Keesokan harinya, saat Mita sedang asik dengan aktivitasnya, Bunda tiba-tiba datang lewat pintu penghubung dengan membawakan banyak sekali s**u ibu hamil dan buah-buah. Sejak kejadian dimana Ibu melihat anak bungsunya yang hamil minum s**u kental manis, sejak saat itu pula Bunda rajin sekali datang untuk hanya mengantarkan makanan juga buah-buahan. Bunda dan Kak Anjani beserta Saka seringkali berkunjung ke rumah paviliun Mita sekedar menghibur dan membuat keadaan Mita tidak stress.
Kehamilan Mita sudah berjalan empat bulan dan Ali belum juga menemuinya. Sebenarnya itu bukan menjadi masalah bagi Mita sebab merasa lebih baik jika tak ada Ali. Sudah masuk bulan dimana cuaca semakin tidak kondusif, terkadang cuaca sangat panas dan terkadang juga hujan. Aktivitas Mita di luaran rumah juga sangat padat, itu semata-mata agar ia mempunyai kegiatan dan tak selalu kepikiran dengan suaminya. Namun, ambisinya untuk selalu bekerja membuat keadaan tubuhnya sedikit melemah, belum lagi tugas-tugas kuliah yang memang dalam waktu dekat akan menghadapi UAS membuat pikiran, hati dan semua rasa tak karuan.
Hari ini badan terasa sangat lemas sekali, nafas pun panas seperti terbakar sesuatu, kepala pusing dan badan sakit semua. Saat tadi di sekolah rasanya sedang tidak baik-baik saja dan lebih banyak diam karena kepala terasa peniz dan badan semakin lemas. Mita mengurungkan niatnya mengajar nari dan jarimatika, ia memilih untuk istirahat saja di rumah. Malamnya benar-benar dimanfaatkan untuk beristirahat di rumah. Seperti biasa, Bunda selalu datang membawakan makanan dan buah melalui pintu penghubung.
Bunda tak melihat Mita di sekitaran rumah merasa aneh dan langsung masuk ke dalam kamar, karena Bunda melihat sepeda motor sudah terparkir namun sejak tadi siang tak ada aktivitas yang terjadi di rumah tersebut. Memang hati seorang Bunda itu selalu peka terhadap anaknya, ia merasa khawatir yang berlebihan terhadap Mita. Betapa terkejutnya Bunda saat melihat anak bungsunya sedang meringkuk di dalam kamar dengan keadaan menggigil seperti orang kedinginan di atas ranjang dengan wajah sangat pucat sekali.
"Astaghfiraallah, Nak. Kamu kenapa?" Bunda mendekat ke arah Mita dan memegang keningnya. Memastikan apakah anaknya demam atau tidak. Tubuh Mita terus menggigil hebat, ia terlihat sangat kedinginan luar biasa.
"Allahuakbar. Badanmu panas sekali, Nak. Ya Allah bagaimana ini," ucap Bunda merasa bingung sekali.
"Mita enggak panas, Bun. Tapi kedinginan."
"Tapi tubuhmu ini panas sekali, Mita! Apa kamu sudah memberi kabar pada suamimu?"
"Mita sudah menghubungi sejak tadi pagi, Bun. Tetapi belum ada jawaban sama sekali, bahkan Mita juga sudah menelpon tapi tak ada jawaban. Mungkin Mas Ali sibuk, Bun."
"Suami macam apa dia itu! Istri kesakitan, panas tinggi seperti ini, tetapi tidak ada pedulinya! Bunda menyesal mempunyai menantu sepertinya!"
"Ayo kita berobat!"
"Mita enggak pa-pa, Bun."
"Mita! Kamu itu sedang hamil! Dalam keadaan demam seperti ini masa mau dibiarkan begitu saja! Nanti bagaimana kalau ada apa-apa dengan anakmu!"
Mita kembali meraih ponselnya dan terus mengirimkan pesan pada suaminya, berharap pesannya kali ini dibalas olehnya. Bunda keluar kamar, entah kemana. Dan ternyata datang membawa lap juga baskom berisikan air, sepertinya Mita sekarang akan di kompres sama Bunda.
"Telepon Ali, sekarang!"
"Kamu itu demam, dan harus ke dokter atau klinik secepatnya. Bunda rasa kompres ini tidak akan meredakan demam. Setidaknya, walaupun ia tak bisa pulang 'kan bisa menyuruhmu untuk ke dokter. Atau memang dia mau pulang dan mengantarmu ke dokter?"
Mita merasa pening sekali, dan merasa sudah hampir tidak sadarkan diri namun berusaha untuk tetap kuat. Bunda terus mengompres kening Mita berharap panasnya segera turun sambil Mita terus menghubungi suaminya. Setelah sekian lama dari pagi hingga malam, akhirnya Ali mengangkat telponnya.
"Assalamualaikum, Mas. Mas, Adik sudah lemas banget dan pusing. Sepertinya Adik juga demam."
"Dik, minggu kemarin Mas 'kan sudah pulang jadi tidak bisa pulang lagi. Adik istirahat saja ya, nanti juga sembuh sendiri kok."
"Mas, Adik panas tinggi jadi harus ke dokter atau klinik. Uang yang Mas kasih kemarin sudah habis untuk beli keperluan kita dan juga beli s**u ibu hamil. Gimana Adik bisa ke dokter sekarang?"
"Adik! Kemarin Mas 'kan sudah kasih uang seratus ribu, masa iya uang segitu banyaknya sudah habis! Lagi pula, Mas juga sudah bilang beli saja s**u kental manis yang sachetan dan diminum sehari sekali saja, ini segala beli s**u hamil! Mas sudah tidak punya uang lagi, Mita!! Semua uang Mas 'kan sudah untuk bayar arisan juga ke Emak!!" bentaknya, sungguh jawabannya sangat diluar dugaan sekali. Bukannya khawatir ini justru marah-marah. Bunda sejak tadi mendengar percakapan anak dan menantunya itu merasa sangat kesal, sedih dan juga terpukul. Bagaimana bisa anaknya diperlakukan seperti ini oleh suaminya. Sungguh beliau tak pernah menyangka sampai seperti itu.
"Masya Allah!! Kamu itu istrinya sedang sakit demam! Bukannya khawatir ini justru di marahin!! Hati nuranimu dimana sebagai seorang suami!! Bukannya panik dengan keadaan istri yang sedang hamil ini justru sebaliknya!!" Ali terkejut mendengar suara Bunda dengan suara yang lantang dan langsung membuatnya menutup telepon. Sepertinya ia merasa takut.
"Ayo kita ke dokter."
"Enggak usah, Bu. Di bawah istirahat juga nanti mendingan."
"Hey kamu tuh lagi hamil! Jadi jangan sembarangan menunda pengobatan!! Sudah, ayo ke dokter!"
Bunda berteriak memanggil Mas Rizky, ia terkejut melihat Bunda memapah tubuh mungil Mita.
"Ada apa, Bun? Mita kenapa?"
"Ayo ke rumah sakit antar Bunda dan Mita. Adikmu ini demam tinggi, suaminya tidak ada rasa iba sedikitpun!"
"Sudah, Bun tenang. Ayo kita bawa Mita ke rumah sakit."
Kak Anjani terkejut mendengar Mita demam tinggi. Sedih sekali ia melihat adiknya sakit tidak dipedulikan suaminya. Kak Anjani merasa harus membuat perhitungan dengan Ali. Seenaknya saat lelaki itu menelantarkan anak dan istrinya seperti ini. Mereka berempat masuk mobil menuju rumah sakit terdekat. Kak Anjani sesekali melihat kebelakang memastikan keadaan adiknya.
"Bun, Mita enggak pa-pa."
"Enggak pa-pa, gimana maksudmu Mita!! Panas tinggi seperti ini masih bilang enggak pa-pa??!!"
"Kak, ini hanya panas biasa."
"Terserah! Kakak tidak peduli dengan omong kosongmu itu! Kondisimu sedang hamil! Nanti bagaimana jika terjadi sesuatu pada anakmu? Kau juga yang menyesal Mita! Heran!"
"Lagian tuh ya, suami kamu itu otaknya disimpan dimana! Bisa-bisanya menelantarkan istri dalam keadaan seperti ini. Apakah hati nuraninya sudah mati?! Aneh sekali!!"
"Kak, sudah. Kasihan Mita."
"Kakak tuh kesal sekali, Bun! Ya Allah tak pernah menyangka Mita diperlakukan seperti ini oleh suaminya!!"
"Sudah ah, Mih. Dia mendengar ocehanmu justru semakin pusing dan sakit nantinya." Mas Rizky bersuara dan berhasil membuat Kak Anjani diam tak berbicara lagi.
"Tenang saja, Mita. Ada kami yang membayar pengobatan. Kamu itu anak Bunda dan masih ada tanggung jawab bunda di dalamnya. Tenang ya," ucap Bunda menenangkan. Mita bersandar di bahu Bunda, ia merasa sangat lelah sekali untuk melanjutkan perjalanan hidupnya.
Mita merasa jika tak ada Bunda yang tiba-tiba datang menghampirinya mungkin sekarang nasibnya sudah merangkak dan tak sadarkan diri. Ia tak bisa berpikir jernih, bahkan terkesan lupa dengan anak yang sedang berada di dalam kandungannya.