Setelah mendapat informasi alamat pemilik dompet ini, aku segera pergi ke rumahnya. Untungnya, letaknya tidak terlalu jauh dari apartemenku. Rumahnya cukup megah dan mewah, ciri bangunan khas Eropa. Di depannya terdapat taman bunga yang cukup indah. Aku bersedia repot-repot melakukan ini demi mengalihkan mood-ku yang rusak karena kedatangan Ayah dengan Tante Dian. Jika saja mereka tidak datang, aku pasti lebih memilih mengantarkan dompet ini melalui ekspedisi pengiriman saja, membiarkan kurir yang mengantarnya.
Sampai pada akhirnya. Di sinilah aku berada. Aku menekan bel rumahnya berkali-kali tapi tak ada yang menyambut. Namun, aku tak mau kedatanganku menjadi sia-sia. Maka, terus saja kutekan bel rumah ini sampai pada akhirnya seorang pria –yang jika ditebak adalah pemilik dompet ini karena kuingat postur tubuhnya yang tinggi dan kulitnya yang putih bersih– datang dan membukakanku pintu pagar. Wajahnya terlihat lebih tampan dari jarak dekat.
“Iya, Nona?” tanyanya hingga membuyarkan lamunanku.
Oh, Tuhan, apa yang terjadi padaku hingga melamun? Jujur aku terpesona akan ketampanannya, tapi aku sudah hafal betul dia adalah tipe pria pendusta. Karena bagiku semua pria di dunia ini adalah pengkhianat.
“Maaf, Tuan, apa ini milikmu?” tanyaku sambil menyodorkan sebuah dompet yang kutemukan di stasiun.
Pria itu mengerutkan alisnya. Tak lama senyum lebar menghiasi wajah tampannya. “Iya, itu milikku, dari mana kamu mendapatkannya? Sejak tadi aku mencarinya.”
“Tadi Anda menjatuhkannya di stasiun, dan aku mengambilnya sampai akhirnya kemari untuk mengembalikannya,” jawabku, kulihat dia tersenyum sangat manis.
“Terima kasih, Nona. Mari silakan masuk,” ajaknya dengan ramah. “Setidaknya aku harus membuatkan teh hangat untukmu,” sambungnya.
“Maaf, sepertinya aku nggak punya banyak waktu. Lain kali hati-hati, ya, jangan sampai kejadian ini terulang lagi. Selamat sore.” Tanpa menunggu jawabannya, aku langsung bergegas meninggalkan rumah itu. Lagian mana mungkin aku mampir masuk ke rumah pria? Terlepas dari aku sudah menolongnya, tetap saja dia adalah pria asing!
Aku setengah berlari meninggalkan pintu gerbang rumah itu. Namun tak lama kemudian, dari arah belakang ada sebuah mobil yang mengikutiku dan membunyikan klakson saat posisi mobil sejajar denganku. Sontak aku menghentikan langkahku.
Setelah mobil itu menepi, pria si pemilik dompet itu keluar dari mobil. “Masuklah. Akan kuantar pulang, Nona. Setidaknya aku harus melakukan ini untuk berterima kasih.” Dia membuka pintu mobilnya dengan sopan. Kupikir, sepertinya tidak salah menolak tawaran baiknya. Ini mungkin lebih baik daripada harus mampir masuk ke rumahnya.
“Panji,” ucapnya sambil mengulurkan tangan. Kini kami berdua sudah ada di dalam mobilnya.
Dengan refleks aku membalas ulurannya, “Felisha. Panggil saja Felis.”
Panji tersenyum dengan hangat, perlahan kami saling melepaskan tangan.
“Kamu tinggal di mana?” tanyanya kemudian.
“Memangnya kenapa?”
“Ya, untuk mengantarmu pulang," ujarnya.
Hmm, betapa bodohnya aku sudah terlalu percaya diri saat dia menanyakan alamat. Seharusnya memang wajar bertanya alamat, bukankah Panji akan mengantarku pulang? Bodoh!
“Apartemen Melati Putih,” jawabku, kupikir lebih baik tak banyak bicara.
Sepertinya pria di sampingku ini sangat piawai. Lihat saja tadi, tanpa dia merayu pun aku seperti sudah sangat terpesona pada pria yang jika kutebak lebih tua beberapa tahun dariku. Bagaimana jika merayu? Sepertinya aku akan bertekuk lutut padanya.
***
Beberapa hari kemudian….
Dengan sangat malas kulirik jam weker di atas nakas yang berada di samping tempat tidurku. Jam baru menunjukan pukul enam pagi. Langsung saja kutarik selimut kembali. Hari masih terlalu pagi, lebih baik aku melanjutkan mimpi indahku.
Tiba-tiba, terdengar ponsel berdering. Dengan mata yang belum terbuka sempurna, kuraba meja mencari-cari ponselku. Setelah diangkat, ternyata Rere, teman kampusku, yang menelepon.
“Iya, Re, ada apa pagi-pagi menelepon?”
“Pagi dari mana? Ini tuh udah pukul sepuluh! Kamu lupa kita ada kelas hari ini? Kalau telat, kamu pasti nggak akan diizinin masuk kelasnya. Dosennya galak banget dan bisa memangsa orang. Jadi, cepat siap-siap sekarang juga!”
“Apa kamu bilang? Jam sepuluh?!” Kulirik jam dan … oh, Tuhan aku kesiangan! Bukannya tadi aku masih pukul enam? Begitu cepat waktu berlalu. Tanpa menghiraukan telepon yang masih tersambung, aku langsung bergegas menuju kamar mandi.
Terburu-buru aku memoles wajah dengan sedikit bedak natural. Tak lupa bibir ini kuberi lipstik berwarna pink. Dan setelah semuanya beres, aku segera menyambar tas di atas meja dan setengah berlari keluar dari apartemen. Aku harus cepat-cepat mencari kendaraan umum untuk membawaku ke kampus. Jarak dari apartemen ke kampus memang tidak terlalu jauh, tapi tetap saja berjalan kaki bukanlah pilihan yang tepat karena akan memakan waktu.
Sekitar sepuluh menit aku menunggu tak ada tanda-tanda kehadiran kendaraan yang biasa mengantarku ke kampus. Ah, seharusnya aku memesan ojek online saja. Sepertinya saat sedang buru-buru membuatku tidak bisa berpikir dengan benar.
Saat hendak memesan ojek online, tiba-tiba, sebuah mobil yang tak asing menepikan mobilnya di sampingku. Perlahan kaca mobil itu terbuka.
“Masuk, Felis!” ajaknya lembut. Ah, untung di saat seperti ini Panji muncul di hadapanku!
Tanpa berpikir panjang, aku masuk dan duduk di mobilnya. Dia tertawa saat kuceritakan keterlambatanku pagi ini.
“Dasar kerbau,” ledeknya dibarengi tawa hingga membuatku cemberut.
“Jangan marah, Nona Manis. Aku, kan, hanya bercanda.”
“Aku nggak marah, terima kasih sudah memberiku tumpangan.”
“Oke, oke. Jadi, sekarang aku harus mengantarmu ke mana?” tanyanya dengan pandangan terus fokus pada jalanan.
“Ke kampus, sebentar lagi sampai, kok. Itu kampusku sudah mulai terlihat,” jawabku dengan tangan yang menunjuk ke arah tempatku menuntut ilmu.
Panji tampak heran. “Berarti tujuan kita sama, dong. Kampus itu juga tempat tujuanku.”
“Kamu bercanda, kan?” Aku sedikit tertawa, disertai tidak percaya. Mana mungkin tujuan kita sama? Kupikir Panji akan pergi ke kantor tempatnya bekerja. Tapi aku tidak menyangka, ternyata dia juga seorang mahasiswa di kampus yang sama denganku. Apa mungkin dia adalah mahasiswa abadi?
"Apa wajahku terlihat seperti orang yang bercanda?” tanyanya. Mobil yang kami tumpangi kini berhenti di parkiran kampus. Ternyata benar, pria ini kuliah di kampusku. Kebetulan macam apa ini? Kenapa aku baru bertemu dengannya setelah insiden dompet waktu itu? Kenapa selama ini tidak pernah bertemu saat di kampus?
“Ya sudah, terima kasih ya, aku buru-buru. Sekarang ada kelas. Sekali lagi terima kasih sudah menolongku. Kalau tidak, mungkin aku tidak bisa masuk ke kelasnya. Bahkan, aku bisa dimakan sama dosen killer itu!”
Entah kenapa aku malah mem-forward apa yang tadi Rere katakan, ini di luar kendaliku.
“Tunggu, memang di kampus ini ada dosen yang memakan muridnya?” tanyanya penasaran.
Aku menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaannya. “Jadi, tadi salah satu temanku menelepon. Dia bilang, aku harus segera berangkat karena dosen kami kali ini sangatlah buas. Aku juga belum tahu, sih, karena dia dosen baru di sini. Kalau kamu dapat kelas beliau, kamu juga harus hati-hati ya,” jawabku diakhiri dengan tawa. Jujur, baru kali ini aku bisa akrab dengan pria yang bahkan baru kukenal.
“Wah, memangnya seseram apa, sih, dosen itu? Aku jadi penasaran, soalnya aku belum pernah berjumpa dengan dosen yang kamu maksud.”
“Kata temanku, sih, dia seperti monster, super galak, dan otoriter. Ah sudahlah, kita lihat saja nanti. Aku duluan ya, bisa-bisa dosen itu mengamuk padaku kalau aku sampai telat masuk ke kelasnya,” kataku, kemudian turun dari mobilnya dan bergegas menuju ruangan kelas.
Ah, untung saja aku berjumpa dengan Panji. Jika tidak, aku pasti terlambat.