Adzan subuh berkumandang, Mita perlahan membuka matanya, terdengar sekali nyaring ayam berkokok dan burung yang bersahutan satu sama lainnya menyambut pagi yang indah. Mita kembali memikirkan kejadian beberapa hari yang lalu, dimana ia merasakan sangat bahagia sekali berada di samping Nata, rasa nyaman dan aman selalu terasa saat berada di dekatnya.
Nata benar, mungkin aku dan dirinya hanya berjodoh sebagai teman dan tidak lebih. Dan, untuk bahasa teman sepertinya sangat asing sekali jika terdengar di telinga, karena perlakuannya terhadapmu melebihi seorang teman namun kenyataannya kami benar-benar hanya teman dan tidak lebih.
Kau lelaki yang baik Nata, beruntung sekali nanti wanita yang akan menjadi istrimu. Bertemu dengan lelaki yang sangat bijak, tutur katanya baik, perilakunya sungguh lembut, kasih sayang dan cintanya pun pasti akan full pada anak dan istri. Dia bukan lelaki yang hanya menginginkan sesuatu dari wanitanya, tetapi dia lelaki yang menghargai dan menghormati wanita layaknya ia menghargai dan menghormati ibunya.
Ya Allah, bolehkah aku berpikir bahwa kehidupan ini tak adil dan sama sekali tak berpihak padaku? Karena, sejak awal aku bertemu dengannya tidak ada kebahagiaan tulus yang diciptakan olehnya, hanya ada air mata, kekecewaan dan sakit hati. Ada sedikit kebahagiaan namun itu hanya di awal dan hanya di depan keluargaku, selebihnya? Hinaan, caci maki dan air mata yang selalu kudapatkan.
Ya Allah, aku tak pernah henti menyebut namanya dalam sujud dan doaku. Harapanku masih sama, keinginanku masih sama, hanya ingin dan berharap suamiku berubah menjadi lebih baik, dilembutkan hatinya, dijauhkan amarahnya dan bisa menghargai aku layaknya menghargai seorang istri bukan pelayan.
Aku takut berdosa jika harus melawannya, tapi ya Allah apa yang harus kulakukan setiap kali merasakan sakit, kecewa dan menangis karena ulahnya? Apakah aku harus tetap diam, diam, diam dan diam menuruti semua perintahnya dan patuh terhadapnya? Apakah lelaki seperti suamiku pantas untuk dituruti dan dipatuhi? Lelaki yang jauh dari kata baik, tak ada senyum yang diberikan pada istri, tak ada kebahagiaan yang diberikan. Ya, aku paham seburuk apapun pasangan kita, tetap harus menurut dan patuh karena kodratnya wanita adalah nurut dan patuh. Tapi Ya Allah, bolehkah aku meminta secepatnya ia bisa disadarkan?
Kupikir, ia hanya tak bisa menerimaku sebagai istrinya namun sepertinya ia juga tak bisa menerima anak ini. Apakah nantinya anak ini akan disia-siakan olehnya? Ya Allah aku tak akan pernah sanggup jika melihat sebuah kenyataan anakku akan disia-siakan oleh ayahnya. Semoga suamiku kelak saat ia sudah menjadi seorang ayah akan bisa berubah menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya, bisa dengan ikhlas mencintai dan menyayangi anak juga istrinya.
Mita mulai membersihkan dirinya, berhubung ini adalah weekend dan tak ada rencana untuk kemana-kemana, ia memilih untuk beberes rumah dan istirahat lalu agak siang main ke rumah Bunda. Mita merasa aman saja saat hamil sebab tidak ada drama kehamilan seperti wanita lain yang manja pada suaminya. Oh mungkin bukan tidak ada drama melainkan Mita bersikap agar bisa berdiri di kaki sendiri tanpa drama dan manja pada suaminya, sebab suaminya jauh dan mungkin jika dekat dan sedang bersama pun suaminya tak ingin melihat kemanjaan istrinya.
Mual namun masih dalam batas wajar dan tidak mual terus-menerus sepanjang hari membuat malas menyelesaikan pekerjaan rumah. Pusing sudah pasti, karena entahlah ia banyak sekali yang dipikirkan membuat kepalanya kadang pusing tak menentu. Mita merasa beruntung karena anak dalam kandungannya seakan mengerti dengan keadaan Uminya yang sendirian ditinggal Abi kerja dan semakin hari semakin susah untuk di hubungi. Ali terkesan sedang menghindari Mita. Aneh sekali dan ia tak mengerti sebenarnya salah apa pada suaminya. Atau memang lelaki itu benar-benar tak ingin peduli dengan kehadiran malaikat kecil yang akan membuat rumahnya penuh dengan bahagia.
***
Siangnya merasa bosan karena dirumah sendirian, akhirnya ia berniat main ke rumah Bunda di sebelah. Lumayan menghilangkan penat juga karena bisa main sama Mas Saka anaknya Kak Anjani. Saat main ke rumah sebelah, sungguh sangat disambut baik sekali. Lucu sih, padahal hanya sebelahan rumahnya namun entah mengapa membuat Mita dan Bundanya sangat jauh, mungkin karena aktivitas yang banyak membuat mereka jarang bertemu.
"Sayang, Bunda rindu sekali," ucap Bunda saat melihat Mita datang dan langsung memeluknya.
"Hehe, sama bun. Padahal hanya sebelahan rumah ya, tapi kayaknya enggak ada waktu untuk bersama hehe."
"Dik, suamimu 'kan jarang pulang bagaimana jika dia tak ada kamu disini saja."
"Kenapa gitu, Kak?"
"Kakakmu itu sangat khawatir sekali denganmu, Mita. Waktu itu pernah tengah malam saat kau baru ditinggal suamimu, ia meminta Mas untuk ke rumah sebelah membawamu kemari. Ada-ada saja kakakmu itu, Mita."
"Hehe, enggak pa-pa, Mas. Kak Anjani itu terlalu sayang sama Mita, jadi begitu deh."
"Ya 'kan dari pada Mita sendirian di rumah itu Mas pikirku lebih baik dia disini bersama kita semua, agar tidak kesepian 'kan?"
"Mita baik-baik saja kali Kak, sekarang 'kan sudah menikah, harus mandiri."
"Tuh Mih, dengarkan. Adikmu enggan untuk tinggal disini lagi karena ingin belajar mandiri."
"Sudah-sudah jangan berdebat. Bagaimana kalau kita bikin sesuatu yang enak? Mumpung ada Mita disini?"
"Setuju banget Bun. Bikin apa enaknya?"
"Makanan yang spesial pastinya dong," pekik Bunda semangat.
Mereka berempat bersama Mbok mulai membuat cemilan yang enak. Mas Rizky menjaga anak bayi yang saat ini sudah banyak gayanya, Mita selalu ingin melahap pipi Saka yang lucu dan menggemaskan. Ia berharap anaknya kelak menggemaskan seperti Saka. Bunda sudah tau mengenai kehamilan Mita, beliau tau dari Nata saat waktu itu malam-malam pulang sehabis dari bidan.
Nata menceritakan semua keluh kesah Mita pada Bundanya. Bunda Mita tak menyangka ternyata anaknya benar-benar sangat menderita, ia pikir anaknya bahagia karena dalam beberapa bulan ini tidak ada sikap aneh yang ditimbulkan oleh Ali. Namun ternyata dibalik itu semua ada kekecewaan dan sakit hati yang mendalam sudah diciptakan oleh Ali. Saat ini, Bunda hanya bisa memperhatikan dari jauh sebab ia tak ingin anaknya merasa tersinggung karena bunda ikut campur rumah tangga mereka.
Hari menjelang sore, setelah puas bercengkrama di rumah Bunda bersama keluarganya, wanita mungil itu izin pamit untuk kembali ke rumah sebelah, bebersih mandi dan istirahat. Bunda dan Kak Anjani mempersilahkan walaupun dengan berat hati. Mereka berdua berjanji akan sering mengunjungi Mita di kala Ali tak ada di rumah.
Menjelang malam, Mita terkejut melihat Bunda datang membawa banyak makanan melalui pintu penghubung. Ia pikir siapa yang datang tiba-tiba dan langsung masuk.
"Masya Allah Bun, bikin kaget saja," pekik Mita.
"Maaf sayang hehe. Ini Bunda bawa makanan dan beberapa buah-buahan, tadi Mas Rizky dan Kak Anjani berbelanja dan membelikannya juga untukmu. Lihat tubuhmu menjadi semakin kecil, jarang makan bergizi pasti deh ya," ucap Bunda terkekeh.
"Ya ampun Bunda, Mita makan makanan yang bergizi kok tenang saja. Empat sehat lima sempurna deh," balasnya terkekeh dan melanjutkan kembali aktivitasnya mengaduk s**u di dalam gelas.
"Kamu bikin apa?"
"s**u, Bun," balasnya tersenyum manis.
"Mita! Kamu 'kan sedang hamil! Kenapa minum s**u kental manis seperti itu! Bukannya minum s**u ibu hamil!" bentakan Bunda menghentikan aktivitas tangan Mita, ia berpikir bagaimana bisa Bundanya tau mengenai kehamilannya itu.
