Bab 5. Di Dalam

1180 Kata
"Ah.. Ah... Dantee" Kepalaku pusing. Kenikmatan ini membuatku tidak bisa berpikir dengan tenang. Dante terus saja menyodok adiknya ke punyaku dengan keras. Aku sudah beberapa kali o*****e, dan ia belum sama sekali. Kini, kami melakukannya di dalam kamar mandi ruang rawat ibu. Dengan tidak sabaran Dante membawaku ke toilet saat dia mengatakan bahwa tidak tahan untuk jauh-jauh denganku. Kami memang gila, sangat gila. Dante hanya menurunkan celanaku setengah, dan bajuku yang sudah dia lempar entah kemana. Aku setengah telanjang, sedangkan ia masih berpakaian lengkap. Ia hanya menurunkan setengah celana kerjanya saja. Ia terus saja menyodok dengan keras dari belakang. Aku tidak bisa menahan suaraku untuk tidak mendesah. Setiap dorongan adik Dante, selalu membuatku mengeluarkan desahan demi desahan yang tak tertahan. "Anaa... Sebut namaku, Ana. Aku sudah tidak tahannnhh.." Bisikan Dante di telingaku sungguh geli, namun membuat gairahku semakin naik. Aku menyebut nama Dante di tengah desahanku. Tidak lama setelahnya, Dante mencapai puncaknya dan menyemburnya di dalam. "Dantee... Kamu mengeluarkannya di dalam?" Dante memelukku erat dari belakang. Ia mengecupku, menanamkan wajahnya di ceruk leherku sehingga membuatku geli. "Tentu saja. Bukankah kita menginginkan anak?" Sedikit kecewa. Dante tidak mau rugi begitu saja. Tentu saja Cinta, kamu jangan lupa diri juga. Kamu sudah menggunakan uang pria ini untuk mengobati ibumu, lalu tugasmu sekarang adalah melayani pria ini, membesarkan janin yang akan tumbuh di rahimmu dan memberikan anak itu untuk keluarga kecilnya. Lalu setelah itu kamu tidak berarti lagi baginya. Kenapa bisa sesimpel tapi semenyakitkan begini ya?. Dante kembali memaju-mundurkan adiknya pelan. Aku menghentikan Dante dan membalikkan badanku. Aku lihat tatapan Dante begitu sensual, apalagi mata birunya. Ia hendak menciumku, sontak ku tolak dengan berpaling. "Ada apa? Apa ada yang salah?" Tanya Dante. Ia tidak menyerah begitu saja. Ia mencoba menciumku, tetap ku tolak. Tangannya gatal dan kemana-mana. Awalnya ke tengkuk, lalu turun ke payudaraku. Ia sempat meremasnya dan mencubit. Hal yang paling membuatku lemah adalah ketika Dante mencubit si kembar. Tidak hanya itu, tangannya turun untuk membelai kewanitaanku yang masih berkedut. Tentu saja, adalah normal jika aku kembali terangsang. Apalagi mulutnya yang tidak berhenti untuk mencium segala hal yang bisa digapainya. "Dante. Bisakah berhenti?" Pintaku. Disela pinta itu, terselip desahan kenikmatan ketika Dante mencoba untuk kembali memasukkan adiknya. "Kenapa, Ana?. Bukankah kamu juga menginginkannya?" "Bukan seperti itu, aku tentu menginginkannya. Tapi ini salah" "Salah seperti apa? Aku salah seperti apa?" Tanya Dante. Ia menggendongku layaknya bayi. Aku pasrah, kenikmatan ini membuatku tidak bisa melawannya lagi. Ia terlalu mahir dalam masalah percintaan. Aku melingkarkan kakiku di pinggangnya. Entah dia akan membawaku kemana, aku tidak perduli. Yang terpenting sekarang adalah menuntaskan pelepasan ini. Dante terus saja memimpin permainan ini. Meski sedang berdiri dan berjalan, ia tetap mahir dalam hal memaju-mundurkan sehingga menciptakan kenikmatan yang tiada tara. Aku kira Dante akan membawaku keluar dari kamar mandi dan menuju ruang rawat ibu. Sempat berpikir bahwa itu adalah ide yang sangat gila. Bagaimana mungkin kami akan bercinta di depan ibu yang masih belum sadar? Bagaimana jika ibu tiba-tiba siuman dan mendapatkan anaknya yang sedang melakukan hal yang tidak seharusnya?. Bisa membuat ibu syok dan kembali tidak sadarkan diri. Tapi ternyata tidak. Ada ruang rahasia lagi yang terdapat di samping kamar mandi. Seperti kamar, namun sangat minimalis. Hanya menyediakan kasur besar dengan lemari saja. "Apakah kamu masih berpikir untuk berhenti?" Tanya Dante. Ia menciumku dengan lumatan yang sangat kuat, aku tidak bisa mengimbanginya. Ia terlalu mahir. "Lanjutkan, Dante. Aku tidak tahan. Lanjutkan, aku mohon. Ahh..." Dante semakin keras dalam penyatuan ini. Setelah aku memohon padanya untuk menuntaskan percintaan ini, ia semakin keras dan kasar memaju mundurkan adiknya. Untung saja aku sudah dibaringkannya di ranjang, jika tidak aku tidak sanggup menahan diriku sendiri yang lemas. "Dantee...hhhh... ahh.." "Iyaahh... Anaahh... " Sudah beberapa kali ku merasa ada yang meledak dalam diriku. Jantungku sudah berdetak tidak karuan, apalagi ketika melihat bagaimana cara Dante memperlakukanku sekarang. Ia menatapku dengan tatapan yang bisa aku katakan dengan penuh cinta. Mata birunya terus saja menatapku, sambil pinggulnya yang baik turun untuk mencapai kenikmatan bersama. Aku tidak bisa berlama-lama menatapnya, membuatku ingin mengecup seluruh wajahnya. Apalagi bibirnya yang terus saja menggoda. Ahh, terserah dengan semuanya. Sewa rahim?. Baik, mari lakukan dengan baik. Toh juga janin tidak akan tumbuh dalam rahimku jika aku tidak bercinta dengannya. Lagipula, jauh dari dalam lubuk hatiku, aku menginginkannya. Aku mencintainya sejak kecil. Aku menanti kehadirannya sudah lama. Kini ia tepat berada di depanku, menatapku dengan penuh rasa, masih adakah niat untuk meragu dengannya?. Terserah dengan perasaan istrinya. Aku perempuan, juga ingin merasakan cinta. Tidak tahan melihat mata biru Dante, aku menarik tengkuk Dante dan menciumnya. Untung saja Dante menyambut, bahkan ia melumatnya juga. Perpaduan lumatan bibir Dante dan tarian pinggulnya memberikan sensasi yang luar biasa. Membuatku terus saja mengerang kenikmatan, mengeluarkan cairan o*****e terus menerus. Dante semakin cepat, erangannya juga terdengar dengan jelas di telingaku. Tidak lama, keluar juga. Ia ambruk dalam dekapanku. Menciumku dan kembali melumat bibirku. "Semoga saja ada Culun kecil di sana" bisik Dante membuatku merasakan perasaan yang berbeda. Sepintas aku merasa bahwa Dante sangat berharap ada penerusnya di dalam rahimku, tapi setelah dipikir, hanya sekedar sewa saja. Aku dan Dante sama-sama lelah. Dante tertidur dengan keadaan ia memelukku dari belakang. Ia memelukku dengan erat. Tangannya melilit perutku, sedangkan kakinya di atas pahaku. Jangan lupakan kepalanya yang terus saja mendusel di ceruk leherku. "Dante" Panggilku. "Hmm..." "Tidak ada" Ujarku. Ia menciumku dan memelukku semakin erat. 'Aku hanya mau mengatakan kalau aku ingin memperjuangkanmu. Tapi apakah aku layak memperjuangkan orang seperti dirimu sedangkan aku adalah orang rendahan?' Aku hanya membisikkan kata itu untuk diriku sendiri. Memikirkan kata itu, rasanya sesak. Dulu kami memang teman yang sangat dekat. Tapi sekarang bagai langit dan bumi, terpisah sangat jauh oleh keadaan yang memaksa untuk menyadarkan diri bahwa kita tidak pantas bersama. Aku mencoba menurunkan kaki Dante dan tangannya dari tubuhku. Ku kira ia tidak terganggu akan hal itu, tapi dia langsung terbangun. "Ada apa?" Tanyanya. Aku langsung kebingungan. Pasalnya ia bangun setengah badan. Aku tersenyum. Please Dante, jangan terlalu berlebihan. "Jangan pergi!" Katanya lemah. Aku tertawa dan meraih tengkuknya untuk ku cium. "Tidak. Aku tidak pergi. Aku hanya ingin memperbaiki posisiku. Jika aku tertidur membelakangimu seperti tadi, aku tidak bisa melihat wajah ganteng ini. Aku juga ingin melihat keindahan ketika tertidur" Jelasku. "Aku kira kamu akan pergi" Ujarnya dan menarik selimut untuk kami berdua. "Tidurlah" Ujarnya. Ia kembali memelukku. Ia tidak membiarkanku bebas sedikitpun. Andai ia belum menikah, aku sudah sangat bahagia dengan perlakuannya sekarang. "Apakah nanti kita jadi ke suatu tempat seperti yang kamu janjikan tadi sore?" Tanyaku dengan mata tertutup. "Sepertinya kita tunda saja" Aku langsung membuka mata dan menghindar darinya. Sontak ia tertawa. "Hahaha.. Tentu saja kita akan kesana. Mana mungkin aku akan ingkar. Jika tidak, Ana akan memukulku dengan habis-habisan" Ujarnya. Huft... "Jika suatu hari kamu ingkar kepadaku, aku tidak akan memukulmu. Aku hanya akan diam dan pergi dari sisimu. Aku akan menyalahkan takdir yang mencoba untuk mempertemukanku kembali denganmu" bisikku. "Aku tidak akan membiarkanmu pergi dariku untuk kedua kalinya" Bisiknya juga. Air mataku lolos mendengar itu. Tidak Dante, suatu hari nanti aku akan pergi karena tidak sanggup melihatmu bahagia dengan keluarga kecilmu. Dengan istri dan anakmu, tertawa bahagia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN