Satu tahun sebelumnya ...,
Beberapa majalah bisnis yang mencatut nama perusahaanya tercetak dan beredar di seluruh Ibu Kota. Berita-berita ekonomi dan bisnis menyuarakan namanya dan mengagungkan perusahaannya. Bahkan media elektronik juga tak luput memberitakan tentangnya. Perkembangan Artha Group semakin melesat menembus kejayaan yang di impikan Aditya. Menempati jajaran sepuluh perusahaan properti yang merajai industri pembangunan di Indonesia, membuat pria itu nampak bangga dengan hasil yang ia peroleh dari tahun ke tahun.
Tak tanggung-tanggung, jumlah aset yang sudah di miliki perusahaan Aditya sampai detik ini berkisar 58,76 trilliun dan hal itu terus meningkat dari tahun-tahun sebelumnya yang mencapai 57,65 trilliun. Hal ini membuat perusahaannya menjadi salah satu perusahaan yang di rekomendasikan dalam pembangunan apa pun di beberapa wilayah. Selain itu, nampaknya kejayaan Aditya tak hanya di Indonesia. Perusahaan cabang yang berada di Perancis juga membuahkan hasil yang sama dengan induk perusahaannya.
Aditya masih menatap sebuah majalah bisnis yang mencetak nama dan perusahaannya di sampul depan untuk edisi minggu ini. Hal itu menjadi tolak ukur atas keberhasilannya kembali dalam memanajemen apa yang sudah ia bangun beberapa tahun lalu.
"Permisi Pak Aditya," sapa Sandra - sekretaris pribadi sekaligus kepercayaan Aditya- yang saat ini sudah berada tepat di depan meja kerja pria itu.
"Ya Sandra ...," tanggap Aditya.
"Hari ini, ada beberapa jadwal wawancara yang sudah saya susun untuk Bapak. Untuk hari ini ada dua perusahaan media massa yang bertandang ke kantor nanti jam 10. Bagaimana Pak? Pak Aditya bisa menemuinya sendiri?"
Namun, bukannya pria itu mendengarkan ucapan sang sekretaris tetapi ia justru menatap Sandra dengan lekat. Menatap kecantikam sekretarisnya itu yang semakin hari semakin terpancar begitu saja.
"Pak? Pak Aditya?"
"Memangnya di sini ada siapa selain aku dan kamu?"
Sandra memandang netra lelaki itu dan seolah memahami pembicaraan Aditya ia lantas tersenyum. Sandra berdiri seketika dan menuju ke samping kursi Aditya. Jemari lentiknya memegang halus di kemeja putih milik pria itu. "Jadi apa yang harus aku beri untuk keberhasilanmu Aditya?" ucap Sandra dengan nada yang sangat menggoda.
"Apa karena terlalu sibuk dengan dokumenmu ... kamu melupakan apa yang seharusnya?"
Sandra hanya tersenyum menanggapi ucapan atasannya itu. Ya, memang dirinya dan Aditya bukan hanya sebatas pekerjaan semata. Sejak hati Aditya kosong kembali dan tak terisi siapa pun, perempuan itu justru maju untuk mendapatkan hati Aditya kembali. Dan, hal itu nampaknya berhasil, Aditya mulai memerhatikannya walaupun dengan imbalan yang sepantasnya pria itu dapatkan.
Tok ... Tok ... Tok ...,
Netra Aditya dan Sandra langsung menatap ke arah pintu secara bersamaan. Tentu saja, memang tak seharusnya mereka berbuat yang aneh-aneh selama masih jam kantor berlangsung. Aditya kembali merapikan jas kerjanya.
"Aku anggap ini hutang, dan kamu harus bayar itu nanti," ucap Aditya yang lantas menyuruh Sandra untuk membukakan pintu ruangannya.
Sandra pun hanya tersenyum sembari berjalan ke arah daun pintu ruangan Aditya. Begitu pintu di buka ternyata sosok Alexander Juan tengah berdiri di balik pintu itu.
"Saya permisi dulu Pak," pamit Sandra pada Aditya dengan sebuah kerlingan mata perpisahan sementara.
Aditya hanya menganggukkan kepalanya dan menyuruh pamannya masuk ke dalam ruangannya.
"Ada apa Paman? Apa ada masalah?"
"Tidak ada, hanya ingin memberi laporan ini. Oh iya kamu dan sekretarismu itu ada sesuatu?" ucap Alexander yang kemudian menyerahkan dokumennya pada Aditya.
Aditya yang tadinya ingin membuka laporan yang diberikan pamannya lantas menghentikan kegiatannya dan menatap sang paman dengan penuh tanda tanya.
"Maksut Paman?"
"Begini Aditya, ya bukannya Paman mencurigai sekretarismu itu. Hanya saja kamu jangan terlalu percaya ... bisa saja kan ternyata dia berkhianat di belakangmu," ucap Alexander.
"Dia orang kepercayaanku Paman, tidak mungkin Sandra melakukan hal seperti itu."
"Bisa jadi kan, kita tidak pernah tahu dalamnya hati seseorang. Hati-hati saja," lanjut Alexander yang seraya menjauh dari ruangan Aditya karena memang niatnya hanya mengantar laporan hasil proyek di mana Aditya memberikannya kepercayaan.
Aditya hanya memandang punggung pamannya dengan tatapan menelisik. Pernyataan sang paman nampak mendalam dan membuat Aditya harus berpikir dengan tujuan apa Alexander membicarakan hal yang tak pernahenjadi pokok permasalahan.
Kecurigaan Aditya pun terusik. Jelas ia bukan mencurigai sang sekretaris namun ia justru mencurigai sosok pamannya sendiri. Tidak mungkin seseorang tiba-tiba menyinggung tentang penghianatan jika ia tak memiliki maksut di dalamnya.
Tic!
"Ya Tuan," jawab Marco setelah panggilan dari Aditya terjawab.
"Selidiki Alexander Juan, kerahkan anak buahmu. Segera!"
"Baik Tuan."
****
Beberapa hari kemudian, Artha Group kembali di percaya memegang sebuah proyek lapangan golf yang di gadang-gadang bernilai milyaran rupiah menjadi salah proyek besar yang di pegang Artha Group. Kini, di depan beberapa jajaran penting perusahaan Aditya memimpin rapat penting untuk membahas proyek baru yang akan mereka tangani.
"Jadi, saya tidak ingin proyek ini tidak sempurna. Ingat visi misi perusahaan. Kepuasan konsumen adalah tanggung jawab kita bersama. Dan saya sudah memutuskan untuk penanggung jawab proyek ini saya berikan pada Pak Burhan sebagai Project Manager nya," ucap Aditya.
"Saya percaya Pak Burhan bukan orang sembarangan. Meskipun anda baru bergabung di kantor ini satu tahun lalu tapi saya percaya kinerja anda menjanjikan. Pak Burhan siap?" lanjut Aditya.
"Jika memang sudah kepercayaan Pak Adit, saya akan menerimanya Pak. Terima kasih banyak atas kepercayaannya ...," timpal Burhan.
Aditya menganggukkan kepalanya dan acara rapat di lanjutkan dengan mekanisme dan tatanan desain untuk lapangan golf itu sendiri. Rapat yang dilakukan masih untuk pembagian penanggung jawab dari masing-masing pekerjaan di proyek besar tersebut. Namun, tak ada satu pun nama Alexander yang tercatut di proyek itu.
Keputusan Aditya nampak membuat Alexander tercekat beberapa detik. Kenapa bukan dirinya yang ditunjuk? Mengapa ia hanya bisa memimpin proyek kecil dan bahkan orang baru seperti Burhan justru memegang proyek besar. Tangannya mengepal untuk beberapa saat, sampai rapat selesai pun Alexander benar-benar tidak puas dengan semua hasil keputusan keponakannya itu.
"Aditya."
Aditya menolehkan pandangannya dari layar laptop ke arah Alexander yang masih berada di ruang rapat dan belum beranjak keluar itu.
"Ya Paman?"
"Paman ingin bicara denganmu, berdua."
Mendapati penekanan ucapan di akhir kalimat Alexander, pria itu nampak menyuruh Marco dan Sandra untuk meninggalkannya terlebih dahulu. Lantas Aditya yang masih terduduk di kursi kebesarannya itu nampak menatap Alexander yang masih berdiri di depannya.
"Kenapa nama Paman tidak di masukkan ke proyek ini? Apa kamu tidak percaya?"
"Bukan Paman, tapi Paman masih memegang proyek perumahan itu kan? Dan perumahan itu belum selesai, jadi saya pikir agar Paman fokus dengan satu proyek dulu. Oke begini, saya tahu ... saya menunjuk Burhan yang notabene orang baru di perusahaan ini bukan karena asal memilih. Tapi saya melihat track record pekerjaan dia, jadi saya menunjuknya untuk menjadi penanggung jawab proyek ini."
"Tapi perumahan itu hampir selesai kan? Setidaknya ada satu posisi yang bisa Paman masukin kan? Tolonglah Adit, kamu tahu kan sepupumu itu akan bersekolah, tanggungan Paman di rumah banyak dan mungkin proyek ini bisa membantu,"
Aditya menghela napasnya, ia tahu bahwa pamannya memang benar-benar jatuh beberapa tahun lalu. Hingga ia masuk ke perusahaan Aditya di bantu oleh mendiang ayahnya agar bisa bekerja di perusahaan Aditya. Tapi, kecurigaannya tempo hari nampaknya menjadi salah satu pertimbangan Aditya tak memberikan proyek apa pun pada Alexander.
"Maaf Paman, mungkin nanti akan saya berikan kesempatan itu pada Paman di lain proyek. Saya permisi." Aditya mulai bangkit dari kursinya dan berjalan keluar dari ruang rapat itu.
Sementara di sisi lain, Alexander nampak menautkan sebuah benda kecil di telinganya setelah mendapati Aditya pergi dari ruangan rapat itu. Rasa kesal menyelimuti dirinya dan kembali rasa iri dengki bersarang di benaknya.
"Lakukan rencana itu nanti malam!" titah Alexander.
"Siap Bos, tenang saja kita tidak akan membiarkan dia hidup!" sahut seseorang di ujung telpon itu.
"Bagus, saya tunggu kabar baiknya."
Panggilan terputus sepihak oleh Alexander. Rencana demi rencana mulai ia susun dengan rapi jauh-jauh hari. Namun, langkahnya belum bisa terlaksana di karenakan menunggu waktu yang tepat untuk menghabisi keponakannya sendiri. Bagaimana pun jika Aditya tidak ada, maka ia bisa menjadi wali untuk meneruskam perusahaan ini. Senyum smirk nampak kentara di sudut bibirnya. Mata dan hatinya sudah tertutup oleh duniawi, sehingga apa pun caranya akan ia tempuh demi kepentingan pribadinya.
Aditya, maafkan Paman. Tapi kejayaan perusahaanmu lebih dari segalanya, batin Alexander.
••
••
Pukul enam sore, Aditya masih saja berkutat dengan beberapa dokumen di mejanya. Ia harus meneliti sendiri perkembangam dari proyek satu ke proyek lain. Bebannya bertambah dengan proyek lapangan golf itu sebagai proyek terbesar untuk perusahaannya tahun ini. Rasa lelah mulai menyelimutinya, terkadang ia harus menyandarkan badannya pada kursi empuk untuk sekedar melepas penat mata yang selalu menatap ke layar laptop.
"Pak, belum selesai?" sapa Sandra tiba-tiba.
"Sudah, ayo pulang," ucap Aditya yang lantas menutup laptopnya dan beranjak berdiri dari kursinya.
Sandra pun mengiyakan ucapan atasannya dan mengikuti langkah Aditya keluar dari kantornya. Beberapa menit berlalu langkah Aditya terhenti saat melihat Alexander ternyata juga masih berada di kantornya. Ia melirik jam di tangannya yang seharusnya sudah satu setengah jam lalu adalah jam pulang kantor.
"Pak, saya pulang duluan ya kalau begitu. Saya masih ada acara lain."
Aditya hanya menganggukkan kepalanya sebelum melangkahkan kaki ke arah Alexander yang nampak masih berkutat di depan laptopnya.
"Paman?"
"Oh hey Dit, kamu sudah mau pulang?"
"Saya pikir Paman sudah pulang dari tadi?"
"Iya rencananya begitu, tapi ada beberapa laporan yang harus Paman kerjakan. Ya ... berkaitan dengan proyek perumahan."
Aditya hanya mengangguk tanpa curiga sama sekali. Setelahnya, ia pun berpamitan untuk meninggalkan kantornya dan kembali ke kediamannya. Sepanjang perjalanan pun Aditya hanya bisa merebahkan dirinya tanpa mengucap sepatah kata pun.
"Tuan Aditya," sapa Marco tiba-tiba.
"Ya Marco, ada apa?" ucap Aditya yang lantas menatap sang tangan kanan.
"Maaf jika saya membicarakan perihal ini di sini. Tapi saya sudah menemukan kesimpulan dari yang di perintahkan Tuan tempo hari."
Aditya mencoba mencerna ucapan Marco dan kembalo mengingat titah apa yang di berikan pada tangan kanannya itu. Setelah cukup lama terdiam akhirnya Aditya menemukan jawabannya.
"Oh iya? Jadi apa kesimpulannya?"
"Jadi —"
Bug ... Bug ... Bug.
"Keluar!"
Marco langsung menatap ke arah sisi kanan mobilnya dan di dapati dua buah motor yang masing-masing terisi dua orang mencoba memberhentikan mobil Aditya. Marco yang langsung melirik ke arah Aditya langsung menancapkan gas di mobil itu setelah mendapatkan kode dari Aditya untuk membiarkan saja.
Mobil pun melesat, namun nampaknya para pemotor itu masih mengejar mobil Aditya hingga mobil itu mengarahkan lajunya ke arah yang berbeda dari sebelumnya. Sedan hitam metalic itu melesat menembus jalanan sepi dan berkelok-kelok. Jalanan yang sudah terlalu jauh dari perkotaan dan membuat Aditya menyimpulkan sesuatu.
"Tuan, mereka masih mengejar kita," ucap Marco.
"Marco, kita di jebak."
Marco yang mengernyitkan alisnya karena belum memahami tiba-tiba ia mendadak tercekat dengan pemikirannya. Jantungnya seakan berhenti berdetak karena bukan lagi nyawanya yang di pertaruhkam tapi nyawa Aditya yang menjadi ancaman.
Dan benar saja, ketika Marco menginjak rem di mobil tersebut, benda itu tak berfungsi seperti biasanya. Padahal laju mobil saat ini sangat kencang. Jelas saja hal itu membuat Marco panik karena sudah dapat di pastikan apa yang akan terjadi jika ia tak bisa mengendalikan mobil ini.
"Tuan menunduk!" teriak Marco karena mendengar suara tembakan persis di belakang Aditya.
Kaca mobil itu berhasil tertembus olwh sebuah peluru dan karena hal itu Marco tak mampu mengendalikan mobilnya.
"Tuan segera keluar dari mobil ini!" ucap Marco.
Tak mampu berpikir lama, Aditya pun membuka pintu mobilnya dan melompat begitu saja hingga menabrak pembatas beton di samping jurang yang curam. Namun, Aditya seketika ayok saat mobilnya menabrak sebuah tebing di sisi kanan dengan kondisi yang mengenaskan.
"Sialan!" umpat Aditya yang berusaha berdiri untuk menghampiri Marco.
Ia tak akan pernah peduli dengan mobilnya yang sudah rusak parah atau pun hancur lebur. Yang ia pikirkan hanyalah tangan kanannya. Dengan sedikit tenaga yang ia miliki karena tulang rusuknya menghantam pagar beton dengan keraa membuat langkahnya tak bisa cepat karena menahan sakit yang luar biasa.
Selain itu, ia juga mencoba meraih ponsel di dalam saku jas kerjanya. Untung saja ponsel itu masih menyala, ia segera memencet sebuah nomor di sana. Sembari mencoba tetap berjalan untuk memastikan kondisi Marco.
Namun, langkahnya terhenti saat rasa nyeri yang begitu menusuk memhuat tubuhnya limbung di tanah. Ia hanya mampu menatap kaki tangannya yang nampak tak sadarkan diri dengan bersimbah darah di wajahnya. Kondisinya sendiri juga sama sekali tak dapat di sepelekan, Aditya tak lagi kuat menahan rasa sakit di tulang rusuknya dan kesadarannya mulai menghilang.
"Dit, tumben nelpon? Dit ... Aditya ...." Suara seseorang di ujung ponsel yang sudah tergeletak tanpa sahutan dari sang pemilik.
| To Be Continues |