Kafka Mangkuraja adalah pewaris sebuah usaha properti dengan nama Mangkuraja Estate. Namun Kafka tidak menyukai usaha itu. Kafka berbeda dengan keluarganya yang menyukai segala sesuatu tentang properti. Kafka sama sekali tidak tertarik terlebih setelah mengetahui apa yang dilakukan keluarganya demi usaha mereka terus berjalan. Kafka memilih untuk bekerja pada orang lain dan pilihannya jatuh pada bidang sekertaris. Keluarga Kafka jelas marah besar dan Kafka berusaha membuktikan ia mampu sukses dengan usahanya sendiri. Selain itu bagi Kafka, menjadi seorang sekertaris tidak mudah dan dengan kemampuannya, Kafka belajar berkomunikasi dengan pihak lain, pria itu juga harus mengatur jadwal hingga pintar-pintar mengerjakan apa yang atasannya delegasikan.
Kafka bekerja di beberapa bidang usaha hingga ia nekat mencoba bekerja di bidang kesehatan dan pilihannya jatuh bekerja di rumah sakit Dirgantara. Kafka menjadi asisten sekertaris pemilik perusahaan sebelum akhirnya di daulat menjadi sekertaris Adriel Dirgantara, Kafka bersyukur karena dari Adriel ia belajar banyak hal dan ia pun menjadi semakin berkembang. Dari Adriel dan istrinya juga Kafka selalu mendengar nama Emily disebut di berbagai pembahasan.
Emily begini... Emily begitu... Sosok Emily yang sering ia dengar membuat Kafka perlahan mengenal Emily dari cerita yang ia dengar. Perlahan tapi pasti ia mulai memiliki rasa penasaran akan sosok yang sering ia dengar dan ketika dirinya bertemu dengan Emily dalam sosok sebenarnya, Kafka benar-benar jatuh cinta dan kini ia berusaha menguasai dirinya. Ia dengan kesadaran penuh menyadari bahwa ia memiliki perasaan pada Emily. Saat mengetahui Emily dan dirinya tinggal di gedung yang sama, Kafka melihat ada peluang mendekati pujaan hatinya.
Hingga di suatu hari, Kafka dengan sengaja menunggu Emily. Di hari Sabtu itu, Kafka berniat membuat pertemuan mereka menjadi pertemuan tidak disengaja seperti pertemuan-pertemuan mereka sebelumnya. Kafka menunggu namun Emily tidak kunjung muncul. Kafka merasa bodoh tidak bertanya mengenai dimana lantai dan nomer unit tempat Emily tinggal sehingga ia tidak bisa mencari alasan membawakan sesuatu khusus untuk wanita itu dengan mendatangi unit apartemen milik wanita itu.
Selama ini Kafka berusaha bersikap baik pada Emily, berharap wanita itu sedikit melihat dirinya namun ketika ia mendengar bagaimana istri bosnya itu bercerita bahwa Emily dan Lukman mulai kembali dekat dan Kafka mendadak panik. Kafka yang tadinya memakai cara halus kini memilih bersikap terang-terangan. Kafka berfikir ia harus menyatakan perasaannya dengan segera agar Emily cepat sadar bahwa pria itu memiliki perasaan untuknya.
Seharian menunggu tanpa ada hasil, keesokkan harinya pun Kafka kembali menunggu Emily muncul namun sebelum itu pria itu mengirim pesan pada Emily terlebih dahulu berharap pesannya di balas oleh Emily dengan segera. Namun kenyataannya Emily tidak membalas pesannya dan juga belum ada tanda-tanda keluar dari apartemennya.
Beberapa saat setelah mengirim pesan, Kafka melihat Emily keluar dari sebuah mobil dimana muncul wajah Lukman yang bisa ia lihat dari posisi duduknya. Kafka sadar bahwa pembahasan Adriel dan Mila mengenai Emily adalah sebuah kebenaran. Kafka pun memutuskan kembali menegaskan perasaannya pada Emily agar Emily sadar bahwa ia tidak main-main tapi Kafka tidak siap mendengar penolakan sehingga saat Emily ingin menjawabnya, Kafka dengan cepat memotongnya.
Kafka selama ini hanya fokus bekerja, ia mati-matian bekerja demi memiliki kehidupan yang layak dengan hasil jerih payahnya sendiri. Kafka mati-matian bekerja untuk membuktikan bahwa ia bisa hidup dengan layak tanpa harus bergantung pada bisnis usaha keluarganya itu. Emily adalah wanita pertama yang masuk ke dalam hati Kafka yang sudah kosong selama belasan tahun. Hubungan terakhirnya terjadi saat masih di bangku putih abu-abu dan kini mantan kekasihnya itu bahkan sudah memiliki keluarganya sendiri. Kafka pun ingin memiliki keluarganya sendiri dan bersama dengan Emily, Kafka berharap mimpinya itu bisa terwujud.
***
Wisnu kini sedang berada di club. Setelah sekian lama tidak menginjakkan kaki di club, akhirnya hari itu Wisnu kembali menginjakkan kakinya disana bertemu dengan teman lamanya yang sudah kembali menjadi anak club karena masalah pribadinya. Wisnu duduk di meja bar sambil menenggak segelas alkohol yang sudah lama tidak ia sentuh.
"Gue yakin terjadi sesuatu. Biasanya orang jam segini di restoran makan malem tapi elo ajak gue ketemu di club? Wow... Elo gak lupa besok hari senin, kan? Gue ingetin kalo-kalo elo lupa, dulu mabuk di hari minggu adalah hal yang paling lo hindari."
Wisnu menoleh pada Azka. Teman lamanya yang Wisnu kenal karena pria itu adalah rekan kerjanya dulu. Keduanya satu kantor dan keduanya dekat karena memiliki hobi yang sama dibidang otomotif. Wisnu dan Azka pun menjadi teman baik dan mendukung satu sama lain. Pertemanan yang terjalin sudah hampir dua dekade itu pun sudah erat layaknya saudara.
Wisnu kembali menenggak isi gelas yang ada dihadapannya dan mengusap wajahnya dengan kedua tangannya, "Gue stress karena gue udah bikin kekacauan, Ka."
Azka mengerutkan alisnya mendengar ucapan Wisnu. "Soal?"
Wisnu menghela nafas panjang, tatapannya menatap gelas dihadapannya dengan tatapan menerawang, "Cewek yang gue ceritain ke elo bikin gue penasaran itu. Cewek yang gak bisa gue baca isi kepalanya itu udah bikin gue salah langkah."
"Lo enggak ngelakuin hal gila kan?"
Wisnu meringis, "Kalo hal gila itu termasuk ngaku spontan kalo gue tertarik dan suka sama dia. Ya, gue udah ngelakuin hal gila."
Azka melongo mendengar pengakuan Wisnu.
"Gue udah bikin kacau," Wisnu berucap dengan nada frustrasi.
Azka meringis membenarkan ucapan Wisnu. "Bisa jadi elo emang tertarik sama si cewek tanpa nama ini. Berawal dari penasaran akhirnya elo suka. Alur yang udah biasa terjadi, kan?"
Wisnu mendengus, "Gue yakin gue cuma penasaran. Cinta gue punya Nadira, Ka. Karena itu gue bertahan enggak nikah lagi sampe sekarang walau ada nenek lampir yang ngejar-ngejar gue."
Azka menghela nafas panjang mendengar pengakuan Wisnu. "Kalau gitu elo harus lurusin soal pengakuan suka lo itu."
Wisnu merotasi bola matanya, "Dan bikin gue jadi pria yang dipikir enggak konsisten? Heckkk! Lo mau bikin image gue jadi buruk, Ka?"
Azka terkekeh. "Elo enggak suka sama dia, kan? Ngapain lo pikirin image lo di depan tu cewek?"
Wisnu menenggak isi gelasnya sampe habis, "Capek gue ngomong sama elo.Bukannya dapet solusi malah tambah pusing."
Azka menggelengkan kepalanya sambil memesan minuman pada bartender di hadapannya saat Wisnu menoleh pada pria itu lalu bertanya, "Lo jadi dijodohin sama anak temen bokap lo?"
Azka menoleh sambil mengangguk pelan dan menjawab, "Udah ketemu kemarin."
"Lo jadi mau dijodohin?" Wisnu bertanya lagi dengan nada kaget.
Azka menenggak minumannya yang ia terima dari sang bartender sambil merotasi bola matanya lalu selesai menenggak minumannya barulah pria itu menjawab, "Gue cuma anggep tu cewek temen kecil gue. Dia bukan tipe gue sama sekali jadi gue gak minat. Awalnya ide nyokap gue yang nyodor-nyodorin gue sama mereka. Hecckkk! Gue belom lama cerai masa udah mau dilepas ke bursa perjodohan. Gak paham gue sama jalan pikiran nyokap gue."
Wisnu meringis, ia pun bernasib sama dengan Azka. Keduanya sama-sama duda dan sama-sama dijodohkan oleh kedua orang tua mereka masing-masing namun nasib Azka jauh lebih baik karena dijodohkan dengan orang lain bukannya kakak dari mendiang istrinya sendiri.
Azka menghela nafas panjang melihat temannya nampak melamun. Pandangan pria disebelahnya menerawang menatap gelas berisi minuman alkohol milik pria itu sendiri.
"Mending elo jauhin itu cewek. Sebelom rasa penasaran lo malah bikin lo terjebak," ucap Azka setelah menghabiskan minuman miliknya lalu pergi meninggalkan Wisnu seorang diri mendatangi teman-temannya.
Wisnu menghela nafas panjang, Wisnu sudah pernah berusaha menghilangkan rasa penasarannya pada Emily namun Wisnu tidak bisa. Emily selalu membuat Wisnu tanpa sadar selalu mendekati wanita itu. Besok apa yang harus ia lakukan saat bertemu dengan wanita itu di kantor? Rasanya ia benar-benar mau gila memikirkan apa yang akan terjadi besok.
***
Di apartemennya Lukman baru saja selesai membersihkan diri. Lukman perlu mempersiapkan diri untuk memulai hari seninnya. Bekerja untuk seorang Ryandra Algantara bukanlah hal mudah. Banyak hal yang harus Lukman kerjakan dengan serius dan banyak hal yang Lukman korbankan demi kelancaran pekerjaannya. Beruntung Emily dulu memahaminya karena Emily pun merasakan bagaimana bekerja dibawah seorang Ryandra Algantara. Atasannya itu memang gila kerja maka dari itu Ryandra Algantara bisa membawa Algantara sampai sebesar ini.
Lukman sudah bersiap membuka laptopnya namun fokusnya teralihkan pada ponselnya. Ibu Lasmi menghubunginya. Lukman pun dengan cepat mengangkat panggilan dari Ibunya itu.
"Halo, Bu..."
"Man.. Kamu lagi sibuk?"
"Enggak, Bu... Baru selesai mandi." Lukman menjawab dengan nada santai lalu melihat jam yang ada diatas meja kerjanya, "Ibu sama Laura sudah makan?"
"Sudah... Kamu sudah makan?"
"Sudah tadi, Bu.. Ibu lagi apa?"
"Beli nasi goreng lagi?"
Lukman terkekeh, "Iya, Bu. Yang cepet dan praktis ya nasi goreng."
Ibu Lasmi berdecak, "Kamu itu harus kurangi nasi goreng. Goreng-gorengan bisa bikin kolestrol, Man."
"Aku selalu cek kesehatan kok, Bu... Alhamdulillaahhh semua normal. Sehat semua..."
"Alhamdulillahhh... Man, Ibu telepon kamu ini karena Ibu mau bicara soal Emily."
Lukman terdiam sesaat mendengar ucapan Ibunya.
"Ibu sudah memikirkan semuanya. Baik dan Buruknya sudah Ibu pikirkan dan keputusan Ibu tetap tidak bisa menerima Emily sebagai menantu Ibu. Ibu sudah rela kalau kamu menyebut Ibu kejam tapi Ibu tidak mau kamu menderita sama seperti Ibu dan Bapakmu. Cukup kami saja yang mengalami cerita menyedihkan seperti itu. Tidak ada orang tua yang ingin anaknya bernasib sama dengannya, Man. Tolong pahami keputusan Ibu. Ibu tidak akan melarang kamu menikahi wanita mana pun sepanjang wanita itu memang berasal dari kalangan yang sama dengan kita. Perbedaan status sosial tidak akan semudah itu di lalui. Ibu sudah pernah mengalaminya. Percaya sama Ibu."
Ibu Lasmi berucap dengan suara bergetar. Lukman menghela nafas panjang. Ia yakin Ibunya kali ini sudah menangis.
"Tapi, Bu..."
"Ibu paham kalau kamu dan Emily berbeda dengan Ibu dan Bapakmu tapi kasus kalian sama dengan kami. Perbedaan status sosial. Ibu tidak akan bisa hidup tenang kalau kamu menderita, Man. Kamu akan sulit berbaur dengan keluarga Emily. Laki-laki dipandang rendah tidak akan bisa bertahan lama. Pada hakikatnya seorang laki-laki harus memiliki wibawa sendiri tapi dengan status sosial kamu yang dibawah keluarga Emily pasti keluarganya akan sulit menerima kamu dan kamu akan dipandang rendah, Man."
Lukman hanya diam. Menjawab ucapan Ibunya hanya akan membuat Ibunya tambah sedih dan ia tidak mau menambah kesedihan wanita paruh baya yang sudah bersusah payah mendidik dan membesarkannya seorang diri itu.
"Pikirkan dulu ucapan, Ibu. Ibu mohon sudahi niat kamu bersama dengan Emily. Kamu tidak akan menemui jalan, Man."
Panggilan diputus sepihak oleh Ibu Lasmi. Lukman pun meletakan ponselnya ke atas mejanya. Lukman memandangi benda berbentuk persegi panjang itu dengan tatapan menerawang. Kenapa usahanya terus tidak menemu pintu untuk jalan keluar? Kenapa ia seperti kembali ke masa itu dimana semua menolak hubungan mereka? Apa cinta mereka tidak pantas menjadi pertimbangan? Apa status sosial sepenting itu? Apa usahanya selama ini belum juga menaikkan status sosial keluarganya?
Benda berbentuk persegi panjang itu kembali menyala. Kini adiknya yang menghubunginya, Lukman menghela nafas panjang sebelum mengangkatnya.
"Ya, La?"
"Mas... Apa Ibu baru telepon Mas Lukman? Ibu nangis dikamar..."
Lukman menghela nafas panjang mendengar ucapan Laura, "Iya.. Ibu sama Mas habis telepon barusan..."
"Mas... Aku bingung harus bilang ini sama Mas atau enggak. Ibu larang aku bilang sama Mas Lukman tapi aku rasa Mas juga harus tau..." Laura berucap dengan nada ragu.
Lukman spontan mengerutkan alisnya mendengar ucapan Laura, "Ada apa, La?"
"Mas, tadi ada bapak-bapak yang datang ke rumah. Ibuk langsung histeris. Aku baru pulang kuliah terus pas aku deketin wajah bapak itu mirip Mas Lukman. Sepertinya itu Bapak, Mas..."
Tubuh Lukman menegang mendengar ucapan Laura.
"Mas..."
"Mau apa pria itu datengin Ibu?"
"Aku juga enggak tau. Pas aku sampe rumah, Ibu udah teriak-teriak ngusir bapak-bapak itu. Habis kejadian itu Ibu enggak berhenti nangis di dalam kamar, Mas."
Lukman terdiam, jadi alasan Ibunya menghubunginya karena kedatangan pria itu. Pria itu membuat Ibunya kepikiran mengenai hubungannya dan Emily dan menghubunginya barusan.
"Mas, Ibu enggak berhenti menangis. Aku khawatir..."
Lukman menghela nafas panjang, "Mas enggak bisa pulang, La. Mas minta tolong kamu temenin Ibu, ya..."
"Iya, Mas. Aku minta maaf sebelumnya, aku tau ini bukan urusanku tapi aku mohon ikuti kemauan Ibu. Ibu cerita sama aku soal Mas dan pacar Mas... Aku setuju sama Ibu. Jangan sampai Mas teguh tapi pada akhirnya ucapan Ibu yang jadi kenyataan, Mas. Ibu akan tenggelam dalam kesedihan, Mas. Mas sendiri nanti akan tenggelam dalam rasa bersalah karena Mas tidak mendengarkan ucapan Ibu."
Lukman menyugar rambutnya dengan sebelah tangannya yang bebas, "Mas mengerti, La. Nanti Mas akan pikirkan."
Lukman dan Laura menyudahi panggilan keduanya. Lukman menyenderkan punggungnya ke kursi dan menatap langit-langit apartemennya. Apa yang harus ia lakukan?