***
#Nara POV. . . .
Gue duduk bersila di depan kaca besar yang langsung memamerkan keindahan malam dari luar jendela, ini lantai 18 cuuy LANTAI 18 bisa dibayangin gimana kayak semutnya mobil yang lagi lululalang memenuhi jalanan di bawah sana. Dan pastinya ini momen yang bagus di foto dan di videoin tentunya dan itulah yang sejak tadi gue lakukan.
Kak Davi di mana? Dia lagi nongkrong di ruang tengah bareng duo abang yang namanya sama-sama berawalan 'Ra' katanya ada yang mau diomongin perkara kerjaan dan gue gak mau ikut campur.
"hayooo masih anteng aja duduk di sini?"
Kak Davi langsung duduk di samping gue.
"Bener kata Kakak kalau malam lebih bagus."
Gue melihat ke arah kak Davi yang menghadiahi gue dengan senyum manisnya. Kak Davi terdiam seolah ikut hanyut melihat pemandangan di bawah sana.
"Kak."
"Hmm."
Oke gue mulai muak mendengar gumaman kak Davi setiap kali gue manggil dia.
"Kak."
"Hmm."
Sabar Nara sabar ini cobaan.
"Bukannya Kakak takut ketinggian ya?"
Gue merubah arah duduk, sekarang menghadap kak Davi, gue cuma mau melihat ekspresi wajahnya yang bukan hanya takut film horor tapi juga takut ketinggian, jadi mendadak insting jahil gue muncul.
Kak Davi memutar badannya menghadap gue jadilah kami hadap-hadapan sambil duduk bersila.
"Kalau gak ada pembatasnya atau pembatasnya cuma sepinggang dan Kakak langsung bisa lihat kebawah tanpa penghalang Kakak gak berani."
Kak davi tersenyum sambil memamerkan giginya.
"Ooh. "
Gue ber-o ria sambil mengangguk - ngangguk.
"Satu lagi."
Gue mengancungkan jari telunjuk.
"Kenapa Kakak tinggal di tempat ini? dan setinggi ini?"
Akhirnya gue berani juga menanyakan pertanyaan yang sejak pertama kali datang tadi ingin gue tanyakan.
Kak Davi nampak berpikir sebentar kemudian mengangkat bahunya seolah dia sendiri bahkan tidak tahu alasannya.
"Kak"
"Hmm."
Oke kata hmm akan masuk blacklist gue, entah berapa ratus kali gue dengar kata hmm dari kak Davi bahkan gue gak tahu hmm itu termasuk kata atau bukan.
"Kenapa? "
Gue terdiam sesaat mencoba merangkai kata yang pas untuk pertanyaan berikutnya yang gue rasa cukup sensitif mungkin buat kak Davi.
"Iya?"
Kak Davi mengintrupsi pikiran gue.
"Tanya aja kalau bisa nanti Kakak jawab," katanya ala-ala bapak guru lagi ngajar.
"Kenapa Kakak gak pernah cerita soal keluarga Kakak sama Nara," tanya gue tanpa berani melihat ke arah wajahnya. Iya gue buta banget soal kak Davi, yang gue tahu cuma nama dan kebiasaan anehnya dia doang.
"Karena. . ."
Kak Davi terlihat berpikir sesaat, kemudian ia mengulurkan tangannya ke arah muka gue sampai sesaat kemudian gue bisa melihat wajah kak Davi dekat banget sama wajah gue.
Kening kami saling bersentuhan dan jangan tanya apa kabar jantung gue, karna sekarang rasanya jantung gue lagi dangdutan di dalam sana.
Gue bahkan gak berani bersuara, sesaat mikir juga semoga napas gue gak bau naga, walau gue udah sikat gigi tentunya.
Gue menelan saliva kasar, kak Davi tidak bicara apapun dia cuma fokus ngelihat mata gue dan membuat gue salah tingkah, ada apa dengan kak Davi kenapa dia agresif sekali? apa karna ini, DI KAMAR nya? heeeh?
Sampai kemudian satu sentilan dari jari kak Davi di kening gue menyadarkan lamunan gue, eh kapan kak Davi mengenyahkan wajahnya dari depan muka gue.
"Abis sauna Neng? merah amat?" katanya sambil tertawa dan gue yakin yang dia maksud itu muka gue, sial gue dikerjain, gue mendengus kesal dan membuang wajah ke arah jendela.
Kamar ini begitu mewah, tempat tidur berukuran king size dan menghadap langsung ke arah jendela kaca ini, lemari pakaian yang besar memenuhi sudut sebagian dinding dan wallpaper yang menambah kesan mewah, banyak yang sebenarnya ingin gue tanyakan tapi lebih baik gak usah daripada bikin berantem.
"Kakak emang kerja apa?"
Kak Davi menghadapkan wajahnya ke arah gue setelah ikut memandangi suasana di luar jendela.
"Ngurus pembukuan perusahaan."
"Bayarannya berapa? Pantes Kakak banyak duit." Kak Davi tertawa mendengar ucapan frontal gue.
"Kok Kakak gak pernah ngasih tahu Nara?"
Iya salah satu fakta baru buat gue karna setahu gue kak Davi gak ada tampang-tampang manusia yang mau kerja secara kerjaannya kalau gak tiduran di Bem ya tiduran di basecame nya.
"Hmmm. . . . apa ya rasanya bingung juga kalau ditanyain begitu."
Dia terdiam sesaat seolah berpikir apa lagi yang hendak ia katakan.
"Mungkin karena Kakak ingin nanti orang tua Kamh menerima Kakak, dan tentunya Kakak bisa menunjukkan kalau Kakak adalah orang yang pekerja keras dan dapat membahagiakan anak mereka, juga bukan anak manja yang hanya mengandalkan kekayaan orang tua," ungkap kak Davi panjang lebar.
Gue tertegun mendengar alasannya. its so sweet beybeh.
Kak Davi membawa kedua tangan gue dalam genggamannya, kak Davi yang biasanya gak ada romantis-romantisnya sekarang malah kelihatan romantis banget, uughh coba tiap hari begini eh tapi gak sweet lagi dong kalau tiap hari, hihi
Kak Davi mencondongkan wajahnya ke arah wajah gue, gue degdegan gila kalau dari pengalaman gue nonton drama korea kak Davi bakal eheemm nyium gue so sekarang gue harus apa? haruskan gue nutup mata?
Sampai....
"Ekheem."
Suara deheman mengintrupsi kegiatan kami berdua, kak Davi memundurkan wajahnya untung gue belum tutup mata.
Pyuuh kalo gak, bikin malu aja. Gue mengedarkan pandangan ke arah pintu duo abang-abang jones udah stay berdiri di depan pintu berbeda dengan bang Rafli yang terlihat biasa aja bang Rama justru senyum-senyum sendiri, what jangan bilang mereka di sana dari tadi.
Kak Davi melepas genggaman tangannya dari tangan gue.
"Ternyata benar ada setan di sini," ucap kak Davi acuh, menoleh ke arah pintu tempat dua makhluk pengganggu itu sedang berdiri.
"Siapa yang setan?" tanya bang Rafli sambil melihat ke arah belakangnya.
"Dia?"
Tunjuk bang Rafli ke arah bang Rama yang ada di belakangnya.
"Enak aja. Lo pada setan teriak setan." Bang Rama mendengus kesal dan berjalan pergi.
Ada perasaan kesal sih, batal gue dicium but Alhamdulillah duo abang-abang jones pengganggu itu sudah menyelamatkan kami dari dosa.
"Nara gak pulang?"
Bang Rafli menunjuk Jam di dinding, uppss sudah pukul 20.05, udah mulai larut rupanya.
"Yook Kakak antar pulang." kak Davi berdiri dari duduknya dan membantu gue berdiri.
"Looh terus mochi gimana? masa mau ditinggal lagi?"
Kasian mochi gue kalau mesti ditinggal di tempat antah barantah lagi.
"Biar Rafli yang bawa nanti Kamu sama Kakak."
Kak davi mengambil kunci mobilnya.
Jadilah sekarang gue duduk anteng seperti biasa di samping kak Davi yang lagi menatap lurus ke arah jalan. setelah hampir 20 menit di jalan yang untungnya gak macet sampailah kami di depan rumah gue dan diikuti oleh dua makhluk yang tadi boncengan pake motor gue
"Ni Kak."
Sebelum turun dari mobil gue menyodorkan kartu gold milik kak Davi yang kemarin lupa gue kembalikan.
"Pakai aja."
Lihat senyum kak Davi bikin luluh.
"Tahu kan passwordnya?"
Gue ngangguk kecil, iya passwordnya tanggal jadian kami.
"Tapi nanti Nara Khilaf, kartu gold lagi, nanti kebablasan borong ini itu." Maklum lah ya perempuan..
Kak Davi tertawa kecil.
"Gak apa-apa pakai aja."
"Ciuss?"
Gue memastikan dan diangguki oleh kak Davi. Oke ingetkan gue untuk gak boros, kali aja kak Davi lagi ngetes gue, apakah gue cocok jadi emak-emak yang bisa ngatur keuangan atau enggak yekan.
"Oh iya ini password kartu dan password apartemen."
Kak Davi mengelus kepala gue, uugh apa gara-gara sakit ya, kak Davi jadi sweet gini? rajin-rajin sakit ya kak? eh tapi emang dari tadi dia gak kelihatan kalau lagi sakit sih.
"Dan Kamu gak perlu parkir motor di swalayan lagi kayak tadi."
Benar juga tadi gue kepaksa parkir di depan swalayan gara - gara susah banget mau masuk ke area apartemen kak Davi untung ada pak Yanto.
Setelah bang Rafli memarkirkan motor gue di halaman rumah, akhirnya gue berdadah-dadah ria menghantarkan kepergian tiga makhluk ganteng itu sampai..
drrr...drrrt..
Novi calling. . .
"HALOO," teriak gue ken cang sengaja ding. . .
"Eth dah Lo. Lo kate Gue budeg apa ya, bukannya ngycao salam."
Gue ketawa setan mendengar ocehan Novi.
"Assalamualaikum ya Ukhti." Gue sok imut.
"Nah gitu dong. Waalaikumsalam," katanya sok imut tapi yang jawab bukan Novi tapi suara ini, Siska. Pasti mereka lagi ngerumpi berdua, enaknya yang tinggal di kosan berdua sahabat, sayang mama gak pernah ngizinin gue nginap.
Gue rebahan di atas tempat tidur, capek dan gue belom mandi, syukur gak bau ketek. Eh ini dua manusia kagak ngomong juga dari tadi ketiduran apa ya?
"Woooy none none belande? situ yang nelpon situ membisu."
"Lah Lo diem Kita diem juga."
Etdaah ini temen-temen gue suka bikin naik darah.
"Ada apa gerangan kisanak-kisanak ini menelpon Ananda," kata gue sok kolosal.
"Kebanyakan nonton kolosal Lo," celetuk Siska seperti biasa dia yang akan mendominasi pembicaraan secara novi jarang ngomong kebanyakan diam, cocok ni sama bang Rafli, eh.
"Gimana tadi di rumah kak Davi?"
Tuh kan pasti kepo masalah itu. . .
"Yah gak gimana-gimana," kata gue asal yang sebenarnya malas cerita aja. Ya kali kalau gue ceritain mereka bakal ngajak gue ngobrol sampe subuh.
"Pelit"
Haha gue tertawa garing.
"Lo ketemu sama keluarganya?" tanya Novi antusias.
"Kak Davi yatim piatu."
Sesaat gak terdengar apapun dari seberang sana.
"Sorry Ra," ucap mereka bersamaan.
"Udah deh gak usah dibahas ya, agak mumet Gue. Yang jelas Gue sekarang mau mandi, okeh."
Gue memang lagi males cerita apapun, apalagi soal keluarga kak Davi yang gue sendiri bahkan gak tahu. Sebelum gue hendak menutup telpon suara Siska mengintrupsi lagi.
"RAAA."
Sontak gue menjauhkan hp dari telinga, ya kali sekarang dia yang teriak.
"APA? Biasa bisa wooy gak usah kompakan teriak yang ada Gue ke dokter THT besok."
Gue ngusap-ngusap telinga.
"Lo gak suka main IG kan?"
"Lah kan Lo pada tahu Gue gak terlalu suka foto, buka IG aja jarang."
Benar juga, i********: di hp gue cuma sekedar penambah koleksi aplikasi aja. Gue juga bukan tipe orang yang suka miring dikit cekrek, belok dikit cekrek walaupun kadang gue gemes mau upload foto gue sama kak Davi, tapi gue takut dibully karena itu gue menekan ego supaya gue gak main sosmed.
"Emang kenapa?" tanya gue bingung.
"Gak ada sih cuma kepo aja Lo gak pernah like foto Gue, hehe," siska ketawa kunti khas dia yang terdengar aneh di telinga gue.
"Kurang kerjaan Gue like foto Lo, hahaa bye."
Gue nutup sepihak obrolan kami yang jelas sekarang gue mau mandi terus tidur.
***
Beberapa hari ini kak Davi sibuk ngurusin acara yang bakal diadakan BEM akhir pekan ini. Bahkan weekend kemarin kami tidak bertemu. Herannya, padahal kak Davi bukan anggota BEM tapi dia malah ikutan sibuk.
Sudah pasti apa penyebab itu semua? iya karna kak Davi salah satu the most wonted di kampus kami tercinta ini, so acara bakal ramai kalau ada kak Davi, sekali lagi gue bingung apa syafaatnya ada dia. Seandainya mereka semua tahu keabsurdan kak Davi.
Seperti biasa gue duduk di kantin bersama dua sahabat gue dan sudah beberapa hari juga gue jarang melihat Reno, dia bahkan sering bolos. Entahlah ada apa dengannya.
Gue lihat Siska dan Novi sedang asik mengunyah bakso mereka sedangkan gue rasanya malas mau makan, karena apa? karena dari kemarin kak Davi suka lama balas pesan gue, biasanya gak sampe semenit langsung dibalas.
"Haah. . . Patah hati gue Kak Davi ternyata udah punya cewek."
Sontak gue menoleh ke arah suara bukan Siska atau Novi yang berbicara tapi orang lain yang duduk tidak jauh dari kami. Beberapa cewek duduk berkumpul sambil memainkan hp mereka, sontak gue kepo dari mana mereka tahu.
"Kayaknya bakal jadi hari patah hati sekampus, haha."
Mereka tertawa dan gue tiba-tiba jadi was-was takut jadi bahan gosip atau bahkan lebih parah gue bakal dibully, ya tuhan lindungi Nara yang imut ini.
"Tapi mereka cocok juga ya."
Mendengar kata itu gue makin tersipu alhamdulillah kami dibilang cocok hihii.
"Nara. . ."
Gue menoleh ke arah siska dan Novi yang terlihat memasang wajah menegang kemudian siska menyodorkan hp nya ke arah muka gue.
"what the hell"