"Bagaimana Bunda bisa tau?"
"Mita, Bunda ini ibumu. Memangnya salah jika bunda tau tentang kehamilanmu? Kenapa tanggapanmu seperti itu?" ucap Bunda marah. Selama ini, Mita tak pernah melihat Bundanya semarah ini namun entah mengapa kali ini, marahnya terlihat sangat mengerikan.
"Bunda kenapa?"
"Kenapa apanya? Suamimu benar-benar keterlaluan ya! Tega sekali hanya membelikan s**u kental manis dan bukannya s**u hamil! Itu anak di dalam perutmu juga 'kan anaknya dia!"
Entahlah, Bun. Ia tak menganggap anak ini ada, mungkin ia benar-benar merasa bahwa ini adalah hanya anakku seorang. Tapi bun, apa mungkin aku bisa hamil sendiri? Bagaimana bisa jika memang iya aku hamil sendiri bukan dengannya.
"Bun, tenang. Mas Ali belum sempat membelikan s**u hamil, Bun. Lagi pula, Mita juga 'kan ini minum madu dan khasiat madu lebih baik dan lebih bagus daripada s**u," ucap Mita membela suaminya yang memang salah, namun agar tidak terlihat salah di mata keluarganya. Ia tak ingin harga diri suaminya jatuh dan ia menutupi semua keburukan Ali.
Bunda menghela nafas panjang dan berkata, "Bunda tak tau kehidupan kalian seperti apa dan bagaimana, tetapi entah mengapa Bunda merasa ada yang salah dalam kehidupan rumah tangga kalian. Kebahagiaan yang ditunjukan oleh kalian terlihat sangat palsu, banyak yang ditutupi namun entah itu apa. Bunda hanya berharap kebahagiaan selalu datang menghampiri anak dan cucu Bunda."
"Mita, jangan pernah larang Bunda untuk mengurusmu dan cucu Bunda. Jangan buang janji Bunda di hadapan ayahmu dulu," ucapnya tegas meninggalkan Mita sendirian. Tubuh mungil itu menyeluruh jatuh ke bawah lantai.
Pandangannya kosong, namun fokus ke depan melihat punggung sang bunda yang semakin menjauh, tak terasa bulir kristal mulai jatuh membasahi pipinya. Ia merasa tak sanggup menutupi semua rasa pada sang bunda namun keadaan memaksanya untuk bisa menutupi semuanya.
Bunda, maafkan Mita. Maafkan anakmu yang tidak bisa membuka suara di hadapanmu. Bunda, sungguh Mita merasa tak sanggup namun tetap harus sanggup. Mita berusaha menutupi semua apa yang dirasakan agar tidak membuat Bunda, Kak Anjani dan juga Mas Rizky khawatir. Mita berusaha semaksimal mungkin menjaga nama baik suami dan harga diri suami di hadapan kalian semua.
Bun, sungguh Mita ingin sekali menceritakan semuanya sambil dipeluk dan didekap oleh tubuh Bunda namun … namun lagi-lagi Mita tak sanggup apabila harus melihat Bunda menangis. Seharusnya, Bunda melihat dan mendengar Mita bahagia bukan sebaliknya. Mita tak ingin air mata Bunda jatuh kembali karena ulah Mita. Sudah cukup Bunda menangis karena sebuah rasa sakit kehilangan ayah dan jangan lagi menangis karena kesakitan yang Mita rasakan.
Bun, Mita sayang sekali sama kalian. Mita minta didoakan agar tetap kuat menghadapi semua ini, tetap berdiri tegak saat angin menghantam dan tetap dilapangkan dan semakin dilapangkan hati Mita dalam menghadapi Mas Ali.
Mita tak menyadari Bunda mendengar semua ucapannya dari balik pintu penghubung itu. Tangisnya pecah namun sebisa mungkin ditahan agar tak terdengar oleh Mita, tubuhnya bergetar hebat. Tangis tersedu-sedu dan tergugu sama seperti saat kehilangan suaminya. Ia merasa kehidupan tak adil menimpa anak bungsunya. Dan mulai menyesal telah memberikan anaknya pada lelaki yang salah dan jauh dari kata baik.
Dalam lubuk hatinya yang paling dalam, wanita paruh baya tersebut berjanji akan sebisa mungkin membahagiakan Mita dan selalu ada untuk anaknya dalam keadaan apapun. Bunda melangkah pergi masuk ke dalam kamarnya dan melanjutkan kembali tangisnya, ia menangis kembali dengan jeritan yang terdengar sangat memilukan.
***