Setiap orang pastilah mempunyai sebuah masa lalu. Tidak ada bedanya dengan Sava yang juga memilikinya, bedanya apa yang pernah ia hadapi jauh lebih berat dibandingkan dengan teman-teman sebayanya pada masa itu. Ketika Sava memutuskan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi disalah satu kota, pilihannya jatuh pada Jogja yang sudah membuatnya terpikat. Pada awalnya ia memang senang dan sangat antusias menyambut hari baru sebagai seorang mahasiswi namun segala beruubah ketika ia sudah mengenal dengan seorang cowok yang bernana Tristan.
Sava yang sebelumnya tidak pernah jatuh cinta, saat itu langsung menyukai Tristan pada pertemuan pertama kali di sebuah perpustakaan kampus. Sava hanya memandang dan memperhatikannya dari jauh, ia tidak memberanikan diri untuk muncul didepan Tristan. Mengingat saat iitu Tristan merupakan salah satu mahasiswa yang populer. Ada satu kejadian dimana akhirnya Sava bisa mengobrol dengan Tristan dan hubungan mereka berjalan semakin intens. Hingga akhirnya Sava mengetahui bahwa ternyata cintanya tidak bertepuk sebelah tangan.
Saat itu ia merasa menjadi cewek yang paling beruntung sedunia. Dicintai oleh orang yang ia cintai. Tapi, lambat laun Tristan membawa dirinya menjadi pribadi yang buruk, mulai bolos kuliah hanya untuk jalan bersama Tristan. Kala itu, Tristan memang tidak terlalu padat jadwal kuliahnya, dan Tristan tidak begitu memperhatikan jadwal kuliah Sava.
Ketika hubungan mereka sudah memasuki satu tahun. Sava mulai mengetahui bahwa ada sesuatu yang disembunyikan Tristan selama ini. Saat itu ia memergoki Tristan sedang berbicara dengan seorang cewek yang tidak ia kenal. Mereka terlihat mesra, dan barulah Sava menyadari bahwa cewek itu adalah pacarnya Tristan yang sudah menjalin hubungan selama empat tahun lamanya.
Sava merasa dunia nya seketika hancur dan dirinya juga ikut hancur. Kalau hanya melihat bahwa ternyata dirinya hanya menjadi sebuah pelarian belaka, itu bukan suatu perkara yang besar, namun Sava harus menerima konsekuensi yang lebih besar dari perbuatannya. Ia mengenggam sebuah testpack ditangannya yang sudah bergetar hebat. Dua Garis.
***
Sekiranya sudah satu minggu Tristan tidak berniat untuk keluar dari rumahnya, dan itu bukanlah hal yang biasa bagi seorang Tristan yang tipe tidak bisa berdiam diri dirumah. Ia bahkan belum memutuskan untuk bekerja di perusahaan mana, padahal sudah setidaknya lima perusahaan yang ingin menawarkan bekerja sama dengannya namun ia masih belum memutuskan.
“Lulusan luar negeri kok pengangguran.” Ujar seorang perempuan muda yang nyelonong masuk ke dalam kamarnya. Tristan mendelik tidak senang.
“Kalau masuk ke kamari cowok itu ketuk pintu dulu.”
“Santai, kan masuknya juga ke kamar Kakak sendiri bukan yang lain.” Jawab Nafiza, adik perempuan satu-satunya yang Tristan punya.
“Emangnya kamu pernah masuk ke kamar cowok lain selain Kakak?” Tristan menajamkan matanya.
Nafiza terkekeh. “Ya enggaklah.” Ia langsung duduk di sebuah sofa yang terletak di pojok ruangan.
“Ada apa?”
“Gak ada apa-apa. Aku hanya rindu pada Kakak ku yang sekian lama hidup di luar negeri dan baru pulang sekarang.” Ujar Nafiza polos.
“Kau menganggu saja.”
“Kakak ada masalah apa?” tanya Nafiza lagi. Meskipun jarak usia mereka terpaut lebih dari lima tahun tapi Nafiza mempunyai sisi dewasa seperti Ibunya, Fani.
“Memangnya aku terihat seperti sedang ada masalah?”
Nafiza mengangguk mantap. “Jelas sekali. Kau kan tipe pekeja keras kenapa sekarang malah leha-leha dikamar? Apa lagi kalau bukan sedang ada masalah?”
Tristan menghembuskan napas berat. Ia lalu memandang adiknya dengan saksama. “Fiza.” Panggil Tristan pada Nafiza. “Kalau kau disakiti oleh seorang laki-laki dan dia tidak mau menerima permintaan maafmu. Menutumu apa yang harus di laki-laki itu lakukan untuk mendapatkan permintaan maaf.” Jelasnya.
Nafiza menimbang-nimbang. “Kalau sampai seorang wanita tidak mau memaafkan permintaan maaf dari laki-laki yang menyakitinya, pastilah dia sudah melakukan sesuatu yang membuat wanita itu tidak memaafkannya.”
Itu benar. Aku memang sudah melakukan sesuatu yang tidak bisa di maafkan oleh Savabilla. Ujar Batin Tristan.
“Apa kau pernah menyakiti hati seseorang?” tanya Nafiza kepo.
Tristan tidak langsung menjawab. Ia hanya melayangkan matanya menatap langit-langit kamar dengan pandangan yang kosong.
“Aku bahkan membuat hidupnya menderita sedangkan aku bisa bebas bersantai diluaran sana.” Ungkap Tristan. Fiza mengerutkan keningnya tidak mengerti.
“Memangnya apa yang kau lakukan?”
“Aku membuatnya hamil.” Tristan bukanlah orang yang mudah berbagi masalah pribadinya dengan sembarang orang. Ia hanya merasa beban yang ditanggungnya sudah terlalu besar dan rasanya ia butuh seseorang untuk berbagi. Pilihannya jatuh pada adik kandungnya sendiri yang juga sekartang sudah menjelma menjadi seorang perempuan dewasa.
Fiza tidak kuasa menahan rasa keterkejutannya setelah mendengar ucapan dari Tristan. “Kau? Serius?”
Tristan mengangguk. “Kejadiannya sembilan tahun yang lalu. Saat aku sedang kuliah di Jogjakarta.”
Fiza semakin mengertukan keningnya. “Bukannya waktu itu—?”
“Ya aku sudah bersama dengan Priska. Kau tau saat itu aku sudah menjalani hubungan jarak jauh dengannya sampai akhirnya aku tidak bisa menolak kehadiran perempuan lain masuk ke dalam hidupku. Aku akui aku memang mencintainya namun kami bertindak diluar batas.”
“Lalu apa yang terjadi setelahnya?”
“Priska datang. Dia memberikan ku sebuah kejutan di anniversary. Aku tidak menyadari saat itu ada Sava datang dan melihat kami. Ketika aku menyadari aku melihat ada bungkusan berisi Testpack. Dia hamil dan juga menghilang bagaikan ditelan bumi.”
Fiza semakin membulatkan kedua bola matanya. “Kak. Kau benar-benar gila.”
“Aku tau. Butuh waktu yang lama bagiku untuk menerima kenyataan. Aku tidak benar mencarinya bahkan aku lari ke luar negeri untuk melanjutkan mengambil pendidikan master. Aku baru punya keberanian sekarang dan itu semua sudah terlambat.”
“Kau melakukan sesuatu yang tidak mencerminkan seorang pria. Kau lari dari tanggung jawab. Aku tak bisa bayangkan bagaimana tanggapan Mama dan Papa kalau mereka tahu akan hal ini.” Fiza terdengar tidak percaya bahwa kakaknya akan bertindak seperti seorang pengecut di masa lalunya.
Tristan tidak menyangkal. Ia memang merasa demikian.
“Kau sudah menemukan dia?” tanya Fiza.
“Sudah, dia sudah memaafkan. Tapi ia menolak untuk bertemu dengan ku lagi.”
Fiza mengangguk. “Kalau aku jadi dia, aku juga akan melakukan hal yang sama. Lalu bagaimana dengan anak kalian?”
“Dia sudah meninggal.”
***
Sembilan tahun yang lalu.
Sava tidak tau harus berbuat apa, saat itu Ia hanya merasakan bahwa sekujur tubuhnya sudah bergetar hebat. Ia bahkan tidak bisa membuka suaranya. Ia masih tertegun disana selama beberapa saat sampai akhirnya Sava bisa menggerakkan tubuhnya lalu memutuskan untuk pergi. Ia hanya meninggalkan sebuah testpack di meja dekat pintu kamar Tristan dan segera beranjak dari sana. Hatinya sudah terlalu sakit menerima dua kenyataan terberat yang sedang menimpa dirinya. Ia berjanji satu hal. Bahwa Tristan tidak akan pernah bisa lagi menyentuhnya.
Sava pulang dengan sebuah kabar yang cukup menampar keluarganya. Baik Papa dan Mama sangat terpukul begitu juga dengan Gilang yang langsung emosi. Sava tidak pernah berbicara kalau bayi yang ia kandung adalah anak dari Tristan. Ia sudah menghapus nama Tristan sejak saat ia tau bahwa ia sedang di khianati. Biarkan saja kalaupun anak nya lahir tanpa tau bapaknya. Rama dan Hana yang sedang marah besar dan tidak bisa berpikir jernih sempat mengusulkan untuk menggugurkan bayi yang dikandung Sava. Belum cukup Sava merasa terpukul oleh kenyataan sebelumnya kini ia sudah dihadapkan dengan pertentangan oleh kedua orang tuanya. Meskipun Sava tau, pasti berat untuk orang tua manapun jika tau anak perempuannya bisa-bisanya hamil di luar nikah.
Dengan berat hati, Sava memutuskan untuk pergi dari rumah. Ia tidak bisa menerima keputusan orang tuanya. Sava pergi ke suatu tempat dengan menggunakan sebuah bus antar kota. Sava tidak sempat melihat ke arah mana tujuan bus tersebut. Yang ia ingin lakukan adalah pergi sejauh mungkin dari orang yang beresiko mengancam anaknya. Baru beberapa hari Sava sudah sangat protective terhadap anaknya. Mungkin Sava sudah mempunyai naluri seorang ibu.
Sava kelelahan dan tertidur hingga bus berhenti disebuah terminal terakhir. Sava turun dan tidak menyadari bahwa bus sudah membawa sejauh ini. Hari sudah semakin sore dan sudah mulai gelap. Ia tidak menyadari kalau dirinya tersesat di desa orang di tempat yang jauh dari rumahnya. Saat itulah Sava bertemu dengan Bu Aliyah. Wanita paruh baya itu melihat Sava sedang kelimpungan berjalan di jalanan desa. Ia terlihat lelah dan seperti mau pingsan. Bu Aliyah berinisiatif untuk membantunya. Namun sebuah kecelakaan kecil terjadi, Sava harus terjatuh terperosok ke dalam lubang yang tidak cukup dalam namun itu membuat perutnya langsung sakit.
Bu Aliyah membantu Sava dan membawanya ke rumah nya sekaligus panti asuhan. Saat itu Sava menyadari bahwa janinnya yang berusaha ia lindungi langsung diambil kembali oleh Sang Pencipta. Sava tak kuasa menahan rasa kesedihannya dan rasa bersalahnya. Selama berminggu-minggu Sava masih tinggal di rumah Bu Aliyah sampai akhirnya kedua orangtuanya datang untuk menjemputnya. Mereka meminta maaf atas keegoisan mereka yang menyebabkan Sava sampai kehilangan bayinya. Saat itu mereka berjanji akan menutup rapat masalah ini, dan tidak akan pernah membahasnya. Namun, luka yang sudah ia torehkan masih akan terus ada hingga batas waktu yang tidak bisa di tentukan.
***