5. Kewajiban Rutin

1734 Kata
Jam sudah menginjak pukul satu dini hari, Damian baru saja tiba di rumahnya. Nampak sepi sekali, beberapa ruangan juga sudah dimatikan lampunya, hanya terdapat cahaya dari halaman luar. Damian sudah mendapatkan pesan dari orang kepercayaannya jika asisten rumah tangga sudah datang tadi siang, wanita paruh baya bernama Bibi Rere. Dia dari kampung, janda sebatang kara. Katanya Bibi Rere memiliki anak perempuan, tetapi sudah meninggal di usia yang masih begitu muda--sembilan belas tahun, tepat lima tahun yang lalu. Dari pernikahannya, Bibi Rere memang hanya memiliki satu orang anak. Suaminya meninggal ketika putri mereka masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Damian sama sekali tidak mempermasalahkan soal latar belakangnya, yang penting jujur dan dapat bekerja dengan baik. Dari yang Damian dapatkan, tangan kanannya mengumpulkan beberapa fakta terkait soal Bibi Rere. Di kampung dia terkenal dengan kebaikan dan keramahannya, dia juga pekerja keras. Tidak ada yang aneh-aneh, wanita itu memiliki sikap dan sifat yang baik. Damian memilih Bibi Rere di antara wanita lainnya yang ingin menjadi asisten rumah tangga juga. Kalau dilihat dari fotonya, Bibi Rere merupakan sosok yang penyayang dan memang ramah sekali. Damian tak sempat bertemu secara langsung, mungkin besok mereka akan mengobrol kecil sebagai pengenalan. Sebelum masuk ke kamar, Damian lebih dulu singgah ke ruang kerjanya. Meletakkan tas di atas meja, mengeluarkan beberapa berkas yang harus dia selesaikan besok sebelum rapat dengan pihak direksi. Sembari mengecek email yang masuk, Damian melepaskan dasinya. Membuka tiga kancing teratas kemeja, lalu menggulung kedua lengannya hingga siku. Wajah datar dan terlihat dingin itu nampak fokus pada layar benda canggih miliknya. Jemari yang penuh urat dan kekar itu lincah bergerak bebas di atas keyboard ketika membalas sebuah pesan dari sekretaris pribadinya. Badan atletisnya begitu panas, otot-otot terbentuk sempurna tanpa menyisakan celahh untuk mencari kekurangannya. Bulu-bulu halus menumpuhi bagian tangan, dadaa, bahkan sepanjang kaki hingga ke pangkal pahaanya. Damian memiliki cambang yang semakin memperlihatkan ketegasan rahang, baru saja dicukup rapi ketika menggelar pernikahan kemarin. Alis tebal, bulu mata lentik, serta hidung bangirnya menambah aksen rupawannya. Sangat tampan di lihat dari sisi mana pun. Selesai membalas beberapa email penting, Damian segera meninggalkan ruang kerjanya. Jam sudah menunjukkan pukul satu lewat tiga puluh lima menit. Tidak terasa sudah lima belas menit saja Damian berada di ruangan itu, cepat sekali waktu telah berlalu. Dengan langkahan lebar sambil sesekali mengusap leher bagian belakangnya, lelah. Damian begitu mengantuk, badannya terasa penat di beberapa bagian. Setelah ini dia akan mandi, makan, kemudian tidur. Damian tidak sempat makan tadi. Saat memasuki kamar, Damian melihat Ratih sedang tertidur pulas di posisinya. Hanya lampu tidur yang menyala, beberapa bagian kamar nampak dibiarkan gelap. Padahal Damian tidak melakukan pergerakan yang membuat kebisingan, tetapi Ratih terbangun setelah menggeliat pelan. Kelopak matanya perlahan terbuka, menggaruk pipi sambil mengicap pelan. Setiap pergerakan Ratih tidak lepas dari pengamatan Damian. Pria itu duduk di sofa, melepas sepatu dan kemejanya. "Hem ... Mas Damian datang ...?" gumamnya serak suara khas bangun tidur. Setelah mendapat jawaban singkat dari Damian, Ratih cepat mengubah posisinya menjadi bangun. Ratih tidak mimpi, Damian beneran datang. "Eh, Mas Damian beneran datang?" Kelabakan, Ratih segera menuju ke arah Damian. Membereskan sepatu pria itu dan mengambil kemejanya. Damian menautkan alis, keningnya terlihat bergelombang. "Ya, saya beneran pulang. Kamu kenapa?" Bingung, Damian geleng-geleng kepala merasa aneh. Ratih menguap sekali lagi, menggaruk lehernya. "Ah, aku? Nggak pa-pa, Mas. Aku cuman kaget. Mas sudah lama datangnya, maaf aku ketiduran. Nggak denger Mas pulang." Hanya itu, serius? Damian pikir Ratih kenapa. Tidak masalah sebenarnya jika Ratih tetap tidur sekalipun, Damian tak akan mempermasalahkannya. "Tidur saja lagi kalau mengantuk." Ratih menggeleng cepat. "Aku siapkan air dulu. Mas Damian mau mandi kan?" Damian mengangguk pada akhirnya, menolak bukan pilihan yang benar kan? Karena sudah malam, Ratih menyiapkan air hangat untuk Damian. Mengambilkan sabun dan sampo yang baru, menyiapkan sikat dan pasta giginya. Handuk bersih baru saja Ratih keluarkan dari lemari, sementara handuk sebelumnya di cuci. "Mas Damian lapar? Aku masakin ya?" Ratih kembali membuka suara setelah selesai dengan kewajibannya di kamar mandi. Damian masih duduk di sofa, bersandar sambil memijat pangkal hidungnya. Tadinya Ratih pikir Damian akan kembali menginap di kediaman Almeer. Damian menatap Ratih. "Saya akan bangunkan Bibi saja. Kamu bisa lanjut tidu--" "Enggak, Mas. Aku udah nggak ngantuk lagi kok. Aku masakin sebentar. Mas mau makan apa?" "Terserah kamu saja. Saya makan." Ratih diam sebentar, memikirkannya. "Mas Damian mau makan ayam mentega?" "Ya, boleh. Yang menurut kamu gampang saja bikinnya, tidak usah yang terlalu repot." Damian membuka gesper, melepaskan celanya menyisakan bokser. "Aku tinggal sebentar ya, Mas. Nanti pakaian Mas aku taruh di atas tempat tidur. Kalau aku belum kembali, langsung ke dapur aja ya, Mas?" Damian mengangguk, Ratih segera berlalu cepat menuju dapur. Gerak cepat agar ketika Damian selesai mandi nanti makanan juga sudah siap di sajikan. Ratih tahu mereka sudah memiliki asisten rumah tangga, tapi sangat senang jika semua yang Damian perlukan Ratih siapkan. Membiasakan Damian dengan kehadiran dan setiap perlakuan Ratih, membuat pria itu nyaman. *** Ketika cahaya matahari dengan gagah menembus setiap celahh gorden, burung-burung berkicauan di luar sana bak alunan melodi yang indah, Ratih lebih dulu bangun dari tidurnya. Menarik napas, lalu menghembuskannya perlahan. Mengusap pipi, sembari mengumpulkan nyawa. Semalam dia tidur hampir jam setengah tiga pagi. Setelah makan bersama dengan Damian, Ratih juga memijat kepala, bahu dan kaki pria itu untuk mengurangi sedikit rasa lelahnya. Ratih sangat tahu jika suaminya sangat sibuk dengan pekerjaan, dia tidak tega. Saat nyawa mulai terkumpul, Ratih mengernyit bingung. Kemudian terlonjak menyadari posisi tidurnya. Ratih berada dalam pelukan Damian, memposisikan kepalanya pada lengan pria itu sebagai bantalan empuk yang menyenangkan. Karena melakukan pergerakan secara tiba-tiba, Damian yang selalu peka terhadap gerakan sekecil apa pun, langsung bangun dari tidurnya. Ratih merutuki diri, Damian harusnya tetap beristirahat. "Hem ... m-maaf, Mas. Aku nggak sengaja, kaget." Ratih jujur dengan posisi tidak berani menatap ke arah Damian. Dia lebih memilih menjaga jarak lagi, kembali pada posisi biasanya. Kasihan kan bantal Ratih di anggurin begitu saja? Damian menghela napas panjang, memijat pangkal hidungnya. Tanpa banyak bicara, Damian menyingkap selimut, melangkah menuju kamar mandi. Seperginya Damian, Ratih memegangi permukaan dadaanya. Pagi-pagi sudah senam jantung, dia benar-benar dalam keadaan tak menentu. Setiap berada dalam jarak terdekat dengan Damian, debaran dadaanya tak bisa dikondisikan. Tak mau pusing dan mematung, Ratih mengenyahkan segala pemikirannya. Melangkah menuju dapur dengan menggulung asal rambutnya. Sepanjang langkahannya, Ratih mengusap mata dan sesekali menggaruk leher. "Pagi, Bibi Re." Ratih mengulas senyum, menyapa wanita ramah yang sangat baik pada Ratih meski mereka baru berkenalan dan bertemu kemarin sore. Bibi Rere mengangguk, membalas dengan senyuman yang sama lebarnya. "Selamat pagi, Mbak Ratih. Mau bikin teh untuk Tuan?" tanyanya dengan sopan. "Iya, Bi. Masak menu sarapan apa pagi ini?" tanya Ratih sembari membuatkan teh hangat untuk Damian. Mengambil dua potong roti, mengolesi dengan selai cokelat ditambah parutan keju sedikit. Ratih tidak tahu Damian akan menyukainya atau tidak, tapi menurut kata hatinya Damian menyukai selai cokelat daripada kacang. "Tumis sayuran hijau, omelet, dan sereal. Apa ada tambahan lagi, Mbak?" tanya Bibi Rere. Kemarin wanita itu tanya makanan apa saja yang Damian sukai dan tidak, pada salah seorang yang menjemputnya. Dari yang Bibi Rere dapatkan, saat sarapan Damian tak bisa memakan makanan terlalu berat. Dia biasanya memakan sayuran, sereal, oatmeal, dan jika sedang bagus moodnya Damian akan meminta dibuatkan nasi goreng ayam tepung krispi. Ratih tersenyum. Dia senang Bibi Rere membuat sereal, kesukaan Ratih. "Tidak, Bi. Untuk sarapan pagi ini cukup itu saja." Bibi Rere mengangguk paham. "Ya sudah, aku ke kamar dulu, Bi." Ratih membawa nampan kecil berisi segelas teh hangat dan roti yang sudah dia buatkan tadi. Damian baru saja beres mandi. Ratih segera menghampirinya. "Mas Damian hari ini mau pakai setelan yang mana? Biar aku siapkan." Ikut masuk ke ruang pakaian. Di sana terlihat deretan pakaian Damian, dominan warna hitam pada bagian jas. Sementara kemejanya lebih ke warna putih. "Biar saja sendiri saja." Dengan nada datar seperti biasanya, Damian menjawab tanpa menoleh. Ratih tetap berusaha mengambilkan semua kebutuhan Damian. "Mas mau pakai nasi yang ini?" tanya Ratih mengambilkan sebuah dasi. Damian hanya mengangguk mengiyakannya, tidak ingin banyak bicara. Anggukan Damian menerbitkan senyum di bibir Ratih. Dia begitu bersemangat soal urusan memilihkan apa yang sangat pas dikenakan suaminya. Selain dasi, Ratih juga menyiapkan jam tangan, ikat pinggang, dan sepatu. "Aku bantu pasangin dasinya boleh?" tanya Ratih malu-malu. Pipinya sudah merona. Damian kembali mengiyakannya saja, belum sama sekali membuka suara. Karena tinggi tubuh Damian jauh di atas Ratih, membuat wanita itu kesulitan harus berjinjit. Damian akhirnya mengangkat tubuh ramping itu untuk duduk di atas lemari jam tangan. Kini tinggi keduanya tidak jauh berbeda. Ratih terkikik malu sudah diangkat Damian layaknya anak kecil. "Sudah selesai!" Dengan binar terang, mata itu mengerjap beberapa kali. Senang sebab berhasil memasangkan dasi dengan rapi. Damian gelengkan kepala. Begitu saja sudah teramat bahagia? Oh astaga, sederhana sekali. Sudah siap dengan pakaiannya, Damian keluar dari ruang pakaian. Ratih menyuruh pria itu duduk sebentar meminum teh dan memakan rotinya. "Aku nggak tahu Mas sukanya selai kacang atau cokelat. Tapi ini aku buatkan yang cokelat ditambah sedikit parutan keju." Damian menaikkan sebelah alisnya. Menu pembuka di pagi hari ini mengingatkan Damian pada kekasihnya dulu. Wanita itu selalu menyiapkan roti selai cokelat ditambah parutan keju. Apa cuman kebetulan? "Saya memakan kedua selai itu. Tapi lebih suka yang seperti ini." Damian memakan lahap roti itu, kedua bibir Ratih kembali mencetak sebuah senyuman. Ratih akan mengingatnya. Besok dia akan membuatkan roti selai cokelat ditambah parutan keju lagi. "Mas Damian nanti mau aku siapkan bekal makan siang? Jarak kafe ke kantor Mas nggak jauh, nanti biar aku antarkan ke sana." Damian menatap Ratih beberapa saat. Kenapa wanita itu masih saja bersikap sangat perhatian padahal Damian tak menunjukkan respon yang baik? "Tidak perlu. Saya nanti siang ada di luar untuk mengecek tempat lokasi proyek." "Baik, Mas." Ratih paham. "Aku boleh kan ke kafe?" "Iya." Cukup itu saja, tidak berniat menciptakan obrolan yang lebih panjang. Damian tidak terlalu tertarik, takut juga semakin runyam hubungan mereka pada akhirnya. Tidak tahu ini sudah benar atau bagaimana, Damian tidak nyaman dengan kondisi seperti ini. Yap, saat berduaan dengan Ratih. Wanita itu nampak bersemangat sekali, tatapan yang diberikan masih sama seperti pertemuan pertama kali. Penuh kagum dan sangat tulus. Damian bahkan berkali-kali mencoba menghindari bersitatap dengan Ratih. Entah apa yang sudah Ratih lakukan padanya, Damian hanya tahu satu yang pasti dalam dirinya. 'Dia tidak tega terus-terusan menolak perlakuan manis Ratih'. Wanita baik yang begitu malang, kenapa dia harus jatuh hati pada si beku Damian? ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN