa dan Dafa akan diselenggarakan dalam waktu enam bulan kedepan.  “Hei kau dengerin aku tidak?” Risa menyenggol siku Sava.  Sava menoleh lalu menyunggingkan senyumnya. “Aku bersyukur Dafa tidak bisa ikut karena kau pasti akan sibuk dengannya dan melupakan aku.” Ungkapnya jujur. Risa langsung tertawa. Ia memahami belakangan ini Sava agak lebih sensitive dari biasa nya. “Jangan sensi gitu dong. Kau tidak lupa kan untuk merancang gaun pernikahan kun anti.” Risa mengingatkan.Sava langsung mengangguk. Ia tidak akan pernah lupa, saat pertama kali Risa menceritakan bahwa Dafa sudah melamarnya secara personal saat itu pula Risa menginginkan Savalah yang merancang gaun pernikahannya. Jujur saja Sava merasa sangat tersanjung tapi juga ia merasa agak sedikit minder. “Aku sudah membuatkan beberapa contoh, kau datang saja ke butik ya.”  Wajah Risa langsung sumringah. “Secepat itu?”  Sekali lagi Sava mengangguk. “Aku memang sudah mempersiapkannya semenjak kau meminta pertama kali.”  Risa langsung memeluk Sava sambil berjingkrak-jingkrak ria yang cukup membuat beberapa orang disekitarnya memperhatikan mereka dengan tatapan bertanya-tanya.  “Heh, udah! Gak malu apa diliatin banyak orang?”  “Enggak, sekarang ini aku lagi senang banget. Masa bodo deh sama pandangan orang. Lagipula gak kenal ini.”  Sava mendengus sebal. Ia berusaha untuk menjauh dari Risa. Takut-takut ia juga disangka aneh seperti sahabatnya yang satu itu.  Sava memilih pergi untuk mengambil makanan yang sudah disediakan. Tema makanan itu juga internasional. Tak heran sih karena acara pernikahannya saja di adakan dalam ballroom mewah seperti ini. Mengingat mempelai wanitanya merupakan dari keluarga berada dan yang pasti suami nya juga tergolong orang yang berada pula. Risa mengikuti Sava dari belakang dan mengambil buah-buahan dan pudding dari salah satu stand.  “Sava?” suara yang berat milik seorang laki-laki membuat Sava mendongak dan sedikit terkejut dengan kehadiran pria yang saat itu menolongnya.  “Sabian?” Sava masih mengingat nama nya dengan jelas.  Pria itu tersenyum, “Kau masih ingat rupanya, panggil saja Bian.” Ujarnya mengingatkan.  Sava mengangguk. “Kau datang untuk tamu dari mempelai pria atau wanitanya?” tanya Sava. “Aku teman dari mempelai pria. Kebetulan Yuda adalah teman ku. Kalau kau sendiri?” Jawab Bian. Sava mengangguk mengerti lalu kemudian ia teringat sesuatu.  “Saat itu, terima kasih karena sudah menyelamatkan ku dan juga aku ingin minta maaf karena menolak ajakanmu. Aku harap kau mengerti maksudku.”  Bian tersenyum. “Tidak apa aku paham. Kau pasti merasa risih karena bertemu dengan orang asing yang tiba-tiba saja menolongmu saat itu.” Sava menyunggingkan senyum canggungnya.  “Tapi aku memang tidak punya niat buruk padamu kok.”  “Iya aku tau.” Entah mengapa Sava merasa bahwa Bian memanglah orang yang baik. Sava bisa melihat wajah Bian dengan jelas tidak seperti waktu itu dengan lampu yang temaram dari dalam mobil. Kalau dilihat-lihat Bian mempunyai wajah yang manis juga meskipun ada kesan sangar karena tulang rahangnya melekuk sempurna. Kenapa Sava jadi memperhatikan wajah Bian?  Risa menyenggol Sava dan menyadarkannya. “Siapa dia?” Bisiknya.  “Oh, Bian kenalkan dia sahabatku, Risa.” Sava mengenalkan sahabatnya, Risa kepada Bian.  Bian mengulurkan tangannya. “Bian.”  “Risa,” Risa menerima uluran tangan Bian.  “Baiklah lebih baik aku pergi dulu ya aku takut menganggu kalian.” Sava mengangguk saat Bian memutuskan untuk pamit. “Semoga kita bertemu lagi dilain waktu.” Ujarnya lalu kemudian ia berbalik dan menghilang ditengah kerumunan manusia. Sava memperhatikan Bian sampai ia tidak lagi melihat punggung pria itu. Lalu kemudian pandangannya beralih ke Risa yang rupanya sejak tadi sudah memperhatikan Sava.  “Sepertinya ada yang berbeda dari cara pandangmu?” Risa berkomentar. Sava mengerutkan kening. “Aku tidak mengerti maksudmu.”  Risa mengibaskan tangannya. “Siapa dia? Kayaknya kalian baru bertemu?”  “Ya memang kami baru bertemu. Malam itu ia menolongku kabur dari makan malam bersama Tristan.” Risa membelalakan kedua matanya. “Serius?” Sava mengangguk. “Nanti akan ku ceritakan.” “Semuanya.”   ***   Setelah mengurung diri cukup lama di kamarnya, Tristan akhirnya keluar kamar dengan kondisi yang sudah cukup dibilang mendingan dari tempo lalu. Meskipun sekarang raut wajahnya kentara jelas bahwa ia seperti mempunyai beban yang berat.  Fiza yang melihat Tristan sudah mulai beranjak dari kamar nya langsung datang menghampiri. “Kau sudah baikan?” tanya nya masih cemas. Tristan mengangguk.   “Kau mau kemana?” Tristan tidak menjawab. Ia terus berjalan mengambil kunci mobil dan membawanya melesat ke jalanan yang padat. Sementara Fiza masih menatapnya cemas. Ia tidak mengindahkan pertanyaan Mama nya yang sudah dari kemarin bertanya tentang keadaan Tristan.  “Sebaiknya Mama tanyakan langsung dengan kak Tristan. Fiza gak punya wewenang untuk ngomong.” Cuma itu yang bisa di ucapkan Fiza lalu ia memutuskan untuk pergi. Sudah beberapa hari ini Fani melihat ada sesuatu yang tidak beres dengan anak sulungnya. Hari itu ia pulang lebih cepat dengan kondisi yang mengkhawatirkan. Tatapannya kosong dan ia seperti tidak punya semangat untuk hidup. Fani sudah bertanya namun ia tidak mendapatkan jawaban karena Tristan tidak membuka suara sedikitpun.  ***   Sava selesai menjelaskan detail hasil beberapa rancangannya kepada kedua calon pengantin yang merangkap menjadi sahabatnya. Risa dan Dafa datang langsung ke butik milik Sava untuk melihat sketsa gaun pengantin yang akan di pakai pada saat Akad dan Resepsi pernikahan mereka.  “Menurut ku yang ini bagus, sayang.” Dafa menujuk salah satu gambar dari tiga gambra yang di berikan Sava. “Yang ini simple dengan tidak begitu banyak detail, tapi masih terlihat elegan jika dipakai.” Sava menambahkan. Ia tau sekali selera Risa dalam berpakaian dan sejak kecil mereka selalu membayangkan akan memakai gaun pengantin yang seperti apa. Bahkan dulu mereka sempat berjanji untuk menikah pada hari yang sama dan dalam satu pelaminan yang sama. Namun apa boleh buat jika jodoh Risa datang lebih cepat dari jodoh Sava sendiri.  Risa sendiri masih memperhatikan beberapa gambar yang diberikan oleh Sava sambil beberapa kali tersenyum. “Aku suka yang ini, Baby.” Ungkap Risa menunjukkan sketsa yang lain dari pilihan Dafa.  “Yang itu juga bagus.” Dafa mengangguk.  “Tapi pilihan kamu  juga bagus, aku jadi bingung.”  “Kamu pake apapun juga tetap cantik, Sayang.”  Lama-kelamaan Sava jadi agak bête lantaran melihat sepasang kekasih dihadapannya bertingkah mesra padahal mereka tau kalau Sava belum menemukan jodohnya yang entah sampai kapan datangnya. Namun Sava cukup professional, ia menempatkan dirinya sebagai perancang sedangkan Risa dan Dafa adalah client nya. Setelah perdebatan yang cukup panjang akhirnya Risa memilih gaun pilihannya. Sava tidak cukup terkejut karena pilihan Risa sudah bisa ditebaknya dari awal sebelum ia membuatnya. Sebuah gaun pengantin berwarna putih gading dengan sedikit kemilauan dengan lengan Sabrina menjadi pilihan Risa. Konsep resepsi pernikahan mereka sendiri bertema internasional sedangkan untuk Akad mereka memilih serangkaian acara adat hasil keputusan kedua orang tuanya.  Ketika sudah saarnya Dafa untuk kembali ke kantor, Risa memilih tinggal bersama Sava untuk mengajaknya pergi kecoffee shop langganan mereka. “Kau lagi?” tanya Sava mencoba menahan intonasi pada suaranya. Sedangkan Risa yang menatap Sava bingung hanya diam dan mencoba menelaah apa yang sedang terjadi. “Aku ingin bicara padamu.” Sava menghembuskan napas berat. “Aku rasa diantara kita sudah tidak ada yang perlu di bicarakan.” Tristan menggeleng. “Enggak semudah itu kamu lari. Urusan kita belum selesai dan tidak akan pernah selesai. Aku gak akan menyerah untuk bikin kamu kembali lagi sama aku, Sava.”  Sava tidak mengerti lagi apa mau nya Tristan ini. “Aku sudah berlari darimu sejak delapan tahun yang lalu, dan itu tidak mudah. Sekarang saat hidupku sudah teratur kau muncul kembali hanya untuk mengacak-acak hidupku lagi? Gak. Aku gak akan biarin kau melakukan itu. Urusan kita sudah selesai.”  “Tidak Sava, aku akan bertanggung jawab atas apa yang pernah aku lakukan pada mu. Aku tidak akan lagi melepaskanmu.”  “Tanggung jawabmu udah kadaluarsa. Udah gak ada lagi yang perlu kamu pertanggung jawabkan. Sekarang lebih baik kamu pergi dari sini sebelum aku akan menyeretmu dengan paksa.” Sava tetap berbicara santai.  Seseorang datang diantara mereka, dia adalah Justin dan juga ada Bian disebelahnya. Sava mengenali Justin dan juga sebaliknya. Justin sudah memperhatikan apa yang sedang terjadi sejak tadi. Ia baru berani melangkah ketika ada pelanggannya yang sudah merasa tidak nyaman.  “Maaf, kalau hanya menganggu ketenangan pelanngan sebaiknya anda bergegas pergi dari kafe saya.” Ujar Justin kepada Tristan.   Mereka terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya Tristan melangkahkan kakinya keluar. Sava mendesah lega diiringi dengan tatapan Risa yang memandangnya dengan pandangan bertanya-tanya. Sava mengangguk lemas dan seketika itupula Risa mengerti apa yang terjadi. Ia langsung memegang pundah Sava takut kalau-kalau Sava tidak bisa menopang tubuhnya sendiri. Sedangkan Bian terus memandangan Tristan dengan pandangan tidak suka.   ***   Keadaan Sava sempat shock lantaran Tristan masih berusaha menemuinya, setelah Sava diberi minuman ia sudah agak sedikit lebih tenang.  “Kau sudah tidak apa-apa?” tanya Bian. Sekarang Bian dan Justin ikut bergabung bersama Sava dan juga Risa.  Sava memandang Bian lalu mengangguk. “Kita ketemu lagi.” Bian menyunggingkan senyumnya. Justin memandang Bian dengan pandangan bingung.  Sava membalas senyuman getir. “Maaf kalau pertemuan kita tidak pernah menyenangkan.”  “Tidak usah dipikirkan.”  “Tadi itu Tristan yang kau ceritakan?” tanya Risa berhat-hati. Sava menjawab dengan anggukan. Selama ini Risa memang belum pernah bertemu langsung dengan Tristan. Risa bersedekap lalu mengelus pundak sahabatnya itu.  “Jangan khawatirkan, dia tidak akan berbuat yang macam-macam.”  “Sorry kalau aku sebenarnya sudah mendengar pembicaraan kalian. Sepertinya kalian punya satu masalah yang besar. Dia mengancam mu?” Justin ikut berbicara.  Sava tidak menjawab. “Kami hanya salah paham dulu.” Jawab Sava singkat.  “Tenangkan dirimu, kalau kau butuh bantuan. Aku dan Bian siap membantu.” Ujar Justin. Sava tersenyum. “Terimakasih, tapi ini tidak akan berlangsung lama.”  “Lebih baik sekarang kita pulang deh.” Usul Risa setelah melihat keadaan Sava yang berubah menjadi tidak mood setelah pertemuannya dengan Tristan. Sava pun menyadari dan akhirnya setuju dengan usul Sava.  “Apa tidak apa-apa kalian pulang sendiri?” tanya Bian.  “Lebih baik kalian di antar oleh satu orang pria yang bisa menjaga kalian.” Justin membuka suara.  “Aku bisa mengantar kalian pulang. Tentunya kalau kalian tidak keberan.”Bian menawarkan diri. Risa memandang Sava yang masih mempertimbangkan.  “Betul Sa, aku sedikit khawatir dengan mu setelah bertemu langsung dengan Tristan.” Risa memandangan Sava serius. Setelah itu Sava melihat Bian dengan tatapannya yang menyakinkan. Lalu Sava mengangguk tanda menyetujui usulan Bian.    ***        
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN