Setelah melihat story Ratih, Damian langsung menghubungi Felix tanpa basa-basi. "Halo, Felix?"
Felix yang sedang berada di kediaman Almeer mengangguk patuh pada Damian. "Selamat siang, Tuan."
"Di sini sudah sore." Damian menjawab datar, memperbaiki kalimat Felix. Pria itu mungkin lupa jika waktu Jakarta dan Melbourne berbeda. "Posisi kamu sedang di mana?"
"Di kediaman Tuan Kenan, Tuan."
Damian menaikkan sebelah alisnya. "Hari ini kamu tidak mengawasi ke mana perginya Ratih? Bukankah kita sudah membicarakan ini? Keadaan sedang tidak aman, sebab itu saya bersama Tuan Kenan berusaha membereskannya."
"Tidak, Tuan. Nona bilang sama saya jika dia seharian berada di rumah. Saya hanya sebentar di sini, ada berkas yang harus saya ambil dan selesaikan untuk pihak perkebunan di puncak."
Saat ini Damian sedang berada di dalam mobilnya, menunggu Kenan datang. "Apa ada temannya yang mampir?"
Felix terdiam sebentar, salah jawab, bisa gawat. "Maaf, Tuan, tapi saya belum menerima laporan apa pun dari orang rumah. Ada apa, Tuan?" Jangan sampai Felix kecolongan kabar mengenai Ratih, Damian bisa marah besar padanya. Tapi satu yang membuat Felix lebih baik, mengawasi Ratih lebih mudah daripada menjadi pengawal Natasya. Ratih lebih mudah diberitahu soal apa pun untuk keselamatamnya, sedangkan Natasya selalu membangkang. Alhasil, beberapa kali Natasya mendapat musibah yang membahayakan dirinya sendiri.
"Cari tahu siapa yang Ratih panggil Bubu. Dia sedang bersama seseorang hari ini, saya melihat dari story terakhirnya." Ini perintah yang sangat jarang Damian pinta pada Felix. Biasanya Damian akan bodo amat jika membicarakan soal pribadinya, lebih memilih fokus dan mengutakan keselamatan keluarga Almeer. Damian tipe orang yang sangat tidak senang berbagi hal-hal menjuru privasi, selalu berusaha diselesaikannya sendiri.
"Bubu? Apa yang Tuan maksud manusia?" Damian hanya bergumam kecil. "Baik, Tuan. Akan saya tanyakan pada Nona Ratih. Setelah ini saya akan pulang dengan segera."
"Jangan tanyakan langsung padanya. Kamu cari tahu sendiri saja, saya tunggu secepatnya!" Setelah itu panggilan terputus, Damian segera bersiap untuk mengemudikan mobilnya membawa Kenan melakukan pertemuan bisnis.
***
Ratih menikmati waktu sehariannya di rumah. Membantu asisten rumah tangga memasak, membersihkan kolam, menyapu halaman, dan sekarang wanita itu sedang asik berenang. Tirai pembatas menuju halaman kolam renang di tutup, artinya tidak ada yang boleh melihat dan memasuki area itu--kecuali Bibi Rere. Ratih mengenakan bikini, menikmati waktu sore menjelang malamnya di area kolam sambil menikmati cemilan dan jus jeruk.
Seharian ini Ratih sudah dua kali berusaha menghubungi nomor Damian, tetapi selalu berada di panggilan lain. Ratih pikir suaminya sedang benar-benar sibuk, jadi mencoba memahaminya. Malam ini Ratih akan mengunjungi kediaman Natasya, ingin main ke sana daripada sendirian di rumah.
"Nona Ratih, Tuan Damian menelepon. Katanya ingin berbicara pada Nona." Bibi Rere menyerahkan sebuah ponsel pada Ratih yang sedang berbaring di kursi panjang, bikini warna merah itu terlihat sangat cerah di kulitnya yang putih.
Ratih mengatakan terima kasih, lalu mempersilakan untuk Bibi Rere kembali ke dapur, menutup dengan rapat kembali pintu menuju ke halaman kolam. "Ya, Mas?" Ratih menyahut dengan senyuman manis. Matanya Ratih tutup, sinar matahari sore masih begitu silau.
"Sedang di mana kamu?"
"Aku sedang di rumah, di tepian kolam renang."
"Nona Tasya bilang kalau kamu ingin ke sana nanti malam."
"Iya, bolehkan?" Damian belum menjawab, Ratih kembali bersuara. "Aku mau main ke sana, liat baby Ifander dan Zeline. Kamu sih pake pengaman terus, nggak titipin bayi dalam perut aku, aku kan kesepian." Sengaja Ratih bilang begitu, kali aja Damian sadar dan memberinya kesempatan mengandung.
Damian memutar bola matanya malas di seberang sana. Dia sedang berada di sebuah ruangan di salah satu kantor keluarga Almeer, berdiri menghadap gedung-gedung pencakar langit. "Tidak usah banyak bicara. Saya cuman butuh kamu bilang 'iya', itu saja." Ratih mencebikkan bibir, mendumel kesal. "Nanti diantar oleh Felix."
Sebelum Damian yang memutuskan sambungan teleponnya, Ratih tancap gas duluan. Sekali-kali Damian merasakan jadi dirinya, belum selesai bicara tapi panggilan sudah terputus.
Di seberang sana, Damian menatap jengkel layar ponselnya. "Bisa-bisanya wanita ini!" Lalu memasukkan kembali ke saku celananya. Saat Damian berbalik, ternyata Kenan baru saja memasuki ruangan. "Untuk yang tadi benar, Tuan Ken ... mereka akan bersama malam ini di kediaman Tuan. Mungkin makan malam bersama." Damian sedikit membungkukkan badannya pada Kenan.
Kenan mengangguk paham. "Akan saya hubungi beberapa orang rumah untuk menjaga daerah sana lebih ketat. Saya begitu mencemaskan Tasya dan anak-anak saya." Setelah itu Kenan permisi ke sebuah kamar pribadinya.
Berbeda dengan Damian yang terlihat biasa-biasa saja, malah teramat santai ... Kenan berbanding terbalik. Damian agaknya memang kurang sehat, terlalu menganggap biasa saja semua hal tentangnya.
Pertanyaannya, mau sampai kapan seperti ini terus?
***
Saat memasuki kediaman Kenan Almeer, Ratih menautkan alis. "Kenapa banyak sekali pengawal berjaga? Apa ada sesuatu yang terjadi?" Hanya dengan mengamati daerah sekitar, Ratih mampu membaca keadaan yang kira-kita terjadi saat ini.
Felix menatap Ratih sebentar melalui spion tengah, ragu untuk mengangguk. "Tidak terlalu serius, Nona. Tenang saja, semua akan diselesaikan dengan baik."
Ratih masih belum puas dengan jawaban Felix, ada sesuatu yang mengganjal perasaannya. "Kenapa? Apa ada penyerangan lagi?" cecar Ratih mendalami pembicaraan mereka. Namun sayangnya, mereka sudah tiba di depan teras utama. Felix keluar dari mobil, membukakan pintu untuk Ratih. "Kamu masih berhutang penjelasan padaku, Felix!" ucap Ratih sebelum melangkah memasuki kediaman Almeer yang begitu megah dan nyaman dengan segala fasilitas mewahnya.
Satu orang asisten rumah tangga menjemput kedatangan Ratih, mempersilakan dan mengantarkannya menuju ruang keluarga di mana saat ini Natasya dan dua anaknya bersantai sambil menontom salah satu acara di stasiun televisi.
"Yeay, Tante Ratih datang ...!" Zeline yang tidak sengaja menoleh ke belakang dan menemukan Ratih pun segera beranjak dari tempat duduknya. Menghampiri Ratih dengan sedikit berlarian kecil. Lincah sekali anak ini, Ratih senang. "Ini boneka beruang buat Zeze?" tanyanya dengan mata berbinar terang. Ratih membawakan anak itu boneka yang lumayan besar, baru saja Ratih beli tadi di tengah perjalanannya menuju ke kediaman Kenan Almeer.
Ratih mengangguk, memberikan boneka beruang berwarna cokelat s**u itu pada Zeline. "Ini Tante yang belikan. Nanti kalau ketemu Om Ian, Zeze boleh minta lagi ke Om ya?"
Zeline mengangguk mantap. Dia bersorak gembira mendapat hadiah boneka dari Ratih. "Mama, Zeze ke kamar dulu ya. Mau main sama boneka baru." Lalu melambaikan tangannya dan memanggil Mbak Ceci untuk menemaninya bermain di kamar.
"Jangan lari-lari, Sayang. Nanti jatuh." Natasya memperingati. Tidak jarang Zeline jatuh tersandung kakinya sendiri ketika berlari, Natasya begitu khawatir. Kemarin pernah satu kejadian, bibir Zeline pecah terbentur lantai. Bukan hanya Zeline yang menangis, Natasya juga. Apalagi ketika melihat darah terus-terusan keluar dari bibirnya.
Zeline tertawa, dia mengangguk semangat dan mengacungkan jempol. "Oke, Mama." Setelah itu bersama Mbak Ceci menuju ke kamar.
Ratih tertawa sendiri melihat sikap Zeline yang begitu aktif. Anak itu cerdas sekali, keturunan Kenan memang tidak ada yang gagal. "Di luar ramai bener. Ada sesuatu, Tasya?" tanya Ratih sambil membawa baby Ifander ke dalam pelukannya. Tuhan, anak ini bahkan masih bayi tapi rupanya benar-benar bak seorang dewa. Hidungnya mancung sekali.
"Loh, Damian nggak cerita?" Natasya menatap Ratih dengan dahi mengerut. "Damian dan Kenan kan berangkat ke Melbourne untuk mengurus kerjasama yang menimbulkan masalah besar ini. Kemarin ada penyerangan di kantor, membuat kerusuhan di lantai satu. Untung aja nggak ada korban jiwa, beberapa dinding kaca bahkan pecah oleh tembakan mereka."
Ratih melototkan mata. "Sumpah demi apa? Damian nggak ada cerita apa pun. Dia cuman bilang pergi untuk mengurus kerjaan bersama Kenan. Nggak tahu gue kalau sebahaya ini kejadiannya."
Natasya memicingkan matanya. "Hubungan lo dan Damian baik-baik aja kan, Cha? Jujur nggak sama gue!" Natasya mencari kebohongan dari tatapan Ratih, penuh intimidasi.
"Baik-baik ajalah. Orang sebelum pergi kita juga menghabiskan malam bersama. Tapi beneran, dia nggak ada cerita apa pun. Ya paling cuman bilang kalau setiap kali gue pergi harus bersama Felix dan beberapa pengawal." Ratih menjelaskan yang sebenarnya. "Gue pikir ya karena itu untuk melindungi gue. Udah, itu doang."
Natasya menghela napas. "Mungkin nggak mau lo cemas kali sama keadaan dia. Tapi ya nggak masalah juga sih, semua akan baik-baik aja. Mereka nggak bakal masuk ke daerah sini, kecuali kalau mau mati." Natasya menaikkan bahu. Bukannya tidak peduli dengan masalah begini, hanya saja dia sudah terbiasa. Tidak terkejut lagi. "Gue sengaja suruh lo ke sini, menginap aja. Bahaya lo di rumah sana, lebih baik di sini. Lebih ketat penjagaannya, aman."
"Ish, nggak bisa. Nanti Damian marah gue nginep segala. Gue bilangnya cuman main sebentar."
Natasya menyuruh Ratih diam, kemudian melakukan panggilan pada suaminya. "Halo, Sayang. Ratih udah ada di sini nih, aman kok dia selama di perjalanan. Sampai dengan selamat."
"Baguslah, Sayang. Kenapa telepon? Ada yang diperluin atau baby Ifander lagi rewel?" Terdengar lemah lembut sekali nada bicara pria itu. Ah, manisnya. Suami idaman sekali, bukan?
"Enggak. Dia anteng kok di gendongan Ratih, cuman aku mau izin aja sama kamu. Bilangin ke Damian, Ratih biar menginap di sini aja bareng aku. Di sini lebih aman, Sayang, di sana kan belum ketat banget penjagaannya. Apalagi Damian lagi nggak ada, kalau kenapa-kenapa kan gawat." Kalau soal urusan merayu, Natasya jagonya. Kenan tidak bisa menolak, coba saja kalau ingin Natasya mengamuk.
"Mereka bisa aja loh nyari kesempatan buat sekap Ratih biar kamu menyerahkan sebagian saham milik mereka." Natasya sangat cerdas, bahkan Ratih dibuat terpukau.
Kenan mengangguk. "Baik, Sayang. Ya sudah, Ratih disuruh menginap aja dulu untuk sementara. Nanti urusan Damian bisa sama aku ya."
"Oke, Sayang. Makasih. Kamu baik-baik di sana. Janjikan bakal pulang dengan selamat?" Natasya benarnya khawatir juga dengan keadaan suaminya, tapi mau bagaimana pun masalah ini harus di selesaikan dengan baik agar tidak lagi terdapat kesalahpahaman.
Sambungan telepon terputus, Natasya menjentikkan jarinya dengan senyum penuh kemenangan. "Apa gue bilang. Lo bakal nginep di sini. Kenan gampang ditangani, dia iya aja terus kalau gue bilangin mah!" Mengangkat dagu, senang sebab Kenan selalu mengiyakan keinginan Natasya--asal dalam catatan aman dan wajar.
Ratih menghela napas, menggelengkan kepala. "Emangnya masalah apa sih? Saham apa? Kok gue nggak terlalu ngerti."
"Lo tahu kan Fergion Company?" Ratih mengangguk. Cukup tidak asing di telinganya, salah satu perusahaan terkenal di ibu Kota juga. "Nah itu ... bagian perusaan mereka yang ada di Melbourne bermasalah, akhirnya bangkrut. Diambil alih sama Kenan, ternyata terjadi kesalahpahaman. Mereka pikir yang ngejebak perusahaan mereka hingga bangkrut itu Kenan--Almeer's Group, padahal kan enggak. Kenan beli saham mereka sesuai harga yang ditentukan di awal. Nggak ada sistem jebak-menjebak."
Ratih melongo. "Apa? Aduh otak gue, nggak sampe mikir ke sana." Natasya berdecak kesal.
"Pokoknya soal saham dan kedudukan. Anak buah Fergion ini menyerang kantor Kenan bagian di sini--niat balas dendam dan ingin merebut sebagian saham mereka. Salah sih cara mereka sebenarnya, membuat kekacauan sama saja membangunkan Singa yang sedang tidur. Lo tahu sendiri Kenan dan Damian sekeras apa soal urusan begini, nggak bakal dikasih ampun. Apa pun yang dinilai sebuah ancaman, akan diratakan. Tidak kenal dari keluarga siapa."
"Tapi mereka akan baik-baik aja kan? Gilaa aja kalo sampe enggak, gue baru nikah masa udah jadi janda!"
Natasya terkekeh. "Lo pikir ngalahin Kenan dan Damian mudah? Kecerdasan mereka jauh di atas rata-rata. Mereka bermain dengan manis, tapi tidak ada yang dibiarkan lolos."
Pembicaraan ini ditutup saat asisten rumah tangga mengatakan makan malam sudah siap. "Baby Ifander ternyata ketiduran, Tasya. Ya ampun lucunya bayi ini, pengen gue gigit pipinya."
Natasya meletakkan baby Ifander ke dalam kereta bayinya, menutup bagian atasnya agar tidak di gigit nyamuk. Lalu meminta Lala menjaga sebentar sementara mereka makan malam.
****