Pagi-pagi sekali Ratih sudah terbangun dari tidurnya. Merasakan pegal di seluruh bagian tubuhnya, sisa kesenangan semalam begitu luar biasa. Mereka bahkan mengulang hingga hampir pagi. Persetann dengan waktu dan kurangnya jam tidur, setidaknya Ratih memberikan yang terbaik untuk Damian—kendati karet sialaan itu masih penjadi penghalang di antara mereka. Dalam keadaan bagaimana pun, Damian tak melupakan pengamannya. Dia pria yang sangat hati-hati sekali, tidak dapat dikelabui meski soal bercintaa. Ratih kesal, tapi kali ini kembali mengalah. Dia akan membuat Damian nyaman dulu, setelah itu barulah meminta haknya sebagai istri, dijadikan ibu dari anak-anak mereka.
Saat mengerjap, Ratih barulah sadar jika saat ini dia tidur dalam pelukan Damian. Ratih menjadikan dadaa suaminya sebagai bantalan empuk yang nyaman, pantas saja tidurnya begitu nyenyak. Pemandangan pagi yang indah, sangat jarang Ratih temui dalam pernikahan ini.
"Mas, bangun yuk. Ini sudah jam enam kurang lima belas menit." Ratih tidak bangun dari posisinya, hanya berusaha membangunkan dengan mengusap permukaan dadaa bidang suaminya. Detak jantung Damian terdengar jelas di telinga, beraturan sekali.
Kening Damian mengerut, tangannya bergerak memijat pangkal hidung. "Heem," gumam Damian sebagai jawaban jika dirinya sudah bangun. Ratih jahil, dia menggerakkan jari telunjukkan membentuk berbagai macam pola di atas kulit dadaa Damian. Pria itu segera menghentikannya, mencekal tangan Ratih.
"Barang-barang saya beneran sudah siap semuanya kan? Pastikan tidak ada yang tertinggal."
Ratih mendongak, melingkarkan tangannya pada leher Damian. Pria itu ingin menolak, tapi Ratih memaksa. "Sudah. Bukankah Mas tadi malam juga memeriksanya?" Damian hanya bergumam kecil, berusaha untuk bangun dan membersihkan diri.
Ratih duluan mengubah posisinya menjadi duduk, merosotlah selimut itu dari tubuhnya. "Aku bebas melakukan apa pun selama kamu nggak ada kan?" tanyanya lagi memastikan. Kemarin mereka sempat bernegosiasi, Ratih meminta agar para pengawal tidak membatasi kegiatannya.
"Iya." Damian sempat salah fokus pada tubuh bagian atas Ratih yang terbuka sempurna di depan matanya. Ish, wanita itu!
Ratih tersenyum, mengangguk paham. Tanpa merasa canggung, Ratih menyibak selimutnya. Melangkah tanpa menuju meja rias sebentar melihat kondisi wajahnya, lalu memasuki kamar mandi.
Damian hanya menggerutu dalam hati, kembali memijat pelipisnya. Ketika merasa sudah cukup, segera Damian mengenakan boksernya. "Bisa berpakaian dulu kalau mau jalan ke sana ke mari?" Damian memicingkan matanya tajam, dia kira Ratih keluar dari kamar mandi akan mengenakan jubahnya sementara menunggu air memenuhi sebagian bathtub.
"Kita mandi bersama kan?" Ratih tersenyum lebar, matanya mengerjap beberapa kali terlihat bersemangat.
"Saya mandi sendiri saja!" Telak, tegas, dan tak terbantah.
"Ish! Mandi berdua pokoknya. Kita belum pernah mandi berdua, saling membantu menggosok badan." Ratih memajukan bibirnya. Satu pertanyaan tiba-tiba muncul dalam benak Damian; Kenapa setiap wanita kalau ngambek bibirnya selalu dimajukan? Sungguh, Damian sering melihatnya saat nona Natasya kesal pada tuan Kenan.
"Bukankah kamu memiliki kedua tangan yang utuh? Gunakan sendiri!"
"T-tapi ... aku kan mau mandi berdua. Romantis tau mandi berdua, Tasya sering melakukannya dengan Ken."
"Biarkan orang saja yang melakukannya, kamu jangan ikut-ikutan." Damian segera berlalu dari hadapan Ratih, meraih tabletnya di atas meja untuk mengecek beberapa email dari orang-orang pentingnya.
Ratih menghentakkan kakinya, menghampiri Damian. "Mas, pokoknya mandi berdua ya?" Damian tidak mengahut, lebih memilih mengabaikan. Damian rasa jawabannya tadi sudah cukup jelas untuk dipahami. "Ya sudah, aku duluan mandi. Kulamain aja mandinya biar kamu terlambat bersiap."
Sebelum Ratih berhasil beranjak, Damian lebih dulu meraih pergelangan tangannya. Menarik Ratih secara tiba-tiba hingga wanita itu duduk di pangkuan Damian. "Menyebalkan!" desis Damian jengkel.
Ratih tersenyum. Dia melingkatkan kedua lengannya pada leher Damian. Mengecup singkat bibir pria itu, sangat berani dan menguji nyali.
Jika menurut kalian Damian akan menyerang balik, maka salah besar. Pria itu diam saja, seolah menganggap tak terjadi apa pun sebelumnya. Ratih malu sendiri, berdecak sebal akhirnya. Harga dirinya menurun seketika. Kenapa ada manusia seperti Damian di dunia ini?
"Cium aku!"
Damian menaikkan sebelah alis. "Tidak," tolak pria itu. Lihatkan, seberapa kurang ajarnya Damian.
Ratih memukul mulut Damian pelan. "Aku kesal sama kamu." Sebelum Ratih beranjak dari pangkuan beruang kutub itu, Damian lebih dulu mengecup pipi Ratih.
"Sudah." Damian menaikkan bahu cuek. Sudah dia cium bukan?
Ratih melotot. Segera dia mengusap bekas ciuman Damian di pipinya. Setelah itu beranjak duluan ke kamar mandi. Berdebat seperti ini tak akan ada ujungnya, yang ada nanti Damian terlambat. "Mas, cepat mandi. Airnya sudah siap!" teriak Ratih. Damian kembali menggerutu kesal. Bisa-bisanya wanita itu membuat Damian selalu tersulut emosi sejak semalam.
****
Saat akan pergi, Ratih kembali merengek pada Damian jika pria itu belum memeluknya sedari tadi. Mereka akan berpisah selama dua minggu, tidakkah saling berpelukan adalah hal wajib yang harus dilakukan sebelum berangkat bukan?
Felix yang mendengar itu hanya bisa mengulum senyumnya menahan tawa, sementara pengawal lainnya berusaha membuang muka dan berpura-pura tuli.
Rahang Damian mengetat. Ratih membuatnya malu di hadapan para pengawalnya. Wanita itu benar-benar!
Secepat kilat, Damian mengecup kening Ratih. "Saya berangkat!" Belum berhasil melangkahkan kaki, Ratih mencegahnya. "Apalagi? Jangan buat saya ingin menelanmu hidup-hidup!"
"Aku mau dipeluk sebentar!" Berusaha berjinjit untuk meninggikan tubuhnya.
Felix yang sejak tadi di tatap tajam oleh Damian, segera beranjak dari sana. Memerintahkan pada yang lainnya juga untuk segera mengikutinya menuju mobil Damian di halaman.
"Ra, berhenti menjengkelkan. Saya malu kamu begini di hadapan mereka." Damian benar-benar tidak senang, menurutnya Ratih terlalu kekanak-kanakan.
Mata Ratih berkaca-kaca. Dia menundukkan kepala dalam. Sekarang dia begitu merasa bersalah. Tidakkah hal ini dia lakukan agar dapat meraih hati Damian? Tapi ternyata sangat sulit, bahkan mustahil dia dapatkan.
Damian menghela napas kasar, mengusap wajahnya. Dia menangkup wajah Ratih, melihat jika wanita itu sudah mengeluarkan air mata. Tuhan, wanita sangat cepat memproses air mata.
Tanpa banyak bicara, Damian menyentuh permukaan bibir Ratih, lalu memeluk seperti apa yang diinginkannya tadi. Lumayan lama, sampai Damian rasa ini sudah cukup. "Udah kan?" Ratih mengangguk pelan. "Jangan cengeng!" Ini bukan kalimat lembut, tapi lebih kepada perintah. Damian tidak senang dengan wanita lemah.
"Oke. Kamu hati-hati ya. Kalau sudah tiba nanti, segera hubungi aku."
"Iya."
Ratih kembali berjinjit sekali lagi, dia yang memeluk Damian. "Aku bakal kangen kamu." Damian balas pelukan itu dengan mengusap punggung Ratih. Tidak menyangka jika dunianya campur aduk begini setelah Ratih menerobos habis masuk ke dalam kehidupannya.
"Saya pergi. Jaga diri!" Lagi-lagi ini terdengar seperti perintah. Ratih hanya mengangguk paham.
Ratih melambaikan tangannya pada mobil yang Damian tumpangi menuju kediaman Almeer. Semoga perjalanan mereka berjalan dengan baik dan lancar, selamat sampai ke tujuan. Hanya itu doa terbaik Ratih pada Tuhan pagi ini, dia begitu mencintai Damian hingga takut rasanya jika membicarakan soal kehilangan.
"Carikan boneka beruang kutub yang besar untuk istriku!" Damian membuka suara pada Felix. Dari ekspresi wajah, nampak biasa saja. Malah sekarang fokus pada layar tabletnya.
"Beruang kutub?"
"Ya, yang warnanya putih. Cari beruang kutub yang tidak memiliki ekspresi apa pun."
Felix mengangguk mengerti. Dia memang tak ikut berangkat ke Australia, ditugaskan untuk menjaga Ratih ke mana pun wanita itu pergi.
"Akan saya carikan boneka itu, Tuan."
****
Lelah mengurus cabang kafe yang ada di Bekasi, Ratih pulang sedikit terlambat. Rumah rasanya sepi sekali, dia tidak ada teman. Andai orang tuanya begitu menyayanginya, mungkin Ratih akan pergi kepada mereka di saat seperti ini. Bertukar cerita antara ibu dan anak, memasak bersama, atau saling mengobrol kecil di ruang keluarga. Impian sekali memiliki keluarga yang harmonis, Ratih sudah sangat bosan berada di lingkungan menyedihkan.
Menaruh tasnya di atas meja, kemudian melepaskan sepatu hak tingginya. Penat sekali—seluruh tulang rasanya sakit, tapi dengan bekerja Ratih merasa lebih baik pikiran dan moodnya. Memijat sebentar bagian leher, lalu Ratih melepaskan blazer biru mudanya. Menyisakan tanktop satin putih tulang dan celana kulot senada. Tubuh semampainya sangat cantik dibalut pakaian demikian, terlihat lekuk tubuh idealnya bak seorang model.
Saat akan mengambil air minum di atas nakas, mata Ratih tak sengaja bertemu dengan sebuah boneka besar di atas tempat tidurnya. Bukan besar, lebih tepatnya boneka raksasa. "Astaga, beruang kutub!" pekik Ratih senang sekali. Dia melompat ke atas tempat tidur, berusaha memeluk boneka berbulu lembut tersebut. Saking besarnya, tangan Ratih pun tak sampai untuk memeluknya.
Segera Ratih berlari menuju tasnya, mengambil ponsel untuk menghubungi Damian. Telepon pertama tak mendapat jawaban, panggilan kedua barulah sambungan terhubungan. Terlihat dari layar kameranya Damian sedang berada di kamar mandi, menggosok giginya. Pria itu baru saja selesai mandi?
"Mas, kamu belikan aku boneka beruang kutub?" Damian tidak langsung menjawab, berusaha mendengarkan saja keceriaan wanita itu. "Ini sangat besar, bahkan seperti boneka raksasa. Di mana kamu beli? Ah, manisnya!" decak Ratih sambil berbaring di perut beruang kutubnya.
"Kamu kan yang belikan?" Damian berkumur, lalu mencuci wajahnya. Setelah mengeringkan permukaan wajah, Damian menghela napasnya. "Tampannya suami aku, peluk dulu sini!”
Damian masih tidak menyahut, malah memicingkan matanya tajam. "Berisik!"
Ratih memberengut. "Kamu yang belikan boneka ini?" ulangnya untuk ketiga kali.
"Felix yang beli." Damian mengangkat bahu cuek. Keluar dari kamar mandi, menaruh ponselnya di atas meja. Terlihat Damian sedang mengambil pakaian santai dari dalam kopernya.
Ratih mengerutkan kening. "Kenapa Felix bisa tahu soal beruang kutub ini? Pasti kamu yang kasih tau kan?"
"Menurut kamu?"
"Kamu yang suruh Felix belikan."
"Ya sudah."
"Astaga, romantisnya. Aku senang, makasih ya?" Damian hanya bergumam kecil, tidak terlalu serius menanggapinya. Hanya sebatas boneka, pikir Damian. "Kamu ada di mana sekarang?"
"Mansion keluarga Almeer."
Ratih melototkan mata. "Jadi keluarga Almeer beneran mempunyai mansion?" Damian menaikkan sebelah alisnya. Apa perlu ditanyakan lagi hal itu? Damian sudah mengatakannya tadi dan kemarin. "Berapa banyak kekayaan mereka? Aish, enaknya jadi Tasya."
"Sudah dulu, saya akan keluar setelah ini."
"Ke mana? Kenapa tidak mengenakan jas?"
"Jangan banyak tanya. Berisik!"
"Ya sudah, iya. Kamu jangan sampai kecantol cewek bule di sana ya. Aku nggak rela banget." Satu layar ponsel Ratih penuh dengan wajah datar Damian, sorot matanya begitu tidak bersahabat. "Oke, oke. Aku hanya bercanda. Aku tutup dulu, kamu jangan kangen aku ya nanti."
Bukan Ratih yang memutuskan sambungan teleponnya, melainkan Damian. Ratih belum selesai berbicara, wajah Damian sudah menghilang dari penglihatan. "Suami kurang ajar!" maki Ratih keceplosan.
****