6. Sepi, sendirian.

1641 Kata
Bergelut di dapur bersama para juru masak, Ratih mengusap keringatnya. Dia mengurus beberapa bagian sayuran untuk untuk nasi goreng, salad, dan burger. Menempatkan masing-masing sayuran tersebut ke tempatnya setelah berhasil dibersihkan dan dicek kualitasnya. Apakah masih layak makan, sudah layu, atau ada bagian yang bolong sebab dimakan ulat. Dari semua makanan yang tersedia, kafe Ratih memang menyediakan bahan masakan yang berkualitas tinggi. Tidak hanya burger yang mempunyai ciri khas tersendiri dan masuk urutan pertama menu terlaris di kafe Ratih, banyak makanan lain yang nampak sama dengan makanan di luar sana namun setelah dicicipi bagian rasanya begitu memikat. Pengunjung akan kembali datang, tidak pernah bosan mencicipi setiap menu yang tersedia. Selalu terdengar pujian dari para pelanggan, padahal Ratih juga menyediakan kotak khusus sebagai tempat saran untuk kemajuan kafenya. Dalam sebulan sekali, biasanya Ratih hanya menerima beberapa kertas saran--itu pun tidak mengomentari persoalan kekurangan, malah diberi tips untuk lebih berkembang. Ratih melangkah ke arah juru masak yang sedang menyiapkan satu makanan khas Jepang, yap Susyi. Ini adalah menu baru, tapi sudah melebihi pencapaian target awal pemasukan mereka. Ratih sempat tidak yakin dengan menu satu itu, ternyata malah yang banyak dicari oleh kalangan anak muda. Selain susyi, anak muda juga sering memilih hidangan mie kuah ala negeri gingseng, Korea. Ramyeon selalu bersanding dengan susyi, menciptakan perpaduan rasa yang begitu memanjakan lidah penikmatnya. Sejauh ini, Ratih paling senang memakan ramyeon super pedas dan burger. Untuk camilan, Ratih senang memilih kentang goreng. Apalagi di kala suntuk, Ratih bisa menghabiskan lebih banyak. "Bu Ratih, mari cicipi susyinya." Juru masak itu seorang gadis yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di bidang memasak, dia sangat hebat dalam urusan yang satu ini. Ratih bahkan sering kali menyarankan gadis itu untuk melamar pekerjaan ke hotel atau rumah makan berbintang, pasti mendapatkan tempat yang lebih tinggi sebagai chef handal. Nyatanya dia selalu menjawab hal serupa, sudah nyaman di kafe Ratih. Sebab dulu hanya Ratihlah yang menerima gadis itu bekerja kendati mengetahui baru saja lulus sekolah kejuruaan dan tidak memiliki pengalaman kerja. Ratih mengambil sepotong susyi, memakannya dengan lahap. "Emm ... sangat enak, Gigi!" Mata Ratih berbinar terang, dia mengacungkan dua jempol kepada gadis bernama Gigi tersebut. Gigi terkekeh senang. "Terima kasih, Bu. Senang kalau Bu Ratih suka." Menunjukkan senyuman lebar. Kalau di tempat kerja, semua pekerja sepakat memanggil Ratih ibu. Kalau di luar jam kerja--bertemu di mana pun, boleh memanggil dengan nama atau apa saja. Senyamannya mereka, itulah pesan Ratih. Ratih mengusap lengan Gigi. "Hasil olah tangan kamu tidak pernah mengecewakan saya. Terima kasih selalu menciptakan makanan yang lezat." "Sama-sama, Bu Ratih. Sudah menjadi kewajiban saja, senang bisa menyiptakan banyak menu sesuai lidah orang-orang." "Baiklah. Saya akan ke ruangan dulu, kamu lanjutin saja. Semangat yaa ...!" Gigi mengangguk paham, setelah itu Ratih segera melepaskan celemeknya. Meninggalkan bagian dapur ke ruangan pribadinya. Setibanya di ruang kerja, Ratih menyandarkan punggung pada kursi kebesarannya. Menggerakkan kursi itu menyerong ke kiri dan ke kanan dengan pikiran yang mulai bergelut ke satu keadaan. Sudah menginjak dua minggu pernikahannya bersama Damian, tapi Ratih tak sama sekali mendapatkan perhatian lebih. Masih saja sedatar dan sedingin di awal, Damian tak mengalami perubahan sama sekali. Percaya atau tidak, bahkan Damian tak pernah lagi menyentuh Ratih setelah hari itu. Ratih sudah mencoba memberikan sinyal ke arah sana, tapi Damian selalu berusaha menolak dan malah menghindari Ratih lebih jauh. Mendiamkannya, sibuk menghabiskan waktu di ruang kerja jika di rumah. Lusa katanya Damian akan berangkat ke Australia, berada di sana selama satu minggu penuh. Damian pergi bersama Kenan Almeer dan banyak orang lainnya yang memang memiliki peran penting dalam pekerjaan tersebut. Bagaimana Ratih bisa bersikap baik-baik saja, Damian seperti benar-benar tak menginginkan Ratih. Sesedih itu kehidupannya setelah memilih menikah. Ratih masih saja kesepian, sendirian, tidak memiliki teman yang benar-benar bisa mendengarkan keluh kesah dan merangkulnya kapan saja. Ratih punya Natasya dan Bastian, tapi tidak mungkin lari pada mereka setiap saat bukan? Ratih sadar statusnya sekarang, seorang istri yang memiliki banyak batasan. Belum lagi saat kedua orang tua Ratih terus mendorong agar dirinya cepar hamil. Menyuruh program dan segala macam, jangan sampai meminum pil atau hal apa pun yang menunda adanya kehamilan. Orang tua Ratih sangat mengharapkan Ratih terikat penuh dan selama-lamanya pada Damian, tanpa mau memikirkan keadaan serta perasaan Ratih juga. Mereka selalu egois, selalu ingin yang terbaik untuk mereka. Katanya kalau memiliki keturunan, anak itu akan menjadi penerus Damian suatu saat nanti. Selalu saja soal harta, Ratih begitu tidak memahami pemikiran orang tuanya. Semakin tua, makin menjadi-jadi aturannya. Kadang tidak masuk akal, sangat memaksa, tapi tak bisa juga Ratih menolak dan bersikap keras. Semua akan tambah sulit. Jalan satu-satunya mengiyakan saja, anggukkan kepala dan bungkam. Sibuk dengan pemikirannya, ponsel Ratih di atas meja berdering tak terdengar. Panggilan kedua barulah menyadarkan sang empunya. "Oh, astaga Ratih!" desah Ratih pada dirinya sendiri, mengusap pelipis pusing. "Ya, Tian?" Benar, yang saat ini menghubungi Ratih adalah Bastian. Bastian terkekeh di seberang sana. "Sumbang amat suara lo, Cha!" Terdengar helaan napas, tersenyum penuh arti. Bastian tahu Ratih sedang banyak pikiran, terlihat dari raut wajahnya kemarin sore saat mereka tak sengaja bertemu di swalayan. "Sini ke luar sebentar, gue tunggu di meja teras samping ya. Temenin gue makan siang, jangan ngumpet terus di ruangan itu. Bisa makin stress!" Ratih ikut tertawa pada akhirnya. "Resek lo. Siapa juga yang stress? Gue emang lebih suka di sini, ngadem. Enak." "Ya sudah, ke sinilah sebentar. Gue udah pesenin dua menu makanan, lo harus ke sini makan bareng gue. Gue tunggu!" Setelah itu sambungan telepon di putuskan. Ratih menjauhkan benda pipihnya dari telinga. Setelah menarik dan menghembuskan napasnya beberapa saat, Ratih segera beranjak dari ruangannya. Melangkah menuju meja teras samping yang Bastian maksud. Di sana ada kolam ikan dengan air mancur kecil, suasana nampak asri dengan sebagian dinding diselimuti tumbuhan hijau yang sehat. "Gue datang." Ratih tersenyum, mengambil posisi berhadapan dengan Bastian. Bastian tertawa. "Gitu dong. Makan dulu, baru lanjut kerja lagi. Perut juga perlu diisi, biar mesin tubuhnya tahan lama untuk digunain berpikir dan bisa diajak lelah." "Ngasal aja!" Ratih mendesis. Perumpaan seperti apa itu? Ada-ada saja. "Jangan terlalu serius, nggak baik. Nanti cepat tua." Bastian mengulum senyum, tidak merasa berdosa mengatakan hal itu pada Ratih. "Dih, maaf ya ... tapi gue masih kelihatan muda banget. Ya kira-kira, sebelas dua belasanlah sama Tasya." Dengan bangganya, Ratih mengibaskan rambut. "Percaya. Kelihatan kok." Bastian menganggukinya namun sambil tertawa. Ratih mencebikkan bibir. Bukannya senang, Ratih malah semakin yakin jika dirinya memang kelihatan lebih tua sekarang. Apa benar? Aish, Bastian kurang ajar! "Tutup mulut lo ya, Tian. Jangan ngatain gue ih!" "Eh, yang ngatain itu siapa? Gue bilang sejujurnya." "Tapi kedengarannya kayak ngeledekin." Dengan bibir memaju masam, Ratih menopang kedua pipinya malas. Bastian menyesalkan seperti dulu, tidak bosan menggoda Ratih. Bastian menahan tawanya. Belum sempat menjawab, seorang pelayan datang membawakan pesanan mereka. Pelayan itu menyebutkan kembali pesanan Bastian tadi untuk memastikan. Ketika Bastian mengangguki sudah benar dan tidak memiliki tambahan apa pun, barulah pelayan itu kembali ke belakang. "Sumpah, para pelayan di tempat lo ramah dan baik-baik semua. Nilai tambahan buat kafe ini, bikin semua orang nyaman dan nggak kapok datang." Bastian membuka plastik sodotannya, menyeruput pelan minuman dinginnya. Ratih patut berbangga diri, orang-orang yang bekerja padanya selalu melakukan yang terbaik. "Gimana dengan menunya? Enak, Tian?" Ternyata Bastian memesankan Ratih nasi goreng seafood pedas, salah satu menu kesukaan Ratih juga. Sementara Bastian memilih menu yang berbeda. Bastian mengangguk mantap. "Enaklah! Gue rela jauh-jauh ke sini buat nyicip menu di kafe ini." Memang benar, kantor tempat Bastian bekerja lumayan jauh jaraknya dari kafe Ratih. Lebih dekat dengan gedung milik keluarga Almeer, tempat suaminya bekerja. Tapi nyatanya ... Damian tak pernah sama sekali mengunjunginya. Ratih pun selalu tidak memiliki kesempatan untuk mampir ke kantor, padahal ingin sekali mengantarkan bekal makan siang. Miris bukan? "Hei! Makan, jangan ngelamun." Bastian menjentikkan jari di depan wajah Ratih, menyadarkan wanita itu dari lamunan singkatnya. "Apa sih yang jadi beban pikiran lo? Gue liat dari semalam muka lo nggak tenang gitu." Terpaksa Bastian menarik sebelah ujung bibirnya, tersenyum miring sebab Ratih berusaha menutupi semuanya. Bastian tak sebodoh itu, dia tahu Ratih tidak baik-baik saja. Ratih menghela napas panjang. "Nggak ada, udah berapa kali gue bilang?" Bibir itu berusaha menarik senyum tipis, mengangkat bahu tanda tidak terlalu memedulikannya. "Sejak kapan ya lo sepintar ini soal urusan berbohong?" Ratih terbatuk, segera menyeruput minuman dinginnya. "Kan, batuk. Padahal cuman tanya, bukan bermaksud menyindir loh." "Biasalah, Tian. Orang tua gue--" Ratih menggantungkan ucapannya di udara, dia menggeleng pelan pertanda tak ingin melanjutkan obrolan. Bastian mengusap lengan Ratih. "Jangan terlalu dibawa berpikiran, lo juga harus mikirin hal lain yang lebih penting dan berguna. Jangan buat stress, hidup tenang adalah pilihan yang baik." Sambil memutar-mutar sodotan minumannya, Bastian menatap serius Ratih. "Ada banyak sekali orang di dunia ini yang jalan hidupnya tak seberuntung kita. Jika bisa memilih terlihat baik, kenapa masih menunjukkan kesedihan?" "Bukan berarti kita nggak boleh nangis, nggak boleh ngeluh, nggak boleh menolak, dan sebagainya. Boleh saja, tapi jangan dilakukan secara berlebihan." Bastian memerhatikan Ratih yang memilih diam, menyantap makanan tanpa semangat. "Berbagi cerita sama suami lo, akan lebih ringan. Jangan lo pendam sendirian. Lo nggak sendiri, apalagi udah menikah sekarang. Lo akan baik-baik aja, udah kebal kan selama ini menerima banyak kesedihan?" Ratih mengangkat kepalanya. Itu dia masalahnya, Ratih tak sedekat itu dengan Damian. Mereka masih seperti orang asing yang terpaksa hidup bersama dalam satu atap. Berbagi tempat tidur, tetapi tidak saling memberikan kehangatan. Oh mungkin lebih tepatnya Damian yang berusaha mendinginkan setiap kehangatan yang Ratih coba bangun sedikit demi sedikit. "Iya, nanti deh gue coba cerita ke Damian." Ratih mengangguk, menunjukkan keadaan paham dengan siatusi. Bastian tersenyum. "Gitu dong. Jangan sungkan kalau mau cerita ke siapa pun juga. Suami lo, gue, atau Tasya. Kita semua ada buat lo kok, tenang aja." Ratih membalas senyuman Bastian. Benar, dia tidak sendirian. Semua akan baik-baik saja, akan Ratih coba lagi untuk memperbaiki semuanya. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN