Butuh waktu cukup lama untuk Sava memutuskan untuk menerima tawaran Bian. Ia belum terbiasa untuk menerima perlakuan dalam bentuk apapun dari pria lain, sudah lama rasanya ia tidak menerima perlindungan dari seorang pria. Selama ini ia sudah cukup terbiasa untuk melakukannya dengan sendiri. Tapi ia teringat kembali dengan ucapan Risa beberapa hari yang lalu untuk mencoba membuka hati pada pria lain. Ia pun melihat Bian dan memperhatikan raut mukanya. Lalu akhirnya Sava pu mengangguk.
Setelah mengantarkan Risa pulang ke apartemennya, Sava menujukkan arah jalan menuju rumahnya. Selama diperjalanan mereka tidak banyak mengobrol. Bian juga cukup membuatnya nyaman karena tidak banyak bertanya. Sava hanya membuka suara untuk menunjukan jalan rumahnya. Sampai akhirnya mereka sudah sampai didepan sebuah rumah dua tingkat berwarna putih gading dan dengan gerbang yang menjulang tinggi.
“Terima kasih banyak, maaf aku sudah merepotkan mu dua kali.” Sava teringat saat ia ditolong oleh Bian untuk pertama kalinya tempo hari saat ia mencoba untuk lari dari Tristan.
“Aku tidak merasa di repotkan.” Bian menyungingkan senyum. “Semoga ini tidak membuatmu risih.”
Sava menggeleng. “Tidak lagi.”
“Masuk dan istirahatlah.”
Sava mengangguk. Ia membuka pintu dan bersiap untuk keluar.
“Sava…” Bian memanggilnya.
Sava menoleh. “Aku senang bisa mengantarmu.”
"Terima kasih banyak, Bian.” Ujar Sava tersenyum lalu keluar dari mobil. Bian baru beranjak pergi setelah memastikan Sava masuk ke dalam rumahnya.
***
Bian tidak bisa menahan lagi. Ia menyunggingkan senyumannya sepanjang jalan pulang dan menyalakan lagu di mobilnya. Rasanya sudah sekian lama ia tidak merasakan sesenang ini hanya karena melihat seorang wanita. Setelah kejadian pengkhiatanan yang dilakukan Jasmine, Bian menutup diri rapat-rapat dan pada akhirnya ia bertemu dengan Sava dan langsung membuat perasaaanya berubah begitu saja.
Aneh memang ketika ia mengetahui begitu mudahnya ia menyukai seseorang. Tapi ketika ia melihat Sava ia merasa ada sesuatu didalam diri Sava yang memanggil dirinnya. Terlebih lagi saat Sava terlihat seperti ingin melarikan diri dari sosok Tristan yang belakangan ini tampaknya sedang menganggunya. Bian merasa Sava butuh pertolongan dan perlindungan. Bian merasakan ada getaran aneh dari dalam dirinya ketika bersama Sava.
***
Keesokan harinya, Sava memutuskan untuk tidak datang ke butik. Ia hanya menginginkan waktu untuk beristirahat sehari untuk memenangkan pikirannya dari masalah yang sedang dihadapi nya sekarang ini. Pagi hari setelah Sava selesai mandi, ia langsung turun dari kamar dan melihat ibu nya sedang bersiap untuk membuat sarapan.
“Kamu enggak ke butik hari ini?” Hana melihat penampilan putrinya yang hanya memakai kaus rumahan lengkap dengan celana pendek selutut.
Sava menggeleng, “Lagi pengen dirumah.” Lalu ia membantu ibu nya menyiapkan sarapan untuk mereka bertiga. Sava tidak banyak berbicara selama sarapan di meja makan. Ia hanya mendengarkan Ibu nya yang bercerita tentang ibu-ibu tetangga yang ternyata membicarakan Sava lantaran belum menikah juga. Bahkan setelah pertemuan yang direncakanan oleh Hana gagal lantaran ternyata laki-lai yang mau dijodohkan dengan Sava adalah orang yang paling tidak mau ia temui saat ini. Sava pun masih belum berani untuk bilang bahwa Tristan adalah mantan pacarnya. Ia tidak ingin melukai hati kedua orang tuanya lagi.
Setelah sarapan, ayahnya sudah pergi sedangkan ibu nya langsung menuju halaman belakang rumahnya untuk mengurus beberapa tanaman. Sedangkan Sava mengambil n****+ yang belum sempat ia baca padahal sudah lama ia membelinya. Ia memilih spot membaca di sudut ruang kamarnya yang ia sulap menjadi spot membaca lengkap dengan Single Sofa dan lampu baca namun karena ini masih pagi, Sava cukup membula jendela kamarnya saja. Hari ini Sava ingin menghabiskan waktu untuk memanjakan dirinya dan melepas sementara masalah yang sedang ia hadapi. Tapi ditengah kedatangan Tristan yang sudah membuat hidupnya rumit ada Bian yang ternyata membuat Sava nyaman dengan keberadaannya.
***
Sabian baru saja selesai menandatangani beberapa berkas dan ia menaruh nya di suduh meja untuk diambil lagi oleh staff nya. Waktu sudah menunjukkan sore hari dan Bian memilih memutuskan untuk pulang lebih awal, tapi ia tidak langsung pulang ke rumahnya melainkan mampir ke Coffee Shop milik Justin.
Untuk sampai di café, hanya memerlukan waktu sekiranya dua puluh menit dari kantor Bian. Sesampainya disana, Bian langsung memesan kopi dan makanan ringan dan langsung memilih tempat duduk disalah satu sudut ruangan. Tidak membutuhkan waktu yang lama dan pesanannya pun datang. Diikuti oleh Justin yang juga baru muncul dari ruang pribadinya di lantai dua.
“Sudah ku bilang, kau memang jadi lebih sering datang kesini belakangan ini.” Ujar Justin ketika baru saja menghempaskan tubuhnya disofa.
Bian hanya mendelik dan melemparkan tatapan penuh tanya.
“Kemarin kau gila kerja, pulang larut malam dan besoknya langsung kerja lagi. Tidak ada waktu untuk datang ke tempat ini.”
Bian tidak menjawab, ia memilih untuk menyesap kopi nya. Tapi Justin tidak langsung menyerah begitu saja. “Kemarin aku melihat tatapan mu pada pria yang datang kesini.”
Bian mengerutkan keningnya.
“Jangan pura-pura lupa. Kita tidak pernah terlibat apapun dengan hubungan seseorang sebelumnya.”
“Oh, itu. Aku hanya tidak suka cara dia bersikap terhadap wanita. Aku pernah bertemu dengannya sebelumnya.”
Kali ini giliran Justin yang mengerutkan kening. “Kau bertemu dengannya?” tanya sekali lagi hanya untuk menyakinkan.
Bian mengangguk. “Tempo hari aku bertemu dengannya sedang bertemu dengan Sava, kemudian Sava seperti tidak nyaman dan memilih untuk pergi. Aku menolongnya saat itu. Aku memberikan tumpangan karena saat itu ia tampak kebingungan mencari taksi.”
Justin memandang takjub Bian yang ada didepannya. selama berteman dengan Bian. Ia terhitung jarang sekali mau mencampuri urusan orang lain. Tapi pendengarannya kali ini membukakan matanya. “Kau ternyata sudah Move On. Kau jatuh cinta pada Sava kan?”
Bian tidak tergelak ketika mendengar pertanyaan Justin namun ia tidak langsung menjawabnya. Ia terdiam cukup lama dan menanyakan hal yang sama pada hatinya sendiri.
“Ketika kau belum pernah melakukan sesuatu yang tidak pernah kau lakukan dahulu, ketika kau merasa sangat ingin mencampuri urusan orang lain, kemungkinan besar kau jatuh cinta. Ya, sepertinya aku memang jatuh cinta pada Sava.” Ungkap Bian yang tidak kalah membuat Justin terkejut.
“Aku turut senang mendengarnya, Bro. Tapi Sava bukanlah wanita yang mudah. Walaupun aku belum sering berinteraksi dengannya namun entah kenapa aku bisa melihat dari sorotan matanya bahwa ia bukanlah seseorang yang mudah untuk diselami. Ia terkesan menutupi sesuatu dan pastinya itu bukanlah sesuatu yang menyenangkan.” Ungkap Justin.
Bian tercenung beberapa saat. “Ya aku juga berpikiran seperti itu.” Bian masih teringat betul sorotan kemarahan Sava yang terpancar dari matanya saat bertemu dengan Tristan bukanlah tatapan kemarahan biasa. Pastinya Tristan telah melakukan sesuatu yang buruk terhadapnya yang membuat Sava enggan memaafkan pria itu.
“Aku tau kau bukan tipikal orang yang sedang bermain-main. Tapi kalau kau yakin dengan perasaanmu, kau harus sedikit lebih berjuang.” Justin berpesan.
“Ya, aku tau.”
***
Sava memasuki butiknya pagi hari dan sudah mendapat beberapa laporan dari assistennya, tidak ada yang begitu penting selama ia meninggalkan butik beberapa hari ini dan itu membuat Sava merasa bersyukur akan kehadiran Lita yang sudah banyak membantunya sejak awal terbentuknya butik ini. Sebagai rasa terimakasih, siang ini ia berencana untuk mentraktir Lita di Coffee Shop langganan nya yang berada diseberang butik.
“Bu ada yang ingin bertemu.” Lita muncul dari balik pintu kaca ruangan kantor Sava. Ia langsung bergidik ngeri, pasalnya selama beberapa minggu terakhir ia selalu diteror dengan kedatangan tamu yang tak diundang.
“Siapa?”
“Pak Bian, bu.” Sava langsung menghembuskan napas lega ketika mendengar nama Bian disebutkan. Ia langsung bangkit dari kursi dan merapihkan setelan blouse dan celana linen dan segera berjalan keluar ruangan.
Bian sedang berdiri menghadap salah dinding yang ditempel sebuah pigura yang menampilkan rancangan gaun milik Sava. Bunyi sepatu hak Sava rupanya menyadarkan Bian pada sosok yang datang, ia menoleh dan tersenyum ketika melihat Sava datang menyambutnya.
“Maaf menganggu mu pagi ini.” Ujar Bian terkekeh.
“Kau tidak mengganggu. Ada yang bisa dibantu?” bukannya menjawab, Bian malah semakin melebarnya senyumannya.
“Tidak, aku hanya kebetulan lewat dan mampir ke tempat Justin untuk membeli ini untukmu.” Bian mengangkat tangannya yang sedang memegang beberapa kopi yang dijadikan satu.
“Wah, aku tidak tau harus berkata apa selain terima kasih banyak. Tapi ini terkesan merepotkan.”
“Tidak kok, aku kebetulan lewat dan sekalian ingin menanyakan kabarmu?”
Sava tersenyum malu, “Aku sudah baikan.”
“Syukurlah kalau begitu. Aku harus siap bekerja karena akan ada meeting pagi ini, semoga hari mu menyenangkan. Oh ya, kopi mu ada nama yang tertulis di cup nya ya. Selama pagi, Sava.” Ujar Bian tersenyum lalu melambaikan tangannya. Ia pun segera berlalu meninggakan Sava masih diam berdiri ditempatnya sambil memegang gagangan penyangga kopi. Ia lalu menunduk dan mengambil kopi yang ada namanya dan ada tulisan lain di bawahnya.
Semoga hari mu menyenangkan.
Kalimat yang biasa saja namun entah mengapa membuat Sava mampu menyunggingkan senyum beberapa detik setelah membacanya.
***